Ditengah Huru Hara, Trump Bisa Menang

 

Oleh:
Tofan Mahdi*)

Judul ini terkesan melawan arah, setidaknya bagi pembaca di Indonesia. Pandemik covid-19 yang melumpuhkan banyak sektor ekonomi di Amerika Serikat, isu rasisme yang terus mencuat, pun sikap Presiden Donald Trump yang terkesan arogan dan menentang tuntutan publik, memunculkan banyak analisis bahwa Trump akan kalah pada Pemilihan Presiden (Pilpres AS) pada 3 November, empat bulan mendatang. Namun, menganalisis Pilpres di AS selalu menarik dan tidak sesederhana ulasan para pakar politik pun media. Alih-alih akan kalah, bukan tidak mungkin di tengah berbagai huru hara tadi, Donald Trump akan kembali terpilih sebagai Presiden Amerika periode 2021-2025.
Ada beberapa faktor yang bisa memperkuat spekulasi tersebut.

Fenomena Dua Periode

Hampir bisa dipastikan, dua calon presiden yang bertarung pada Pilpres AS tahun ini adalah presiden incumbent Donlad Trump (kandidat Partai Republik) dan Joe Biden (Partai Demokrat). Umumnya, Presiden AS memegang masa jabatannya dua periode. Hanya ada tiga presiden AS di era modern (pasca Perang Dunia II) yang hanya menjabat satu periode: yaitu Gerald Ford (1974-1977), Jimmy Carter (1977-1981), dan George H. W. Bush (1989-1993). Gerald Ford (Republik) yang menggantikan Richard Nixon yang tersandung kasus Watergate, kalah dari kandidat Partai Demokrat yaitu Jimmy Carter. Namun, Jimmy Carter juga hanya menjabat satu periode karena kalah dari capres dari Partai Republik, Ronald Reagen. Sedangkan George W. Bush (Republik) kalah dari Bill Clinton (Demokrat).

Bahkan jika ditengok jauh ke belakang sejak AS merdeka, dari 45 presiden yang pernah menjabat, hanya ada 9 presiden yang menjabat satu periode. Saya belum pernah membaca analisis mengenai fenomena tersebut, tetapi yang pasti jika melihat tiga presiden AS yang menjabat satu periode pasca Perang Dunia II, selalu ada peristiwa luar biasa yang membuat mereka gagal kembali berkantor di Gedung Putih.

Gerald Ford adalah wapres dari Richard Nixon. Baru memasuki tahun petama periode kedua pemerintahannya, Nixon tersandung skandal Watergate. Sebetulnya Wapres Nixon bukanlah Ford tetapi Spiro Agnew yang resign pada 1973. Ford pun ditunjuk oleh Kongres untuk menjadi wapres. Pada 1974, akibat skandal Watergate, alih-alih menghadapi impeachment (pemakzulan), Nixon memilih mengundurkan diri. Ford pun menggantikan presiden Nixon hingga akhir masa jabatannya.

“Saya sadar bahwa kalian tidak pernah memilih saya sebagai presiden melalui kertas suara. Karena itu saya meminta kalian memastikan saya bisa menjadi presiden kalian lagi dengan doa.” Statement Ford yang cukup populer pada Pilpres 1976. Seperti diprediksi, Ford pun akhirnya kalah dari Jimmy Carter dengan selisih 54 suara elektoral.

Seperti pendahulunya, Jimmy Carter juga hanya menjabat satu periode sebagai presiden yaitu tahun 1977-1981. Banyak faktor yang membuat Carter kalah dari kandidat Partai Republik yang saat itu sudah berusia 69 tahun, Ronald Reagen. Namun dari serangkaian peristiwa besar yang paling mempengaruhi kekalahan Jimmy Carter adalah Revolusi Iran yang berbuntut penyanderaan 53 warga Amerika Serikat di Teheran yang mendominasi pemberitaan media massa di AS pada 14 bulan terakhir masa pemerintahan Carter. Jimmy Carter juga dinilai gagal dalam bernegosiasi dengan terkait pembebasan para sandera. Iran kemudian membebaskan ke-52 sandera tersebut tepat bersamaan Carter meninggalkan Gedung Putih.

