Penyerangan PKI di 4 Pondok Pesantren di Jawa Timur

Kilas Balik Tragedi Pemberontakan PKI 1948
(Penelusuran Sejarah di Pesantren Gontor, Takeran, Tremas, Tegalsari)

Pemberontakan Partai Komunis Indonesia merupakan sejarah kelam yang terus terpatri dalam benak warga Indonesia. Dalam pemberontakan baik yang terjadi pada 1948 maupun 1965. tersebut telah banyak menimbulkan korban jiwa dari berbagai lapisan masyarakat. Pemberontakan ini telah menyisakan trauma yang amat mendalam, khususnya bagi kalangan pesantren di sekitar Kerasidenan Madiun meliputi Madiun, Magetan, Ponorogo, Pacitan) yang banyak menjadi sasaran keganasan PKI saat peristiwa yang dikenal dengan Madiun Affair tahun 1948.

Pesantren menjadi salah satu target utama PKI, karena pesantren dikenal dengan pejuang militan yang anti-atheis. Dari berbagai pesantren yang menjadi target pembantaian PKI pimpinan Muso tersebut, dalam rangkaian perjalanan Santri Backpacker Nusantara, beberapa beberapa kisah yang sempat kami rangkum setelah sempat mengunjungi beberapa pesantren tersebut, diantaranya Pesantren Modern Gontor Mlarak Ponorogo, Pesantren Tremas, Arjosari, Pacitan Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran, Magetan dan Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Senin – Kamis 18-22 Ramadhan 1439 H/4-7 Juni 2018

*Penyerangan di Pondok Gontor*
Dikisahkan dalam Serial Biografi KH. Imam Zarkasyi dari Gontor, saat itu pada tanggal 7 September 1948 terjadi pengepungan Gontor oleh gerombolan PKI setelah sebelumnya membantai kyai lain seperti Kyai Hamid Dimyati Tremas Pacitan, Kyai Mursyid Takeran dan lain-lain. Tetapi Allah SWT masih menyelamatkan pesantren yang memang saat itu menjadi basis pertahanan dan markas Hizbullah dengan berhasilnya KH. Ahmad Sahal dan KH. Imam Zarkasyi berhasil mengungsi bersama-sama santri-santrinya.

Ada sebuah kisah menarik siapa yang akan tinggal menunggu pondok. Kedua kyai ini benar-benar mengajarkan bagaimana mereka tidak rela saudaranya menderita. Kyai Imam Zarkasyi berkata “Sudah, pak Sahal, kamu saja yang berangkat mengungsi dengan para santri. Yang diketahui Kyai Gontor itu ya kamu. Biar saya yang menjaga pesantren, tidak akan dikenali saya ini.”.

Namun, mendengar kalimat itu Kyai Sahal malah gantian menyanggah, “Tidak, bukan saya yang harus mengungsi, tapi kamu saja Zar. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak, pesantren ini lebih membutuhkan kamu daripada saya. Saya sudah tua, biar saya hadapi PKI-PKI itu.”.

Maka diputuskanlah bahwa mereka berdua akan mengungsi bersama-sama dan berangkatlah rombongan Hijrah Kyai Gontor kearah timur menuju Gua Kusumo, saat ini dikenal dengan Gua Sahal di Trenggalek. Mereka menempuh jalur utara melewati gunung Bayangkaki. Dengan untaian air mata karena meninggalkan pondok tercinta.

Saat itulah tercetuslah ucapan dari kyai sahal, “Labuh bondo, labuh bahu, labuh pikir, lek perlu sakyawane pisa” (Korban harta, korban tenaga, korban pikiran, jika perlu nyawa sekalian akan aku berikan”.

Hingga tibalah rombongan PKI ke Gontor dan segera merangsek masuk kamar santri lalu berteriak-teriak mencari kyai Gontor. “Endi kyai-ne, endi kyai-ne? Kon ngadepi PKI kene …” (Mana Kyainya, mana kyainya? Suruh menghadapi PKI sini…).

