Sarasehan Budaya Untuk Pemajuan 10 Obyek Kebudayaan

Guna menindaklanjuti diberlakukannya UU Kebudayaan No. 5 tahun 2017, maka Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid telah menugaskan para pegiat kebudayaan yang bertugas melakukan pendampingan ke berbagai kota/kabupaten di seluruh Indonesia.  Salah satu pegiat kebudayaan yang mewakili Dirjen Kebudayaan tersebut adalah Monis yang bertugas di Kab. Tulungagung. Berikut ini laporan Wawan Susetya :

Monis kebetulan asli Tulungagung, putri Ir. Sukriston, seorang tokoh Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YME di ‘kota marmer’ itu. Itulah sebabnya, untuk menjalankan tugas pendampingan kebudayaan tersebut, Monis bersama sang ayah melakukan kunjungan atau silaturahmi kepada para pegiat seni, seniman, budayawan,  dan para sesepuh di Tulungagung.

Mengawali kinerjanya dalam pendampingan kebudayaan, Monis bersama ayahnya Sukriston melakukan kunjungan ke Sasana Budaya “Ngesthi Laras” di Dusun Glotan, Desa Tanggung, Kec. Campurdarat kemarin malam (Kamis, 11/2).

 

Pertemuan tersebut dikemas dalam Sarasehan budaya Pemajuan Kebudayaan yang melibatkan beberapa unsur, termasuk para waranggana atau niyaga dari Sanggar Ngesthi Laras yang dipimpin Ki Handaka. Kebetulan malam Jumat kemarin bertepatan dengan tahun baru Imlek yang ke-2571, Ki Sukriston beserta putrinya membawa rombongan pula dari pemeluk Khonghucu dari Klenteng Tri Darma Tulungagung yang dipimpin oleh Suhu Gembong.

Hadir pula Dr. Teguh, wakil dekan Fakultas Ushuludin IAIN Tulungagung dan Kades Tanggung Suyahman. Dan, menariknya lagi suasana sarasehan kebudayaan tersebut binarung (dibarengi) dengan selingan gendhing-gendhing krawitan yang dimainkan para niyaga Ngesthi Laras.

Dalam sarasehan kebudayaan yang dipandu Ki Handaka itu, Monis yang pernah kuliah jenjang program master jurusan fashion di Italy itu menjelaskan mengenai tugasnya sebagai pegiat kebudayaan atau pendampingan kebudayaan yang meliputi inventarisasi (pendataan), pengamanan, pemeliharaan dan penyelamatan terhadap obyek kebudayaan.

“Untuk itu, saya harus banyak berkunjung dan bersilaturahmi kepada para pegiat seni budaya, seniman, budayawan termasuk para sesepuh di Tulungagung yang kita cintai ini,” ujar Monis mengawali sambutannya.

Lebih jauh, Monis menjelaskan betapa banyaknya potensi seni-budaya di negara kita terutama di Tulungagung. Betapa sayangnya jika potensi seni-budaya dan berkenaan dengan kearifan lokal Tulungagung tersebut dibiarkan begitu saja tanpa pendataan dan pemeliharaan.

Oleh karena itu ia akan melakukan inventarisasi atau pendataan semua potensi seni-budaya dan obyek pemajuan kebudayaan tersebut sehingga menjadi database di Dirjen Kebudayaan Kemendikbud.

“Contoh saja ya, misalnya berapa orang sih yang bisa memainkan rebab seperti Bapa Wagiman ini? Berapa orang pula yang bisa memainkan bonang dan kenong? Karena belum ada pendataan, tentu kita tidak bisa menyebutkannya,” tandasnya.

Untuk mewujudkan tugasnya sebagai pendamping kebudayaan mewakili Dirjen Kemendikbud, pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemda Tulungagung yang dalam hal ini DPMD (Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa) hingga ke kades (kepala desa). “Kami akan terus mendorong kepada Pemda melalui DPMD serta para kades untuk membentuk LAN (Lembaga Adat Desa) melalui anggaran DD (dana desa).”

Melalui pembentukan LAN tersebut diharapkan dapat mendata seluruh potensi kebudayaan yang ada di desa dengan melibatkan terutama para generasi muda. Mereka antara lain dari Karang Taruna, mahasiswa dan sebagainya. Dengan demikian, kelak ada kesinambungan dalam program kerja jangka menengah di Pemda setempat.

