*Merdeka?*

Oleh : Daniel Mohammad Rosyid

Menjelang peringatan 75th hari kemerdekaan RI ini patut kita mencermati apakah kita sungguh2 merdeka. Saat sebelum Pandemi Covid19 ini menghentikan ekonomi global dan nasional, Mendikbud Nadiem Makarim sudah meluncurkan program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Kedua program ini saja menunjukkan bahwa kita belum merdeka. *Misi pendidikan sesungguhnya memang cuma satu : menyediakan syarat budaya untuk hidup merdeka*. Tapi bukan itu yang menjadi misi pendidikan nasional selama 50 tahun terakhir ini.

*Dunia pendidikan sudah lama tidak merdeka dan karenanya tidak memerdekakan*. Dunia pendidikan sudah lama dimonopoli secara radikal, demikian kata Ivan Illich, oleh persekolahan paksa massal sebagai instrumen teknokratik untuk menyediakan buruh trampil yg cukup cerdas untuk menjalankan mesin2 tapi sekaligus cukup dungu untuk khusyu’ bekerja bagi kepentingan investor. Wajib Belajar dikerdilkan menjadi Wajib Sekolah. Sedikit pencermatan akan menunjukkan bahwa persekolahan paksa massal tidak pernah dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi untuk membangun jiwa merdeka yang dibutuhkan untuk hidup merdeka.

*Jiwa terjajah itu memang dikehendaki oleh para investor*, terutama investor asing. Investor asing dalam arsitektur kelembagaan ekonomi ribawi sejak Orde Baru adalah kekuatan nekolimik yang menjarah sumberdaya alam sekaligus memperbudak bangsa ini. Tidak kurang tidak lebih. *Jiwa merdeka adalah kompetensi yang tidak dikehendaki oleh Pemerintah* apalagi investor. Kemerdekaan meningkatkan ketidakpastian yang mengancam investasi.

Upaya mengurangi dampak negatif persekolahan paksa massal itu sudah dilakukan oleh Muhammadiyah melalui persekolahannya yang dikembangkan dengan kurikulum sendiri. Namun harus dikatakan bahwa upaya Muhammadiyah itu semakin tidak efektif karena makin terjerumus dalam perangkap persekolahan paksa massal. Jika sebelum Orde Baru Muhammadiyah melahirkan banyak pengusaha dan saudagar, justru setelah Orde Baru, persekolahan *Muhammadiyah justru semakin kurang melahirkan klas enterpreneur ini*. Pendekatannya semakin “sekolahan” dengan obsesi mutu yang berlebihan. Akibatnya, persekolahan Muhammadiyah menjadi semakin _outside-in_ melalui penyeragaman massal. Padahal, pendidikan yang memerdekakan harus lebih mengutamakan relevansi, lebih _inside-out_ agar lebih bermakna.

*UU Pesantren yang lahir baru-baru ini akan juga menyekolahkan pesantren* di bawah jargon mutu, akreditasi dan sertifikasi. Dugaan keras saya, UU Pesantren ini akan justru menghilangkan kemandirian pesantren. Seperti sekolah-sekolah Muhammadiyah, pesantren-pesantren NU akan menjadi instrumen teknokratik penyiapan tenaga kerja trampil untuk kepentingan investor yg oleh RUU Omnibus Law akan memperoleh karpet merah untuk menginvasi seluruh pelosok tanah air Republik ini.

Saya tidak tahu persis apa yang dibayangkan oleh Mendikbud. Tapi Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka mensyaratkan *pemerdekaan Sistem Pendidikan Nasional dari monopoli radikal persekolahan*. Sesuai washiyat Ki Hadjar, tugas-tugas pendidikan harus lebih banyak diemban oleh keluarga dan masyarakat. Persekolahan harus bersifat melengkapi dan menambahi saja. Tidak seperti sekarang ini : makin banyak dan lama sekolah, pendidikan justru makin langka, kedunguan makin luas. Seperti yang disinyalir Gus Baha, pengajian umum makin marak, tapi kajian kitab makin langka.

Malang, 16/8/2020