Masjid Saka Tunggal Banyumas

MASJID SAKA TUNGGAL BANYUMAS .

Masjid Tertua Di ASIA TENGGARA lebih dikenal dengan sebutan Masjid Saka Tunggal karena Masjid ini hanya memiliki saka tunggal (satu tiang utama) terletak di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Saat berada didalam Masjid kami mendapati adanya prasasti angka dalam bahasa Arab yang menyatakan bahwa Masjid tersebut berdiri pada tahun 1288. Yang mana jika tahun tersebut mengacu tahun Masehi berarti Masjid ini dibangun sebelum Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1294 Masehi dan 2 abad sebelum masa Walisongo. Dan bisa diperkirakan mesjid ini dibangun pada masa Kerajaan Singasari.

Sehingga dapat kita simpulkan bahwa Masjid Saka Tunggal adalah Masjid tertua di Indonesia. Namun menurut Bapak Rahmat
“Diragukan bahwa angka tahun pada tiang masjid Saka Tunggal itu mengacu pada tahun Masehi. Karena baru pada abad ke-16, Jawa bersentuhan dengan Eropa (asal penanggalan Masehi). Baru pada tahun 1502 Vasco da Gama memulai petualangan ke Timur. Portugis menaklukkan Malaka pada 1511, disusul dengan kedatangan VOC dan Inggris. Jadi pengaruh Barat baru muncul pada abad ke-16. Jan Pieterszoon Coen yang memimpin VOC pun baru menyerbu dan menduduki Jayakarta pada 1619.
Kecil kemungkinannya jika angka 1288 itu merujuk pada kalender Masehi. Jika angka itu ditoreh pada saat masjid dibuat, orang Jawa Islam saat itu tentu akan mengacu pada kalender Hijriyah, atau pada Kalender Saka”. (terima kasih atas revisinya).

Dikutip dari sebuah buku sejarah, Masjid Saka Tunggal senantiasa terkait dengan Tokoh penyebar Islam di Cikakak, bernama Mbah Mustolih yang hidup dalam Kesultanan Mataram Kuno. Itu sebabnya, tidak heran bila unsur Kejawen masih cukup melekat. Dalam syiar Islam yang dilakukan, Mbah Mustolih memang menjadikan Cikakak sebagai “markas” dengan ditandai pembangunan masjid dengan tiang tunggal tersebut. Beliau dimakamkan tak jauh dari masjid Saka Tunggal.

Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi. Saka tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia.
Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang”. Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia. Ya, itulah sedikit dekripsi mengenai Soko atau Saka atau dalam bahasa Indonesia adalah tiang dari Masjid Saka Tunggal, selanjutnya kita akan membicarakan keunikan wisata di Masjid Saka Tunggal Baitussalam ini.

Tiket masuk kawasan Masjid Saka Tunggal hanya Rp. 2000 perorang dan setiap pembelian tiket, Anda diberi satu bungkus makanan monyet untuk memberi makan monyet disekitar Masjid Saka Tunggal. Ya, memang disekitar Masjid Saka Tunggal ini banyak sekali monyet, pasalnya kawasan Masjid Saka Tunggal masih terletak di desa terpencil yang dekat dengan hutan.
Selain menikmati keunikan Masjid Saka Tunggal, Anda juga bisa menjumpai beberapa bangunan-bangunan rumah tua, diperkirakan usia rumah-rumah tersebut sudah sekitar ratusan tahun, terlihat dari desain rumah yang menyerupai bangunan-bangunan jaman kerajaan dulu. Walaupun sudah ratusan tahun, tetapi masyarakat sekitar masih tetap menjaga dan merawatnya.

Masjid Saka Tunggal biasanya ramai pada saat-saat tertentu, seperti hari Jumat masjid Saka Tunggal ini sangat ramai dikunjungi para jamaah shalat Jumat. Pada Hari Raya Idhul Fitri, juga banyak wisatawan yang berkunjung ke mesjid ini untuk berekreasi, maupun untuk shalat Idul Fithri. Selain itu ada juga ritual Ganti Jaro, adalah ritual mengganti pagar bambu keliling Masjid Saka Tunggal, ritual ini diikuti oleh seluruh warga desa Cikakak.

Totok Hudiantoro

Koresponden MM.com