Setelah itu budayawan Wawan Susetya selaku tuan rumah juga mengingatkan mengenai pentingnya UU Kebudayaan No. 5 2017. Menurutnya, dengan telah diputuskannya UU tersebut, maka semua pihak diharapkan dapat melaksanakan atau mewujudkan dengan baik. Ia memberi contoh, misalnya dengan diputuskannya UU Desa, maka semua desa mendapatkan kucuran sekitar Rp. 1 M per tahun.

Demikian halnya dengan dikeluarkannya UU ITE, maka diharapkan semua orang harus lebih berhati-hati dalam menggunakan medsos (media sosial) agar tidak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian halnya dengan adanya UU Kebudayaan itu, diharapkan pihak Pemda hingga pemerintahan desa mampu merespon dan menanggapi dengan baik.

Dalam kesempatan itu, Wawan mengingatkan kembali mengenai 10 objek pemajuan kebudayaan yang meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat tradisional, olah raga tradisional

“Misalnya di Desa Tanggung ini ada situs di Gunung Budheg yang berkaitan dengan legenda atau cerita rakyat tentang kisah Jaka Bodho atau Jaka Budheg dengan Rara Kembang Sore putri Adipati Kalangbret (Tulungagung masa dulu). Nah, tentu kisah cerita Jaka Bodho atau Jaka Budheg tersebut bisa dijadikan buku dengan menggunakan anggaran Dana Desa (DD). Itu salah satu contoh bagaimana pemerintah desa dapat mengangkat desanya melalui potensi obyek kebudayaan,” jelas Wawan yang juga penulis sekitar seratusan buku.

Ia juga mengingatkan bahwa Tulungagung memiliki potensi yang luar biasa terbukti memiliki obyek kebudayaan sekitar 1350 item, sedang daerah lain rata-rata sekitar 350-an item. Hal itu diketahui dalam merumuskan pokok-pokok pikiran mengenai kebudayaan sebelum dikeluarkannya UU Kebudayaan No. 5 tahun 2017.

Ibarat gayung bersambut, tugas yang diemban Monis selaku pendamping kebudayaan serta harapan Wawan tersebut disambut baik oleh Kades Tanggung, Suyahman.

Dalam kesempatan yang baik itu, Kades Suyahman berjanji akan mewujudkan tujuan pembentukan LAN (Lembaga Adat Desa) serta menggali potensi kebudayaan di desanya. Melalui pendataan yang cermat dan baik, diharapkan semua potensi kebudayaan di desanya akan terawat, terpelihara dan dapat diwariskan kepada anak-cucu.

Peradaban Dan Tahun Baru Imlek

Dalam sarasehan kebudayaan di Sasana Budaya “Ngesthi Laras” Tanggung Glotan kemarin malam itu, Suhu Gembong perwakilan dari Klenteng Tri Darma Tulungagung menguraikan mengenai tahun baru Imlek yang ke-2571. Dilihat dari usia tahun yang ke-2571, maka tahun Imlek bagi penganut Khonghucu tersebut sesungguhnya tergolong lebih tua dari pada tahun Masehi (2021). Sebab peradaban pemeluk Khonghucu di China tersebut telah berlangsung sebelum Masehi.

“Kami sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Bapak Presiden KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang telah mengesahkan Khonghucu sebagai agama resmi di Indonesia pada tahun 2000. Bersyukur lagi ketika Ibu Megawati memberikan hari libur nasional pada tahun baru Imlek pada tahun 2002,” ujar Suhu Gembong sambil tersenyum senang.

Suhu Gembong menceritakan bahwa kebanyakan para pemeluk Khonghucu memang keturunan dari Tionghoa (China). “Meski demikian, seandainya kami disuruh kembali ke China ya kami tidak mempunyai siapa-siapa di sana! Mengapa? Sebab kami memang lahir dan dibesarkan di sini (negara Indonesia),” tandasnya.

