Kyai Muqit

Oleh Eep Saefulloh Fatah.

Jumat, 4 September 2020 malam. Dr Faida memberi saya kejutan yang menyenangkan. “Saya meminta kesediaan Pak Kyai Muqit dan Bu Nyai Muqit untuk menemani saya dan Mas Vian mendaftar ke KPU. Dan Pak Kyai dan Bu Nyai bersedia,” katanya.

“Pak Kyai dan Bu Nyai akan hadir sebagai sahabat, sebagai saudara seperjuangan. Keduanya akan mendampingi Pak Ponimin dan Mas Samsul,” lanjut dr Faida.

Pak Ponimin adalah Ketua Tim Kerja Pemenangan Faida-Vian. Mas Samsul adalah salah satu Wakil Ketuanya.

Wajah dr Faida datar saja saat menyampaikannya. Tapi saya tahu persis, hatinya menggelegak bahagia. Kurang lebih persis seperti yang saya sendiri rasakan.

Dr Faida mengenalkan saya pada Kyai Muqit tahun 2015. Saat itu Jember sedang hangat diterpa angin Pilkada. Saat itu dr Faida sudah membulatkan tekadnya maju menjadi kandidat Bupati. Lalu, ia membulatkan satu lagi tekad yang lain. Hanya mau maju bersama Kyai Muqit Arif. Tidak dengan yang lain.

Dr Faida mengaku terpesona pada perangai dan integritas Kyai Muqit. Dr Faida yakin Kyai Muqit akan menjadi tandem terbaiknya untuk memimpin Jember.

“Saya tak mau jika cuma menang Pilkada. Yang saya mau adalah menang Pilkada sebagai pintu masuk. Pintu menuju kemenangan-kemenangan yang lebih besar dan penting. Menjaga amanat warga. Membersihkan pemerintahan daerah. Memimpin perubahan dengan sungguh-sungguh. Saya perlu teman tandem yang pas. Yang kuat. Yang integritasnya kokoh. Karena itu, saya hanya mau maju bersama Pak Kyai Muqit.” Itulah kurang lebih penjelasan dr Faida ketika itu.

Takdir Alllah kemudian menyandingkan dr Faida dan Kyai Muqit sebagai pasangan kandidat Bupati dan Wakil Bupati Jember dalam Pilkada 2015. Saya beruntung berkesempatan melakukan pendampingan untuk keduanya. Saya beruntung bisa belajar banyak dari balik kerja pemenangan keduanya.

Ada keberuntungan lain yang saya selalu syukuri: Mengenal cukup dekat dan kemudian bersaudara dengan dr Faida dan Kyai Muqit. Banyak hal saya bisa ceritakan tentang ini. Tapi, izinkan kali ini saya fokuskan cerita saya ke Kyai Muqit.

*****

“Di rekening saya hanya ada uang Rp 13 juta, Kang.”

Itulah pengakuan Kyai Muqit dalam pembicaraan awal kami lima tahun lalu. Ia mengatakannya dengan nada sangat santai.

“Jangankan ikut Pilkada, untuk beli sepeda motor yang bagus saja tak cukup,” lanjutnya ditimpali ketawanya yang khas.

Saat dr Faida dan Kyai Muqit berkampanye di Silo, kampung halaman Pak Kyai, saya mendengar dengan takzim cara unik keduanya berkomunikasi. Dr Faida, seperti biasa, tak suka basa-basi. Pidatonya langsung menusuk ke pokok soal: Menceritakan apa yang akan dikerjakannya jika jadi Bupati. Jika setuju silakan dukung. Jika tidak, silakan minggir.

Kyai Muqit kemudian melengkapinya dengan sangat manis. Salah satu bagian termanisnya adalah soal politik uang.

“Jika Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang hadir di sini berharap saya dan Bu Faida akan membagi-bagikan uang, saya jamin Bapak-bapak dan Ibu-ibu akan kecewa. Pasti akan kecewa! Sebab, kami berdua tak punya niat sama sekali dan tak akan membagi-bagikan uang!”

“Bu Faida punya uang tapi sama sekali tak punya niat dan tak akan membagi-bagikan uang supaya dipilih oleh Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian. Apalagi saya! Pertama, saya memang tak punya niat, tak ada rencana, tak akan membagi-bagikan uang. Kedua, saya juga kebetulan tak punya uang!”

“Mengapa kami berdua tak mau bagi-bagi uang? Kami tak mau Bapak-bapak dan Ibu-ibu punya pemimpin korup. Calon pemimpin yang menghamburkan uangnya saat Pilkada, saat terpilih akan berusaha mengambil kembali uangnya. Dari mana? Dari APBD. Artinya, setelah terpilih mereka akan mencuri uang Bapak-bapak dan Ibu-ibu sendiri. Uang rakyat! Biasanya uang yang mereka curi jauh lebih besar dari uang yang mereka bagi-bagikan saat Pilkada.”