Bagaimana dengan kekalahan George H.W. Bush dari Bill Clinton pada Pilpres tahun 1992? Meskipun sukses dalam kampanye Perang Teluk yang berakhir dengan okupasi Iraq terhadap Kuwait, namun ada dua faktor lain yang mengakibatkan kekalahan Goerge Bush senior ini. Pertama, resesi ekonomi di Amerika Serikat akibat dari ambruknya industri keuangan dan perbankan pada tahun 1991-1992 sehingga gagal menepati janji kampanyenya untuk melawan rezim kenaikan pajak. Faktor kedua adalah pecahnya soliditas pemilih dari Partai Republik menyusul adanya capres ketiga dari calon independen yaitu Ross Perot.

Pandemik covid-19 mungkin membuat ekonomi AS terpuruk. Isu rasialisme yang berbuntut demo dan penjarahan selama hampir dua pekan pasti akan mempengaruhi elektabilitas Donald Trump. Namun, mengapa Partai Republik masih tetap mengusung Trump? Tentu jika krisis ekonomi dan isu rasisme dianggap terjadi karena dosa Trump, pasti dia sudah gagal dalam konvensi di Partai Republik. Buktinya Trump menang. Berarti masyarakat Amerika masih mengharapkan Trump memimpin negara mereka kembali. Dan jika krisis akibat covid-19 tak separah dibandingkan krisis tahun 1991-1992, tentu tidak cukup kuat sebagai dasar bagi warga Amerika tidak memberikan kepercayaan kepada Trump memimpin untuk kedua kali. Isu rasialisme adalah masalah abadi yang terjadi di Amerika sejak negara ini berdiri. Sikap warga AS terbelah. Banyak yang menentang sikap dan kebijakan Trump yang dinilai rasis, namun banyak juga yang mendukung langkah Trump agar Amerika menjadi berjaya kembali (make America great again). Berbeda dengan kasus penyenderaan warga AS di Iran, seluruh warga AS satu suara: kelompok Revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomaeni adalah musuh bersama. Siapa yang dinilai berani bersikap lebih tegas kepada musuh bersama ini, nanti yang akan dipilih.

Male Chauvinism pada Politik AS

Male chauvinism adalah semacam keyakinan kolektif bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan wanita. Wanita adalah kelompok kelas dua dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik. Meski gerakan dan studi tentang feminismse lahir dan berkembang di AS serta diadaptasi di banyak negara maju, namun male chauvunism tetqp melekat dan mendominasi pada banyak aspek kehidupan masyarakat Amerika, termasuk dalam dunia politik.

Premis tentang male chauvinism pada kehidupan politik di AS ini semakin teguh tampak pada Pilpres 2016 di mana Donald Trump bersaing dengan kandidat perempuan dari Partai Demokrat, Hillary Rodham Clinton. Publik Amerika sangat antusias menyambut tampilnya Hillary dan dalam berbagai jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei maupun media-media mainstream di AS, Hillary diprediksi akan mengalahkan Trump. Apalagi Trump dikenal sebagai sosok pengusaha yang penuh kontroversi, termasuk gaya dan sikapnya yang sering melecehkan wanita.