Dalam kesempatan itu ia juga menyinggung mengenai kearifan lokal dari China yang sangat populer di tanah air, seperti pranata mangsa, shio, Fengshui, Hongshui, dan sebagainya. Menurutnya, sebenarnya pranata mangsa dari China dengan pranata mangsa Jawa itu sangat mirip dan hampir sama. Hanya bedanya mengenai jumlah musim. Kalau musim di China ada empat, yakni musim panas, musim dingin, musim semi, dan musim gugur. Sementara, musim di Jawa atau Indonesia hanya dua, musim kemarau dan musim penghujan.

Selain Suhu Gembong, dalam kesempatan itu moderator Ki Handaka juga memberikan waktu kepada Ki Wagiman, seorang dhalang senior Tulungagung yang menganut Agama Hindu.

Memenuhi permintaan moderator, Ki Wagiman menceritakan mengenai kesuksesan dua orang putrinya Sukesi dan Candra Rini (Peni) yang kini menjadi dosen di ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta. Sukesi, selain dosen pasca sarjana ISI, ia juga menjadi pesindhen yang sangat terkenal. Dengan suaranya yang bagus, Sukesi makin terkenal lagi karena ia isteri seorang dhalang kondhang Ki Cahyo Kuntadi dari Blitar.

Selain itu, Ki Wagiman juga menceritakan anaknya yang terakhir, Candra Rini alias Peni. Selain dosen di ISI Solo, Candra Rini bahkan calon rektor di kampus itu.

“Anak saya, Peni (panggilan akrab Candra Rini) sudah malang-melintang pentas seni ke berbagai negara, Amerika, Eropa, Australia, Timur Tengah dan sebagainya. Kalau saya hitung kira-kira sudah lebih dari 60 kali,” kata Ki Wagiman rendah hati.

Ki Wagiman memiliki tiga orang anak. Yang pertama Ki Suwondo yang juga seorang dhalang di Tulungagung. “Terus-terang, ketika anak saya yang kedua Sukesi dan ketiga Peni (Candra Rini) masih berada di dalam kandungan ibunya, saya memang sering melakukan semedi,” kenangnya.

Ki Wagiman sendiri selama ini sering hadir dalam latihan krawitan sebagai klangenan di Sanggar Ngesthi Laras sebagai peninggalan almarhum Ki Sudjinal.

Budaya Menjadi Perekat Kebhinekaan

Nara sumber terakhir Dr. Muhammad Teguh Ridwan memberikan benang-merah bahwa Sasana Budaya “Ngesthi Laras” benar-benar mencerminkan suasana kemajemukan atau kebhinekaan (Bhineka Tunggal Ika). Bukan hanya beragama Islam (muslim) saja dalam sarasehan kebudayaan malam itu, tetapi juga ada pemeluk Khonghucu, pemeluk Agama Hindu, dan penganut Kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.

“Memang, yang menjadi perekat atau pemersatu di antara berbagai agama dan kepercayaan itu adalah budaya atau kebudayaan. Contohnya adalah suasana dalam sarasehan kebudayaan pada malam hari ini,” kata pria kelahiran Magelang Jawa Tengah.

Lebih jauh Dr. Teguh menyambut baik rencana dan tujuan pegiat kebudayaan mewakili Dirjen Kebudayaan, Monis yang akan melakukan pendataan dan pembentukan LAN (Lembaga Adat Desa) sehingga kebudayaan di berbagai daerah tidak akan punah.

 

Ia juga mengapresiasi mengenai Sasana Budaya “Ngesthi Laras” yang didirikan oleh almarhum Ki Sudjinal sejak tahun 1970-an dengan berbagai kegiatan seni-budaya, seperti krawitan, pedhalangan, macapatan, kethoprak, drama, sarasehan budaya, dan sebagainya. Bahkan, jelas calon guru besar (profesor) UIN SATU (Syekh Ali Rahmatullah Tulungagung) itu, kini Sasana Budaya “Ngesthi Laras” juga mengembangkan dan melakukan pembinaan kepada para mahasiswa dalam berbagai kegiatan. Itulah sebabnya ia bersyukur bahwa sanggar tersebut telah mendapatkan bantuan fasilitasi gamelan dari Kemendikbud tahun 2017 dan bantuan kebutuhan seni-budaya dari Gubernur Jawa Timur Khofifrah Indar Parawansa tahun 2019.