Karena tak ada sahutan, mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri terbuat dari bambu dirusak. Kasur-kasur dibakar, buku-buku santri dibakar habis. Peci, baju-baju santri yang tidak terbawa, mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku. Termasuk beberapa kitab suci Al-Qur’an mereka injak dan bakar.

Namun pertolongan Allah turun dengan kedatanga laskar Hizbullah dan pasukan Siliwangi. Pasukan itu dipimpin KH. Yusuf Hasyim, putra bungsu KH. Hasyim Asy’ari. Pasukan PKI itu akhirnya lari tunggang langgang, karena serbuan itu. Mereka meninggalkan apa yang mereka bawa dan akhirnya membiarkan Gontor dalam keadaan porak poranda.

Penyerangan PKI di Pondok Termas*
Dalam buku mengenal Pondok Termas dan Perkembangannya, Perguruan Islam Termas, Arjosari, Pacitan juga menjadi korban keganasan PKI. Saat itu pesantren yang didirikan oleh Kh. Abdul Mannan, ini menjadi sasaran tentara PKI pimpinan Muso yag mengganas, bertubi-tubi membabi buta dan menghancurkan apa saja yang dikehendaki, sehingga kondisi Tremas saat itu begitu mencekam dan membuat banyak santri harus pulang ke rumah masing-masing.

Tak cukup itu, pimpinan pesantren saat itu, Kyai Hamid Dimyati bersama 13 orang lainnya harus syahid saat mereka dalam perjalanan menuju Kota Jogjakarta untuk memberikan laporan kepada Pemerintah Pusat yang saat itu mengalami perpindahan akibat Agresi Milter Belanda I di Jakarta. Saat itu Kyai Hamid tercatat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan sempat menjadi aktivis partai politik Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia).

Awalnya rombongan sudah berusaha menyamar menjadi rakyat biasa agar tidak ketahuan oleh gembong PKI. Namun saat beristirahat di sebuah warung di daerah Pracimontoro rombongan dicurigai dan akhirnya ditangkap oleh gerombolan PKI yang memang menguasai tempat itu. Rombongan sempat ditahan di Batu Retno dan dipindahkan ke daerah Tirtomoyo dan disanalah mereka dibantai dengan sangat keji, yang menyebabkan keempat belas orang meninggal dunia, termasuk Kyai Hamid. Hanya Pak Soimun, pembantu Kyai yang dibiarkan hidup. Kemudian semua jenazah dimasukkan dalam satu lubang yang cukup besar. Kejadian ini mengingatkan kita pada peristiwa Lubang Buaya Saat peristiwa G/30S PKI.

*Penyerangan di Pondok Takeran*
Sementara di pesantren lain, yakni di Pesantren Sabilil Muttaqin yang berada di Kecamatan Takeran Kabupaten Magetan ini, juga terjadi peristiwa serupa dimana terjadi penculikan pengasuh pesantren, Kyai Mursyid. Selain itu, beberapa nama yang menjadi korban adalah keluarga Pesantren yang terkenal dengan PSM Takeran ini. Dalam prestasi yang dibangun di depan masjid untuk mengenang peristiwa tersebut tercantum beberapa korban diantaranya Syekh Hadi Addaba’, Guru Tugas PSM dari Mesir KH. Muhammad Nur. Ustadz Imam Faham,KH. Muhammad Nurun dan lain-lain.

Sebagaimana dikutip dari laman Republika.co.id Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) KH Zakaria yang juga saksi hidup peristiwa mengenaskan tersebut mengatakan bahwa seusai shalat Jumat pada 17 September 1948 pesantrennya didatangi beberapa orang tokoh PKI. Kepala rombongan yang dipimpin aktivis PKI Suhud. Mereka datang didampingi para pengawal bersenjata yang dikenali sebagai kepala keamanan di Takeran.

