Kado Kecil Untuk Prof Al Makin

Oleh : Gus Ulil Abshar Abdalla

Otak saya bekerja terus sejak tadi pagi, dan akhirnya sulit tidur. Lalu, tiba-tiba, “mak-tingggg” muncul pikiran ini. Daripada hilang sia-sia, saya tulis saja, sekaligus persembahan sederhana untuk kawan saya yang cerdas, Prof. Al Makin, yang hari ini (10/7) terpilih sebagai rektor UIN Suka Yogyakarta.

Ada semacam “beban intelektual” di kalangan sebagian sarjana dan intelektual Muslim (terutama di Indonesia, dan terutama lagi di lingkungan IAIN) untuk melihat segala masalah dalam kerangka “pembaharuan pemikiran”. Meskipun saya tidak menyangkal pentingnya kerangka ini, karena saya juga terlibat cukup “jauh” di dalamnya, tetapi harus diakui dengan jujur bahwa ada kelemahan yang “fatal” juga di sana.

Kerangka pembaharuan (khithab al-tajdid) membuat banyak kalangan mengabaikan warisan pemikiran dalam tradisi. Sebab, warisan ini memang agak sulit dibaca dan dipercakapkan dalam kerangka “pembaharuan” tadi itu. Akibatnya warisan ini dilupakan, atau tidak masuk dalam percakapan ilmiah. Kalaupun karya-karya ini dipercakapkan, maka biasanya dengan nada “dismissive”, nada meremehkan atau agak “merendahkan”.

Contoh sederhana adalah kitab Imam Nawawi Banten: “Nihayat al-Zain.” Berhadapan dengan kitab ini, seseorang yang semata-mata menggunakan “kerangka pembaharuan” akan menghadapi kesulitan. Bagaimana membicarakan kitab tradisional dan ditulis dengan gaya klasik ini dalam kerangka pembaharuan? Agak sulit. Inilah yang menjelaskan kenapa kitab-kitab semacam ini kurang menarik bagi para sarjana atau intelektual yang menempuh jalan reformisme. Kitab-kitab ini jelas tidak masuk dalam kategori “reformis”, sebaliknya: menjadi obyek reformasi.

Inilah sebabnya, kerangka pembaharuan sebagai alat analisis, menurut saya, tidak memadai untuk melihat semua kasus. Dalam membicarakan kitab “Nihayat al-Zain”, misalnya, kita mesti menggunakan alat analisa yang lain. Ada banyak cara dan pendekatan. Cara membaca yang tepat untuk kitab ini, misalnya, adalah dengan menggunakan (katakan saja) teori ‘merawat tradisi’ dan ‘menjaga vitalitas tradisi dalam menghadapi perubahan’. “Maintainance of vitality of the tradition” theory. Itu nama buatan saya sendiri; jadi pasti ndak ada di buku.

Bagaimana tradisi dirawat, bagaimana mekanismenya, bagaimana lingkungan berpengaruh dalam merawat tradisi ini, dst, itu adalah isu-isu yang menarik dielaborasi.

Dengan teori semacam ini, kitab-kitab klasik itu menjadi mungkin dipercakapkan kembali bukan sebagai “obyek reformasi”, melainkan sebagai entitas yang memiliki makna dan nilai pada dirinya sendiri, “per its relationship to the changing social context”.

Lalu senyap… (berusaha tidur).

———

Foto kiriman dari Kiai Zainal Arifin Junaidi II