Tradisi Boyongan Kabupaten Lama Ke Kabupaten Baru Nganjuk

Tradisi Boyongan Kabupaten Lama Ke Kabupaten Baru Nganjuk. Tradisi Boyongan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Nganjuk meliputi beberapa serangkaian acara dimulai dari beberapa ritual, yang dilakukan oleh sesepuh di kecamaten Berbek. kemudian dilanjutkan dengan proses boyongan tersebut. Kegiatan ini dimulai pada pagi hari, yaitu persiapan peserta kirab, peserta dikumpulkan di lapangan alun-alun kecamatan Berbek, untuk kemudian pendataan kepada setiap peserta. Setelah kesemuanya siap dilanjutkan ke acara pelepasan. Prosesi boyongan yang dilakukan setiap tahun ini, mulai pukul 08.00 dari berbek menuju alun-alun Nganjuk yang memiliki jarak sekitar 10 Km.

Pada saat berlangsungnya kirap tersebut, biasanya pasar Berbek yang juga dilewati oleh rute boyongan tersebut ditutup sementara waktu, untuk kelancaran jalan prosesi. Dalam tradisi ini, peserta Boyongan sendiri terdiri dari Bupati dan para staf dan pejabat pemerintahan kabupaten Nganjuk. Selain dari pemerintah daerah,pejabat setingkat kecamatan di wilayah kabupaten Nganjuk juga berpartisipasi dalam acara tersebut.

Beberapa lapisan masyarakat salah satunya para seniman yang juga turut berpartisipasi dalam acara ini. Pertunjukan yang dilakukan dalam acara ini adalah para peserta memakai pakaian khas tradisional jawa, selain itu juga menampilkan beberapa pertunjukan yang menarik lainnya. Dalam prosesinya, yang menjadi pembuka dan ada dibarisan terdapat dalam acara Boyongan ini adalah Bupati yang saat ini menjabat, juga mengendarai kereta kencana kemudian disusul oleh wakil bupati, dilanjuktkan oleh beberapa staf atau kedinasan yang terdapat di kabupaten Nganjuk, sampai pada staf setingkat kecamatan dan Desa. Setelah itu disusun oleh masyarat yang ingin berpartisipasi dalam, acara ini. Dalam acara ini terdapat tarian tarian yang mengiringi prosesi Boyongan tersebut. Diantara tari tarian tersebut adalah :

Tari Mung Dhe
Sejarah tari Mung Dhe (tarian Perang) yang tidak dapat dilepaskan dalam peristiwa perang Diponegoro tahun 1825-1830, yang menuai kegagalan dari pasukan tersebut, dampak dari kegagalan tersebut adalah para pengikut atau prajurit yang lari ke jawa timur. Penciptaan tarian ini juga digunakan dalam mengumpulkan prajurit Diponegoro. Dengan gerakan yang sigap dan baris berbaris dengan adegan-adegan peperangan tari ini merupakan tari yang syarat akan nilai perjuangan, tari ini secara keseluruhan jumlah pemainnya terdiri dari 14 orang pemain. 2 orang berperan sebagai prajurit, 2 orang membawa bendera, 2 orang botoh dan 8 orang pemain music dan pengiring. Dalam hal tata busana, para pemain tari Mung Dhe mengguanakan make up yang mempertegas eksen dan peran mereka masing-masing, seperti mempertebal alis, kumis dan jawas. Tari ini mengiringi dalam prosesi boyongan yang berlangsung dari kecamatan Berbek sampai kabupaten Nganjuk. Untuk pemeran botoh, mengguanakn Topeng, dalam tradisinya botoh berfunsi sebagai penyemangat saat peperangan. Ada dua botoh, yaitu penthul yang menyemangati pihak yang menang, sedangkan temben merupakan penyemangat pihak yang kalah dalam perang tersebut.

Selain tarian khas dari kabupaten Nganjuk yaitu Mung Dhe, acara yang dilakukan dalam boyongan tersebut juga membawa beberapa sesaji yang telah dipersiapkan. Sesaji tersebut berupa tumpeng yang dilengkapi juga dengan makanan tradisional. Tumpeng ini buat oleh setiap kecamatan yang akan mengikuti prosesi boyongan. Selanjutnya tumpeng ini akan diarak sampai pada tempat berakirya rute boyongan yaitu di alun-alun kota nganjuk, tumpeng tersebut kemudian menjadi rebutan masyarakat yang telah menunggu dan mengharapkan berkas dari tradisi ini. Dalam sesaji berupa tumpeng ini, karena setiap pembawanya adalah dari setiap kecamatan yang ikut dalam prosesi boyongan, kita juga dapat melihat ciri khas dari tumpeng tersebut yang biasanya di hias dengan barang ataupun benda yang menjadi ciri dari setiap kecamatan tersebut. Acara terakir ditutup oleh masuknya bupati ke dalam pendopo kabupaten setelah menyerahkan pusaka yang dibawa yaitu pusaka payung