Tentang Sebutan “Kiai”

Oleh : Gus Ulil Absyar Abdalla.

Pagi ini saya diundang memberikan ceramah secara on-line di masjid An-Nur di Kebayoran. Karena memberikan ceramah, lalu saya disebut sebagai “kiai”, mungkin karena sebagian jamaah “ewoh” kalau tidak menyebut seorang penceramah dengan sebutan ini. Ada perasaan “merinding” dalam diri saya ketika menerima panggilan seperti ini. Kepada jamaah, saya tekankan bahwa saya ini bukan “kiai”, dan belum memenuhi syarat sebagai kiai.

Selama ini, saya memang ngaji Ihya’ yang ditulis dalam bahasa Arab itu. Tetapi mampu membaca kitab berbahasa Arab tidak langsung membuat seseorang layak disebut “kiai”. Menjadi “kiai” mensyaratkan banyak hal, bukan sekadar bisa membaca kitab berbahasa Arab saja.

Hingga sekarang ini, saya masih merinding dan ketakutan jika ada yang menyebut saya “kiai”. Saya jelas masih jauh dari maqam kekiaian, baik dari segi ilmu, amalan, maupun (apalagi) “ahwal” atau pengalaman-pengalaman rohaniah. Jika selama ini saya membaca kitab Ihya’, itu tidak secara otomatis membuat saya layak menjadi “kiai”. Sama sekali tidak.

Saya “ngaji” kitab Ihya’, itu karena dua alasan yang sederhana saja. Pertama, karena saya ingin menyebarkan informasi/ilmu tentang kekayaan peradaban rohaniah dalam Islam seperti tercermin dalam kitab-kitab al-Ghazali. Saya sekedar sebagai “penyampai informasi” saja, ndak kurang kurang, ndak lebih. Saya belum mampu mengamalkan isi kitab Ihya’ secara konsisten; masih “belang-bonteng”. Kedua, ya karena kebetulan saja saya bisa bahasa Arab, gara-gara pernah belajar kitab di pondok dulu.

Tetapi, dari segi syarat-syarat kekiaian, saya jelas belum layak menjadi atau disebut “kiai”. Saya melihat sendiri orang-orang yang benar-benar layak disebut kiai, seperti guru saya Allah yarham Kiai Sahal Mahfudz. Inilah sosok yang benar-benar layak disebut “kiai”. Dari segi ilmu, amalan, dan ahwal, Kiai Sahal “mumpuni” semuanya.

Kiai Sahal hanya contoh saja. Contoh kiai-kiai lain bertebaran di seluruh penjuru nusantara: mereka ini, dengan gaya dan caranya masing-masing, menunjukkan kualitas kekiaian yang “mumpuni”.

Salah satu syarat kekiaian yang amat berat, selain aspek keilmuan, adalah istiqamah dalam amalan, baik amalan ubudiyyah, maupun amalan dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat tanpa pamrih apapun. Kata kuncinya adalah “istiqamah”, konsistensi, bukan tindakan yang angot-angotan, “dang-thek”.

Syarat-syarat ini, saya masih belum bisa meraihnya, dan karena itu saya, jujur saja, belum layak disebut kiai. Kalaupun saya selama ini disebut “kiai”, itu saya anggap sebagai “ismun bila musamma”: sekedar sebutan saja, tanpa isi.

Monggo sarapan. Hari ini saya sarapan nasi jagung kiriman dari Mas Abdul Gofir. Terima kasih, Mas. Akhirnya “klangenan” saya terpenuhi. Nasi jagung ini sampai di rumah saya jam 2:30 dini hari. Serasa mendapat anugerah yang besa