Jokowi, Mahasiswa dan Saya

Oleh : Arief Adi Wibowo.

 

Jokowi, Mahasiswa dan Saya▪︎ Akhir-akhir ini selain urusan Covid-19, netijen riuh karena aksi mahasiswa di media sosial ini memancing beragam reaksi. Ada BEM yang menyematkan gelar ‘lip service’, ada aliansi mahasiswa yang memberikan sebutan orde paling baru. Di musim ujian akhir semester (UAS) yang biasanya membuat mahasiswa dan dosennya mumet, fenomena ini sungguh menarik.


https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210628181441-20-660472/bem-ugm-juga-sindir-jokowi-bapak-presiden-orde

Pendukung Presiden Jokowi (baik relawan maupun paksawan yang motif cari muka) ramai-ramai menyudutkan anak-anak muda ini. Ada juga yang konstruktif mengajak debat dengan mengadu argumentasi. Tapi tidak sedikit yang menghina secara tidak pantas, biasanya ini jenis relawan yang dulu saat di kampus sedikit kuper dan suka baper.

Pun demikian para politisi atau aktivisi yang sejak semula benci Jokowi (kenapa saya pakai diksi ini? Karena ya mereka istiqomah melihat Jokowi ini hanya memiliki kesalahan/kekurangan, nihil kelebihan/karya) pun beramai-ramai mendukung para mahasiswa. Bahkan mereka pun menggebuk para orangtua mahasiswa (baca: rektorat) yang mengajak anak-anaknya berdialog.

Pokoknya rektorat salah, lalu ada yang mengaitkan dengan jabatan rektor di BUMN. Ilmu gathuk yang kejam dalam membunuh karakter rektorat karena jauh berbeda iklim civitas akademika jaman now dan orde baru. Tidak ada lagi memberhangus kekebebasan berpendapat mahasiswa lewat beragam sanksi, atau main bredel media komunikasi mahasiswa.

Dari fakta di atas ini, saya memuji kemampuan para mahasiswa dalam membangun narasi publik dan komunikasi politik. Top!

Pengalaman saya selama menjadi dosen, selalu mengambil jalan tengah dalam ruang diskusi semacam ini. Mengedepankan dialog. Sewaktu mereka mau demo revisi UU KUHP atau revisi UU KPK atau UU Cipta Kerja (Omnibus Law), saya dukung dengan catatan. Pertama, luruskan niat. Kedua, izin ke orangtua baik di rumah maupun di kampus karena mereka juga masih bertanggung pada kehidupan kalian. Ketiga, jangan bikin malu almamater dengan berangkat memperjuangkan aspirasi tetapi tidak paham detil isi aspirasinya. Mahasiswa aktivis harus mampu menjadi pembeda dengan menampilkan dimensi intelektual (dengan kedalaman konten-konteks) dan dimensi spiritual (dengan menunjukkan keberadaban).

Akhirnya, mereka pun suka bertanya balik ke saya tentang isu-isu yang meresahkan publik di luar durasi kuliah. Macam-macam ada yang serius soal konten dan konteks seputar rancangan undang-undang sampai ada yang bertanya saya sering mendapat proyek apa karena mengenal Pak Jokowi dari sebelum jadi Presiden atau Pak Firli sebelum jadi Ketua KPK. Saya pun tanggapi dengan serius dan humor. Dan tidak sedikit yang kemudian berterima kasih mendapat wawasan baru maupun minta maaf setelah tahu dosennya ini jauh dari fasilitas negara apalagi makan uang APBN.

Bagaimana pendapat apakah pro atau kontra atas aksi ini. Menurut saya tidak ada yang salah dari anak-anak mahasiswa ini. Mereka menunjukkan bahwa kampus benar-benar mampu mendidik nalar dan sensitifitas mahasiswa terhadap lingkungannya serta memberi kemerdekaan untuk berpikir kritis. Hal ini akan menjadi modal sosial kemasyarakatan penting, mengingat 10-20 tahun lagi dari sekarang mereka akan memasuki struktur kepemimpinan negeri ini.

Dan, masih pendapat pribadi, bahkan Pak Jokowi tidak marah menghadapi hal begini. Bisa jadi dia senyum-senyum sendiri melihat meme dirinya saat ini. Beliau tipikal orangtua yang dialogis terhadap keluarganya. Saat menjadi mahasiswa pun termasuk aktivis UGM meski tidak seglamor Pak Airlangga Hartarto misalnya, yang memang dari darah biru politik.

Dalam suasana pandemi, di mana demikian banyak pekerjaan rumah bangsa menanti keputusan terbaik yang sudah pasti menguras energi dan waktu seorang presiden, tapi tidak ada salahnya ada ruang dialog untuk sekedar mendengarkan keluh kesah anak-anak ini. Kenapa harus panjenengan sendiri? Ya karena piranti kekuasaan istana tidak bisa menjangkau mereka. Baik Mas Menteri atau para stafsus muda dianggap tidak bisa masuk ke dalam ‘bahasa dan pergaulan’ mahasiswa aktivis, mereka terlalu jauh berada di atas awan-awan.

Ciganjur, 27 Juni 2021