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu mau dipimpin koruptor?! Saya dan Bu Faida tidak mau jadi koruptor. Jadi silakan saja pulang dengan kecewa karena kami tak akan membagi-bagikan uang!”

Begitulah kurang lebih antara lain isi pidato Kyai Muqit di awal masa kampanye Pilkada 2015 dulu. Dalam hari-hari berikutnya, keunikan demi keunikan melekati kampanye Kyai Muqit.

Di satu forum kampanye, sejumlah Kyai berkumpul. Alih-alih membujuk para Kyai untuk memilihnya, Kyai Muqit justru membuat pernyataan sebaliknya. Tapi justru dengan cara ini Kyai Muqit meluluhlantakkan pertahanan para Kyai itu.

“Saya sama sekali tak menginginkan apalagi mengejar jabatan ini. Saya akhirnya merasa terpanggil mendampingi Bu Faida setelah mendengarkan apa yang hendak dilakukannya jika jadi Bupati. Bu Faida ingin ditemani, diingatkan, supaya kuat. Ia ajak saya bersama-sama membersihkan Jember dan merawat hak-hak rakyat.”

“Tapi jika ditanya, apakah saya merencanakan dan menginginkan jadi Wakil Bupati? Jawaban saya, tidak sama sekali. Jadi, jika detik ini juga Bu Faida bilang sama saya bahwa pencalonan saya dibatalkan, Demi Allah, saya akan bahagia!”

Selepas mengatakan itu, dengan mata tergenang para Kyai yang hadir memeluk erat-erat Kyai Muqit.

Di banyak tempat kampanye, terjadi keanehan. Biasanya, kandidat keliling berkampanye sambil memberikan ini dan itu ke warga yang hadir. Kampanye Kyai Muqit berbeda. Di semua tempat, Kyai Muqit tak pernah membagi-bagikan apapun — kecuali beberapa atribut kecil kampanye.

Sebaliknya, di banyak tempat, justru warga yang memberi Kyai Muqit dengan bermacam-macam bekal. Umumnya, hasil cocok tanam.

“Di rumah Pak Kyai pasti banyak tamu. Ini untuk menyuguhi mereka.” Ini alasan paling umum para pemberi bekal itu.

Salah satu bagian yang sangat saya sukai selama masa kampanye adalah cara Kyai Muqit menjalani Debat Kandidat. Santai. Lepas. Penuh empati. Bicara tak hanya dengan rasionya tapi juga hatinya. Menjadi diri sendiri. Walhasil, sekalipun Kyai Muqit belum punya pengalaman memimpin pemerintahan saat itu, ia tampil dengan kuat. Ia mewakili suara banyak orang.

*****

Allah kemudian menakdirkan pasangan dr Faida – Kyai Muqit sebagai pemenang Pilkada 2015. Bu Faida menjadi Bupati perempuan pertama di Jember. Kyai Muqit menjadi Wakil Bipati pertama dari kalangan Kyai di salah satu Kabupaten sarang terbesar pondok pesantren di Indonesia.

Selepas itu, sebagaimana sudah saya bisa duga dari awal, dr Faida dan Kyai Muqit menjadi pasangan yang dinamis. Tandem dari dua orang berkarakter hasilnya niscaya dinamika.

Selain itu, agenda-agenda perubahan yang mereka gerakkan mendinamisasi pemerintahan Jember. Jember menjadi salah satu daerah paling dinamis di Indonesia. Konflik antara Bupati vs DPRD kerap jadi berita. Dinamika ini antara lain terbangun sebagai konsekuensi logis dari kekerasan hati Bupati dan Wakil Bupati memegang janji mereka: Membersihkan pemerintahan daerah.

Ketika saya, PolMark Indonesia dan DigInc Asia mulai bersiap untuk melakukan pendampingan di Jember untuk Pilkada 2020, saya mendengar kabar burung bahwa Kyai Muqit dan dr Faida berkonflik sehingga tak lagi maju bersama. Tentu saja saya haqqul yakin bahwa bahwa kabar burung itu tak akurat — sebagaimana biasanya sebuah kabar burung. Terlepas dinamisnya hubungan Bupati dan Wakil Bupati, saya tahu persis kuatnya ikatan emosional dr Faida dan Kyai Muqit.

Tapi, tetap saja saya merasa perlu tabayyun, melakukan konfirmasi atau falsifikasi ke Kyai Muqit secara langsung. Kamipun melakukan sejumlah pertemuan panjang. Beberapa di antaranya melibatkan Bu Nyai.

Ternyata, Kyai Muqit memang sudah memutuskan untuk kembali ke pesantren. Pak Kyai pun sudah meminta izin dr Faida untuk tidak mendampinginya lagi untuk Termin Kedua.

Sebaliknya, dr Faida berkeras untuk meminta Kyai Muqit menjadi teman tandemnya lagi. Akhirnya dr Faida luluh karena keinginan Kyai Muqit tak melanjutkan kepemimpinan formal sebagai Wakil Bupati itu memang dilandasi alasan kuat dan berdasar.

