Budi Darma, Sosok yang Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati

 

Catatan Sirikit Syah.

Kabar duka itu akhirnya datang juga. Prof. DR. Budi Darma meninggal dunia, Sabtu 21 Agustus 2021. Beliau dirawat di RS Dr. Soetomo lebih dari 20 hari, dan selama itu pula kami, mantan mahasiswa, rekan penulis, rekan dosen, mahasiswa, dan siapa saja yang mengenal beliau tak putus mendoakan kesembuhannya. Ternyata Allah berkehendak lain, pasti yang terbaik. Airmata duka mengiringi catatanku yang mungkin subyektif ini.

Saya mengenal Budi Darma ketika berkuliah di IKIP Surabaya jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di awal tahun 1980-an. Beliau baru pulang dari AS, setelah menyelesaikan pendidikan doktornya, sudah terkenal dengan karya-karyanya, di antaranya Orang-orang Bloomington, Olenka, disusul Rafilus, dll. Sampai akhir hayatnya, Budi Darma sangat produktif. Budi Darma menengarai bakat saya menulis, ketika masih di tingkat 1, saya memenangkan lomba menulis cerpen antara mahasiswa FPBS se-Indonesia. Kemudian beliau menjadi mentor saya, terus menerus mendorong untuk never stop writing. Saya menulis sejak SD, tapi menentukan dunia kepenulisan sebagai pilihan hidup serius, baru pada saat dekat dengan Budi Darma.

Setahu saya Prof Budi Darma penah menerima menghargaan Sastra ASEAN, mengajar di banyak negara, di antaranya Inggris, Amerika, Jepang, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dll. Sebagai mahasiswanya, baik di S1 maupun S3, saya mengenangnya sebagai dosen yang ilmunya tinggi dan luas. Ini diimbangi sikapnya yang sangat rendah hati. Humble. Contoh: beliau tidak pernah menyalahkan hasil karya mahasiswa, yang dilakukan adalah kritik membangun. Beliau juga selalu menyapa mahasiswa, menanyakan kabar suami/istri dan anak si mahasiswa, lengkap dengan namanya (saya masih heran, bagaimana beliau ingat semuanya).

Selain berilmu tinggi, cara mengajar Budi Darma sistematis, jelas, mudah dipahami. Sumber-sumber bahan ajar difotocopykan untuk mahasiswanya untuk dilanjutkan dibaca di rumah. Ketika menguji, soalnya tak melenceng dari materi ajar (banyak dosen, materi ajar dan soal ujian gak nyambung blas), lalu saat memberi nilai, beliau tidak pelit. Bagi mahasiswa pascasarjana, pergulatan menyelesaikan tesis dan disertasi selalu dimudahkannya dalam proses bimbingan maupun ujian.

Sewaktu saya mahasiswa S1, kata orang-orang, saya mahasiswa kesayangannya, termasuk kata istrinya. Kalau saya lama tak berkunjung ke rumahnya, lalu berkunjung, Bu Budi Darma yang berkata: “Sirikit, kok lama tidak kemari? Pak Budi sudah kangen lho.” Pak Budi bahkan menunjukkan dompetnya dimana ada foto saya. Saya juga berteman baik dengan Bu Budi Darma, kemudian putrinya, Diana, karena kami sama-sama mengajar S1 di Jurusan Bhs dan Sasra Inggris di Unesa.

Ketika saya kuliah S3, saya masih sempat diajar Pak Budi satu semester, Advanced Literature, yang lebih banyak ke filsafat sastra. Materi yang bikin pusing itu tetap menjadi favorit rekan sekelas karena faktor pengajarnya. Beliau sudah pensiun, namun tetap diminta mengajar oleh Pascasarjana Unesa. Beliau adalah asset dan ikon Unesa, dan pengharum nama bangsa di jagad sastra.

Selama persahabatan kami, beberapa kali beliau berkunjung ke rumah saya juga, makan malam bersama teman-teman. Tak jarang kami bicara di forum yang sama. Seminggu yang lalu saya mengirimkan buku terbaru saya, tapi beliau sudah di RS. Sedih sekali, kami semua merasa kehilangan. Amal ilmunya akan terus berjalan. Semoga Allah menerima arwahnya di tempat yang mulia. Amiiinn YRA.

Sirikit Syah, 21 Agustus 2021