Kala itu, setiap hari saya ikuti berita di saluran televisi AS maupun Indonesia, semua mengunggulkan Hillary. Bahkan, kesan saya dari berbagai tayangan berita tentang Pilpres AS tersebut, masyarakat AS seakan euforia akan hadirnya seorang presiden wanita pertama dalam sejarah 240 tahun Amerika merdeka. Yang lucu lagi dari euforia tersebut, saya melihat televisi sekelas CNN, liputan Pilpres-nya cenderung bias dan menciptakan kesan di publik bahwa Hillary akan menang mudah. Ini ditandai dengan angle pemberitaan tentang kampanye Hillary yang selalu disambut meriah masyarakat. Sementara itu angle pemberitaan tentang Trump cenderung mengangkat angle yang memberikan kesan negatif. Misalnya saat kampanye, Trump diteriaki dan dilempari. Dan, saya juga melihat media massa di Indonesia juga terbawa euforia dan angle pemberitaan dari media-media AS yang mengunggulkan Hillary. Hasilnya? Kita tahu, meskipun Hillary meraih popular vote 48%, namun Trump menang telak pada perebutan kursi elektoral, yaitu: 304 v 227. Sistem elektoral pada Pilpres ini juga dianggap sebagian masyarakat Amerika sebagai sebuah sistem yang kurang demokratis. Tulisan tentang electoral college tersebut akan saya tulis sendiri pada kesempatan yang berbeda.

Jika Filipina dan Indonesia yang merdeka usai Perang Dunia II sudah pernah memiliki presiden wanita, Amerika Serikat yang sudah merdeka hampir 2,5 abad baru satu kali memiliki calon presiden wanita. Dan itupun kalah. Bukan hanya presiden, jumlah wanita pada jabatan setingkat menteri pun, mungkin lebih banyak Indonesia.

Kita lihat saja data statistik berapa banyak jumlah wanita yang pernah menjadi menteri dalam sejarah pemerintahan Amerika Serikat? Tentu setelah amandemen ke-19 Konstitusi Amerika tahun 1920, karena sebelumnya tidak mungkin seorang wanita bisa menjadi pejabat baik di tingkat negara bagian maupun pada pemerintahan Federal.

Sepanjang satu abad tersebut saja, total baru tercatat hanya 32 orang wanita yang pernah menjadi menteri dalam pemerintahan AS. Pada masa pemerintahan Obama, ada 4 orang wanita yang menjabat menteri, salah satunya adalah Hillary Clinton sebagai menteri luar negeri.
Sedangkan pada pemerintahan Trump saat ini hanya ada dua orang menteri wanita yaitu Menteri Perhubungan dan Menteri Pendidikan. Kabar baiknya adalah semakin banyak wanita yang duduk di Parlemen Amerika, persentasenya hampir sama dengan Indonesia sekitar 20% dari total anggota Kongres dan Senat.

Kembali kepada Pilpres 3 November 2020 nanti, dengan berbagai analisis historis sosiologis seperti di atas, kandidat Partai Demokrat Joe Biden yang sudah berusia 78 tahun tidak akan mudah untuk mengalahkan incumbent Donald Trump yang berusia dua tahun lebih muda. Meski tidak ada lagi isu gender pada Pilpres kali ini, namun gaya male chauvinis ala Donald Trump masih mendapatkan tempat yang luas pada masyarakat Amerika. Pun isu rasisme yang akan menjadi bahan kampanye Demokrat untuk menyerang Trump, tetap tidak mudah menggoyahkan perolehan suara Trump. Apalagi dengan slogan untuk kembali membawa Amerika meraih kejayaan, semangat white supremacist yang masih melekat dalam hati banyak warga kulit putih Amerika, diperkirakan bisa menenggalamkan isu #blacklivesmatter yang sempat mencuat pasca kematian George Floyd pada Mei lalu. Tak perlu menunggu hingga Pilpres yang selalu dilaksanakan pada Selasa pertama setelah Senin pertama November tersebut, saat ini pun slogan #blacklivesmatter sudah nyaris tenggelam.

Selamat Hari Kemerdekaan Amerika Serikat yang ke 244. Semoga negara “mbah”-nya demokrasi ini bisa semakin demokratis.(tofan.mahdi@gmail.com)

*)Penulis adalah Guest Editor Harian DI’s Way