”Sebelum meledak, di sekitar Takeran bertebaran aneka pamflet tentang Muso yang baru pulang dari Moskow. Pesantren Takeran dipilih untuk diserbu karena saat itu menjadi tempat atau basis pergerakan Islam. Kiai Mursyid mau diajak berunding karena sudah tahu pesantrennya terancam akan dibakar,” tegas Zakaria.

”Ketika menjemput kepada Kiai Mursyid, Suhud menukil ayat Al-Qur’an
, إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib satu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri” (QS.Ar-Ra’du: 11)

Setelah berkata seperti itu, Kiai Mursyid pun dibawa pergi dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya,” kata Kyai Zakaria seraya mengaku bahwa peristiwa itu dan siapa saja orangnya hingga sekarang masih diingatnya dengan baik.

*Penyerangan di Pondok Tegalrejo*
Pesantren lain yang sempat menjadi tempat penyerangan gerombolan PKI adalah Pesantren Tegalrejo, Ponorogo. Sebuah pesantren yang didirikan oleh Kyai Ageng Mohammad Besari, seorang ulama keturunan Sunan Giri sekitar tahun 1742 M

”Ketika massa PKI sampai di pesantren Tegalrejo itu, pengasuh pondok, KH Imam Mulyo ditangkap dan dilempari beberapa granat sembari diancam agar mau tunduk kepada ideologi dan partai mereka. Syukurnya granat itu tak meledak,” ujar Kyai Zakaria, Sesepuh Pesantren Sabilil Muttaqien Takeran ini.

Karena granat tak meledak, lanjutnya, maka kini ganti para santri yang tadinya diam saja berbalik melawan mereka. Para gerombolan itu ternyata pengecut karena malah lebih memilih lari karena ketakutan. “Mbah Kiai Pesantren Tegalsari akhirnya bisa lolos dari penculikan,” ungkap Kyai Zakaria. Dia kemudian menerangkan bila masa yang menyerbu pesantren itu berpakaian hitam, bersenjata, dan berikat kepala merah.

Di tempat lain juga berdiri sebuah monumen di Desa Rejosari, Kecamatan Kawedanan Kabupaten Magetan untuk memperingati kejadian tragis tersebut Beberapa nama ulama yang ada di monumen itu di antaranya tertulis KH Imam Shofwan. Dia pengasuh Pesantren Thoriqussu’ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan, ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan sempat mengumandangkan azan. Dua putra KH Imam Shofwan, yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani, juga menjadi korban dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.

Sungguh mengenang tragedi ini begitu menyayat hati terlebih bagi dunia pesantren. Ribuan kyai, santri dan masyarakat telah banyak yang syahid untuk memperjuangkan agama dan tanah airnya. Tak sedikit pula pesantren yang hancur akibat serangan demi serangan yang dilancarkan.

Namun peristiwa diatas adalah sejarah yang patut dikenang namun tak boleh kita berbalas dendam. karena justru setelah rentenan peristiwa PKI baik 1948 maupun 1965, pesantren-lah yang banyak menyandarkan mantan gembong PKI untuk kembali ke ajaran islam yang damai, salah satunya Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Malang yang menurut pengakuan KH. Marzuki Mustamar, sang pengasuh justru berdiri di atas tanah milik mantan anggota PKI yang insyaf.

Banyak mereka yang dulunya merupakan eks kombatan PKI seperti BTI (Barisan Tani Indonesia), Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) telah bertaubat dan kembali ke pangkauan bumi pertiwi. Putra-putri mereka juga banyak yang menjadi santri di berbagai pesantren dan tak sedikit dari mereka telah menjadi pula mendirikan pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan.

Semoga kedamaian selalu menyelimuti negeri ini agar kita dapat belajar dengan nyaman, bekerja dengan nikmat dan menikmati kehidupan dengan aman nan damai. Yang lalu biarlah berlalu, dendam sejarah biarlah menjadi kenangan pahit namun kita harus menjadikannya sebagai acuan agar tak terulang kembali.

Takeran, 22 Ramadlan 1438 H

Abid Muaffan
Santri Backpacker Nusantara

Koresponden MM.com