Ada Apa Dengan Kisah Cinta Panji-Agreni

 

: ngablak siang Mashuri Alhamdulillah.

Kenapa kisah cinta Panji–Angreni/Sekar Taji seakan-akan ‘tak sebanding’ dengan Romeo-Yuliet, Roro Mendut-Pranacitra, Bangsacara-Ragapatmi, dan kisah cinta lainnya yang mengharu-biru & berdarah-darah? Mungkinkah karena kisah cinta Panji-Angreni/Sekar Taji berakhir bahagia?

Berbekal novel “Candra Kirana” (Pustaka Jaya, cetakan ke-1 1962; cetakan ke-2 1972) karya Ajip Rosidi, saya berusaha menelisik kemungkinan-kemungkinan kenapa kisah cinta Panji ‘hanya’ dianggap sebagai pelipur lara biasa. Tentu saja, saya berusaha membandingkannya dengan versi & varian cerita Panji yang masyaallah banyaknya dan telah mendunia, juga tidak melupakan kreasi baru karya R.Ng. Ranggawarsita “Pandji Djajeng Tilam” (Lange en co Betawi, 1865; Balai Pustaka, 1966).

Rosidi memang mengambil alur yang terdapat dalam naskah Serat Panji Angreni –tidak Ranggawarsita, dengan beberapa pembelokan-pembelokan kreatif yang lebih berterima di kalangan masyarakat modern –terutama pada sosok Angreni dan ketulusannya dalam berkorban. Namun, tetap saja Rosidi tidak bisa keluar dari mainstream kisah cinta Panji yang telah ada dan umum: berakhir dengan happy-ending. Ah, salahkah cinta yang berakhir bahagia? Bukankah itu keinginan & harapan setiap insan? Ehm!

Ngomong-ngomong ihwal kisah cinta Panji, di kalangan masyarakat Jawa, terutama di pedesaan, seperti saya, cukup akrab dengannya. Saya mengenalnya sebagai dongeng Ande-Ande Lumut sejak kecil. Betapa saya terhanyut dengan sosok Ande-Ande Lumut, yang menjadi anak pungut Mbok Rondo, yang dilamar banyak wanita, mulai Kleting Kuning, Kleting, Abang, & Kleting Hijau. Saya pun gemas melihat ulah Yuyu Kangkang. Repotnya, sejak kecil saya mengangankan diri sebagai sosok Ande-Ande Lumut, apalagi di daerah saya, pihak pria yang dilamar. Uhui!

Terlepas soalan itu, dari kisah cinta Panji dalam “Candra Kirana” memang masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan. Termasuk juga kekuatan ingatan pada masa lalu dan proyeksi cinta yang tidak sekadar tubuh yang naga-naganya dianggap sebagai nilai-nilai universal. Cik melipe, Rek.

MA
On Siwalanpanji, 2021
Ilustrasi jepretan nyonya meneer saat ngopi di sebuah cafe di Tanah Air Panji. Bukan sosok Ande-Ande Lumut, tapi suka berandai-andai sampai ngelumut. Ups!