Bos Dahlan Iskan, Maaf Saya Pernah Melawan

Oleh : Singgih Sutoyo

Kata-kata itu pernah saya sampaikan ke bos DI (pangilan Dahlan Iskan karena kode akhir tulisan DI di Jawa Pos). Bos DI yang mantan menteri BUMN hari ini launching Harian DI’s Way. DI guru jurnakistik saya sejak awal jadi wartawan. Setelah berguru selama tiga tahun ke bos DI saya putuskan untuk keluar dari wartawan Jawa Pos. Begitu lulus dr FKIP Unej tahun 85 saya langsung melamar menjadi wartawan Jawa Pos melalui tes rekruitmen. Sehari training langsung diterjunkan penugasan liputan di Jember. Sebanyak 38 orang satu angkatan rekruitmen, hanya 5 orang yang bertahan, salah satunya Yani, adik ipar Nurcholis Madjid (Cak Nur tokoh HMI). Jawa Pos redaksi masih berkantor di Jl Kembang Jepun Surabaya. Intruksi DI wartawan jangan suka.melawan atau protes. Lebih disukai pekerja keras. Yang kedua saya setuju, yang pertama sulit karena jiwa saya aktivis mahasiswa. Oleh karena itu, saya memutuskan.mundur dari Jawa Pos daripada harus burut terus sama bos DI. Puncaknya saya menolak disuruh minta maaf kepada Syamsul kepala Agraria (BPN) Jember atas tulisan runing news saya 16 kali kasus tanah sengketa Jenggawah. Syamsul mengadu ke DI kalau tulisan saya ada motif memeras dia. Tuduhan tanpa bukti saya marah dengan melayangkan somasi melalui pengacara Amirudin SH ke kepala Agraria Syamsul.Ternyata kemudian saya baru tahu Syamsul adalah tetangga DI asal Madiun. Daripada saya minta maaf maka lebih baik saya mengajukan mengundurkan diri dari Jawa Pos. Apalagi cita-cita saya menjadi tugas liputan wartawan di Jakarta selalu tidak di acc oleh DI. Saya berfikir buat apa menjadi wartawan daerah terus yang tugas keliling di Jember, Banyuwangi, Probolinggo, Malang. Lebih baik keluar dari Jawa Pos, apalagi ada tawaran dari Lutfi Abdullah, menantu bupati Jember Soepono, bikin radio Prosalina FM dg gaji dua kali dari Jawa Pos pada 1989. Belum lagi ada peluang saya bergabung dengan Harian Surya yang tahun itu juga terbit. Saya akan melawan DI dengan Harian Surya. Keduanya sangat saling kompetetif dengan sengit. Saya ajukan menjadi agen pemasaran Harian Surya untuk Jember dan sekitarnya. Saya melakukan strategi blocking tapal.kuda untuk daerah Jember, Banyuwangi, Bondowoso dan Lumajang. Ternyata upaya saya berhasil yang membuat DI dan Jawa Pos terkejut atas penetrasi pasar keagenan koran. Akhirnya DI mengirim orang direktur Pemasaran Jawa Pos Imam untuk.minta saya mau mengembangkan ke agenan Jawa Pos juga. Memang DI bukan hanya fokus di redaksi, tp juga sangat mengikuti pergerakan penjualan dan keagenan Jawa Pos. Setahun kemudian setelah menjadi agen Jawa Pos mampu sama-sama berkembang menyamai omset penjualan Surya. Tapi tiba-tiba ada kebijakan dari DI bahwa semua agen Jawa Pos tidak boleh merangkap menjadi agen Surya. Tujuannya untuk.melemahkan penjualan Surya. Jelas ini saya nilai tidak fair. Apalagi saya lebih dulu menjadi agen Surya. Dari sini untuk kedua kalinya saya melawan DI. Namun banyak.agen Jawa Pos yang menyerah atas tekanan kebijakan DI. Melepas agen Surya. Hanya saya yang terang-terangan menolak dan.melawan DI. Saya melakukan langkah koordinasi dengan Surya. Ini adalah sebuah pertarungan sengit media melalui jalur distribusi dan pemasan yang tidak fair, harus dilawan. Cara melawannya adalah tidak cukup agen lawan Jawa Pos, tapi harus sudah melibatkan persaingan antar konglomerasi antara Jawa Pos group dengan Surya dan Kompas Gramedia Group. Atas inisatif saya ini akhirnya orang Kampas Gramedia turun ke Surabaya dan Jember. Ada lahir kebijakan untuk.memperkuat agen Surya maka semuanya juga diangkat menjadi agen Kompas dan Gramedia. Lebih menguntungkan karena menjadi agen Kompas dan Gramedia sangat prestise mendapat hampir 100 produk koran, tabloid, komik, majalah dibawah naungan Kompas Gramedia. Sedangkan Jawa Pos hanya punya produk laku Jawa Pos dan tabloid Nyata. Saya juga berusaha melawan DI saat saya mendirikan penerbitan sendiri majalah Top di Surabaya pada tahun 1999. Secara langsung bersaing dg majalah Liberty milik Jawa Pos. Kemudian membuat beberapa tabloid Mingguan dan majalah lainnya. Produk saya mampu menguasai agen bukan hanya di Jawa Timur tp juga di Jakarta dan seluruh provinsi di Indonesia. Semangat melawan DI ternyata membuat spirit bahwa saya juga bisa bikin media seperti dia. Mengikuti jejak DI, bikin koran, tabloid, majalah. Termasuk.bikin percetakan. Bahkan sebagai lawan, saya tetap hornat ke DI sebagai guru jurnalistik. Bahkan saya juga tetap mendekat pernah cetak majalah di PT Temprint milik Jawa Pos dan beli kertas di pabrik PT. Temprina milik Jawa Pos. Karena memang bagaimanapun seorang DI mmg termasuk sangat luar biasa banyak.hal yang saya bisa belajar dari kiprah jurnalistik dan.media dari DI. Termasuk terbitnya Harian DI’s Way sungguh sangat mengejutkan. Tapi saya yakin bos DI mampu mencari cara jitu dalam menghadapi disrupsi.media cetak saat ini. Bos DI adalah tokoh pers yang sulit dicarikan bandingannya di negeri ini, kecuali ada nama Gunawan Muhamad Tempo dan Jacob Oetama Kompas. Selamat buat bos DI atas terbitnya DI’S WAY.