WARNA WARNI PESTA DEMOKRASI

Oleh: Irwan Hidayat*

Pesta Demokrasi Pemilihan Bupati seluruh Indonesia khususnya wilayah (Jawa Timur) telah berada di depan mata ,tepatnya 9 Desember 2020. Euforia disemua elemen masyarakat telah kembali menggelora dengan berbagai corak. Ekspresi tersebut dilakukan sebagai bentuk pengharapan akan lahir pemimpin baru yang siap melepaskan masyarakat khususnya di daerah masing-masing dari berbagai belenggu persoalan serta mampu mengantarkan pada kesejahteraan.

Lantas pertanyaan yang muncul adalah, apakah demokrasi memang masih merupakan sistem yang pas untuk menjawab arah berkenegaraan yang lebih baik dan mensejahterakan segenap rakyat Indonesia? Dan kalaupun memang sudah tepat, lalu pada titik mana arah demokrasi ini kemudian menyimpang dari rel sejatinya? Atau apakah hati nurani masih menjadi rujukan mendasar dalam menentukan pilihan?” mengingat pragmatisme tidak hanya berupa uang (Money) tetapi dalam pemahaman penulis ialah adanya kontrak yang terbangun antara pemilih (tim) dengan kandidat dan biasanya kontrak tersebut akan terealisasi setelah acara pesta Demokrasi selesai. Jika hal demikian adanya maka secara bersamaan akan membuat nurani tercemar dan tak bisa lagi dijadikan sebagai landasan dalam menentukan pilihan.

Di sini, kita hanya mencoba sedikit meletakkan perspektif lain dalam mengurai benang kusut arah demokrasi kita. Itupun bila kita sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem yang paling moderat dan cocok bagi masyarakat kita dalam menggapai arah kesejahteraan hidupnya yang lebih baik. Persoalannya, barangkali adalah bahwa konsep demokrasi yang diformat dalam sistem ketatanegaraan kita, terkesan masih “mengantang asap”.

Demokrasi yang sejatinya merupakan ruang interaksi pubik yang mengandalkan dialog sebagai roh yang mengidupkannya serta basis kewarganegaraan yang kuat sebagai kerangka untuk menciptakan adanya kesetaraan, belum juga menjadi bagian yang menyatu dalam sistem keseharian kita.

Dengan begitu, demokrasi kemudian hanya berhenti pada dimensi prosedural saja untuk tak mengatakannya macet hanya pada tataran retorika semata. Dalam bangun besar kenegaraan kita, demokrasi memang telah tampil sebagai “bingkai emas” yang dipuja-puji bahkan sampai ke dunia internasional. Pada tataran ini, kita memang telah berhasil menyakinkan dunia luar bahwa Indonesia yang notabene sangat pluralistik mampu menempatkan diri sebagai negara demokrasi.

Pertama, semakin terbentuknya ruang kesadaran kewarganegaraan pada masyarakat. Kesadaran tentang nilai-nilai kewarganegaraan inilah yang titik tumpu untuk membangun interaksi publik yang lebih berwarna dialog dan berdimensi kesetaraan. Tanpa adanya ruang kesadaran tersebut, maka yang terlihat adalah berkuasanya kesadaran “massa” yang demikian gampang dimanipulasi oleh berbagai kepentingan. Pada tataran tertentu, gejala inilah yang sering terlihat dalam keseharian interaksi publik kita saat ini.

“Massa” kemudian terlihat mendominasi proses-proses pengambilan keputusan di ruang publik. Di sini, kita harus membedakan antara “massa” dengan kelompok-kelompok masyarakat yang berkumpul karena persamaan pemikiran dan kepentingan. “Massa” adalah kerumunan orang yang sebenarnya demikian cair yang hanya memakai kekuatan kerumunan tersebut untuk menekan dan memaksakan kehendak.

Karena kekuatan “massa’ yang demikian tak lagi terkendali ini. Demokrasi kemudian terkesan sebagai kebebasan untuk memaksakan apa pun dan kemudian menghalalkan kekerasan untuk pemenuhan kehendak itu. Tidak mengherankan bila hampir setiap saat kita menyaksikan bagaimana kekerasan dari sekelompok massa dipertontontan secara vulgar.

“Massa” yang sebenarnya terbentuk untuk kepentingan sesaat menjadi demikian terlihat beringas. Dan terkadang, di bawah tekanan “massa” itulah keputusan-keputusan publik diambil. Inilah yang menjadikan berbagai keputusan publik terlihat sangat tidak mengorientasikan nilai-nilai demokrasi, di mana dialog serta kesetaraan yang menjadi titik tumpunya.

Dalam konteks ini, alih-alih akan membangun sistem demokrasi yang berbasis akal sehat, kita akan terjerembab pada situasi chaos yang menjadikan kekerasan sebagai pembenaran untuk memenuhi kehendak. Di sini, kita akan menemui apa yang disebut sebagai kekuasaan “massa” yang menjadi tirani dan mampu mengatur apa keputusan-keputusan publik apa pun.

Bila fenomena ini terus saja semakin menguat, lebih jauh lagi, kita akan memasuki tahap di mana sendi-sendi demokrasi menjadi semakin keropos dan perlahan menjadi negara yang dikendalikan oleh “mafia dan preman” Kekuatan “mafia dan preman” ini telah mulai tanpak. Berbagai kasus hukum, sosial kemasyarakatan yang membelit bangsa ini terlihat dengan gampang dikendalikan oleh sebuah kekuatan yang berada diluar sistem kenegaraan kita yang sah. Yang paling anyar adalah bagaimana kita menyaksikan Tragedi Mesuji dan Bima yang demikian memilukan itu muncul karena adanya kekuatan “mafia dan preman” tersebut.

Kedua, hal yang paling menentukan dari terbangunnya sebuah demokrasi yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat adalah berjalannya sistem penegakan hukum (law enforcement) yang kuat dan berkeadilan. Tanpa adanya penegakan hukum yang mampu memberi rasa keadilan pada masyarakat, maka segala macam omongan tentang demokrasi bisa dipastikan hanya ada pada tataran basa basi semata.

Hukum pada sebuah sistem demokrasi adalah pilar yang menjadikan sistem ini mampu berdiri. Dan bila pilar ini runtuh maka dengan sendirinya sistem demokrasi pun akan turut tumbang. Bila hal ini dikaitkan dengan fenomena sistem berdemokrasi kita di Indonesia, maka yang terlihat adalah sebuah ironi yang demikian memiriskan hati. Di Indonesia, hukum dan penegakannya telah menyimpang jauh dari sebuah sistem yang sama sekali tak lagi menjadi tempat untuk mencari keadilan.

Untuk itu, marilah mengawal demokrasi kita dengan memberikan dukungan secara cerdas, jujur, dan bijak, bukan dengan janji, intimidasi atau semacamnya. Sehingga hasil dari pesta Demokrasi senantiasa bermuara pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.. Semoga..!!

*Penulis adalah mahasiswa aktif fakultas dakwah IAIN Jember dan penulis*