Di satu sisi, Kyai Muqit merasa bahwa dr Faida sudah membuktikan diri bak batu karang. Pemimpin yang tak mudah bergeser posisi oleh sapuan gelombang besar.

Kyai Muqit, sebagaimana juga saya, menyaksikan dr Faida bersikap seperti Almarhum Munir bersikap. Jika yakin berada di jalan kebenaran dan membela kemaslahatan orang banyak, tak akan mau mundur satu senti meter pun. Tentu bukan kebetulan bahwa dr Faida dan Almarhum Munir adalah saudara sepupu. Ayahanda dr Faida adalah adik kandung Ibunda Munir.

“Jika ada orang mengajak saya berkelahi dan saya di pihak yang benar, sungguh tak sopan jika tak saya layani,” begitulah antara lain jawaban dr Faida ketika saya tanyakan salah satu kasus konfliknya.

Pak Kyai berhasil meyakinkan dr Faida bahwa dengan teman tandem lain, dr Faida akan baik-baik saja. Akan tetap kuat. Tetap jadi batu karang.

Karena itu, Kyai Muqit merasa lega dan leluasa untuk mendengarkan panggilan hatinya: Kembali memakmurkan pendidikan di pesantrennya. Ia merasa lega untuk kembali aktif sepenuhnya menyiapkan para santrinya menjadi generasi baru yang terdidik dan punya kepribadian.

Saya sendiri percaya bahwa Kyai Muqit — seperti biasa — pasti akan mengekspresikan dukunganya secara elok dengan menimbang semua azas kepatutan. Tetap menjaga Sumpah Jabatannya. Tidak melanggar aturan.

*****

Benar saja. Keyakinan saya terbuktikan pada hari Minggu, 6 September 2020. Itulah hari Pendaftaran pasangan Faida-Vian ke KPUD Jember.

Pak Kyai dan Bu Nyai Muqit membuktikan niatnya menunaikan hak-hak kewarganegaraan mereka yang dijamin konstitusi. Keduanya tegas mengekspresikan dukungannya untuk calon pemimpin yang mereka nilai paling pantas mendapat mandat rakyat. Pada saat yang sama, mereka ekspresikam dukungan itu dengan elok. Mereka taati aturan sekaligus jaga kepatutan.

Pak Kyai Muqit dan Bu Nyai mengantarkan pasangan Faida-Vian dengan kendaraan pribadi mereka. Suzuki Ignis mungil kebanggaan mereka. Dan Pak Kyai menyetir sendiri. Bu Nyai duduk manis di sampingnya.

Mereka tak mau menggunakan mobil dinas dan menggunakan supir yang dibiayai APBD.

Mereka mengekspresikan dukungannya di Hari Minggu. Hari libur mereka. Mereka melakukannya di sela-sela kegiatan akhir pekan rutin mereka: Berdiam di Pondok Pesantren yang mereka kelola di Silo.

Selepas pendaftaran pun Pak Kyai bergegas kembali ke Silo karena sudah ditunggu para santri di kelas yang diajarnya.

Maka, di Jember, pada hari Minggu yang panas kemarin, hati saya sungguh adem. Saya menjadi warga negara Indonesia yang berbahagia diberi kesempatan mendapat pelajaran dari dua sosok penuh integritas itu. Kyai dan Bu Nyai Muqit.

Saya pun langsung ceritakan peristiwa indah itu ke Sandrina (Malakiano), Deputi CEO PolMark Indonesia yang kebetulan tak hadir di Jember. Saya ceritakan cara elok Kyai dan Bu Nyai Muqit mengekspresikan dukungan konstitusionalnya sebagai warga negara sambil tetap menjaga sumpah jabatannya. Mata saya sedikit berair saat menceritakannya.

*****

Dalam perjalanan kembali dari Jember dan Banyuwangi ke Bintaro, saya mendengar kabar bahwa kehadiran Kyai Muqit dan Bu Nyai dalam pendaftaran Bu Faida dan Mas Vian, menjadi gorengan politik di Jember. Bahkan, saya dengar ada yang berusaha membenturkan Kyai Muqit dengan Bawaslu.

Mendengar kabar itu, saya membatin. Jika langkah elok Kyai Muqit di Jember benar-benar sampai dipersoalkan Bawaslu sebagai akibat gorengan politik, saya akan mendampingi sepenuhnya Pak Kyai. Saya ingin ada di samping Pak Kyai.

Langkah Pak Kyai Muqit dan Bu Nyai seharusnya jadi contoh bagaimana pejabat publik menegakkan hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara tanpa mencederai sumpah jabatannya. Semakin langka pejabat berintegritas seperti ini.

Saya ingin mendampingi Kyai Muqit bukan karena mau sok jago. Bukan sama sekali. Saya hanya tak mau, tak rela, urusan politik merusak kebahagiaan dan kebanggaan saya sebagai warga negara. Itu saja.

(Bintaro, Tangerang Selatan,
Selasa, 8 September 2020)

Mulai isuk oleh WA Iki 💄💄🌹🌹🌹