Politik Hukum Regulasi Indonesia Dan Pembumian Negara Hukum Pancasila

Keterangan Gambar ( Ketua Mahkamah Agung RI (MA-RI) Prof. Dr. Hatta Ali, SH, MH, Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD-RI) La Nyalla Mahmud Mattalitti, dan Ketua Dewan Pembina Puspolkam Indonesia Firman Jaya Daeli)
Menurut Firman Jaya Daeli, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah Negara Hukum yang berideologi Pancasila dan berdasarkan konstitusi UUD 1945. Doktrin ini menunjukkan dan memastikan bahwa Negara Hukum Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila. Negara Hukum yang mengandung dan harus senantiasa mempraxiskan (membumikan) keseluruhan Nilai-Nilai Pancasila. Keseluruhan konstruksi dan substansi Negara Hukum Pancasila pada dasarnya semakin bertumbuh dan bermakna demokratik konstitusional ketika didasarkan dan dikembangkan dalam konteks dan kerangka UUD 1945.

Doktrin mutlak dari agenda pembumian strategi dasar dan kebijakan umum pembangunan, pembaharuan, dan penataan sistem dan kelembagaan hukum Indonedia harus senantiasa berdasarkan dan berbasiskan pada Negara Hukum Pancasila. Pembangunan, pembaharuan, dan penataan sistem dan kelembagaan hukum mesti selalu juga diarahkan dan diperuntukkan dalam kerangka untuk semakin merefleksikan dan membumikan Nilai-Nilai (Sistem Nilai) Negara Hukum Pancasila. Intisari dan orientasi pemikiran dan penerapan serangkaian utuh, menyeluruh, mendasar, dan menyatu mengenai Negara Hukum Pancasila, pada hakekatnya melahirkan sebuah Politik Hukum Indonesia yang berideologi Pancasila.

Politik Hukum Indonesia adalah Politik Hukum Pancasila. Politik Hukum Pancasila merupakan sebuah atmosfir bernilai positif yang berintikan pada keseluruhan bangunan dan isi strategi dasar dan kebijakan umum pembangunan, pembaharuan, dan penataan sistem dan kelembagaan hukum Indonesia. Ada sejumlah variabel subsistem dari pembangunan, pembaharuan, dan penataan sistem hukum. Politik Hukum Pancasila juga menyentuh dan mengandung variabel-variabel sistem pembangunan, pembaharuan, dan penataan sistem hukum. Salah satu di antara adalah variabel instrumen hukum yang berkaitan dengan Politik Hukum Regulasi Indonesia.

Politik Hukum Regulasi merupakan keseluruhan politik perencanaan, pembentukan, penyusunan, pembahasan, penerapan, dan pembumian peraturan perundang-undangan. Politik Peraturan Perundang-undangan. Politik Hukum Regulasi mesti selalu dibentuk dan dibangun berdasarkan dan berbasis Pancasila dengan segala Nilai-Nilai Pancasila. Politik Hukum Regulasi harus senantiasa juga merefleksikan, membumikan, dan memastikan bertumbuh sumburnya dan berkembang kuatnya Pancasila beserta keseluruhan Nilai-Nilai Pancasila. Ada sejumlah bentuk dan jenis regulasi, antara lain Ketetapan MPR-RI, Perundang-undangan (UU), Peraturan Pemerintah dan Peraturan Kelembagaan, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah (tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota), dan lain-lain. Ketika ada konstruksi dan substansi dari regulasi ini bertentangan dan tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945 maka jalan konstitusional dan jalur absah harus segera ditempuh untuk melakukan pengujian dan pembatalan terhadap regulasi yang bertentangan ini.

Jalan dan jalur ini dijalankan dalam wujud dan dengan pendekatan Judicial Review, Legislative Review, dan Eksekutive Review. Ketika ada Perda yang bertentangan dan tidak sesuai dengan Pancasila maka mesti secepatnya diuji dan dibatalkan. Manakala ada Perda memiliki potensi dan daya merusak dan membahayakan Bhinneka Tunggal Ika dan kemanusiaan, keutuhan wilayah dan kesatuan kawasan, kebersamaan dan kegotongroyongan rakyat, kebangkitan dan kemajuan perekonomian, keutuhan ciptaan dan ekosistem (ekologi) maka harus segera mungkin diuji dan dibatalkan. Ketika ada Perda bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan di atasnya maka juga mutlak secepatnya diuji dan dibatalkan.

Perda tiingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota secara konstitusional dibahas dan dibentuk bersama oleh eksekutif daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) pada tingkatannya masing-masing dan legiskatif daerah (DPRD) pada tingkatannya masing-masing. Prinsip konstitusi dan sistem beserta struktur Pemerintahan NKRI meletakkan Pemerintahan Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota ; dan DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota) adalah bagian dan subordinat dari Pemerintahan Nasional. Pemikiran ideologis doktrinal dan penerapan sosiologis konstitusional ini menjadi semakin aktual dan relevan ketika Pemerintahan Nasional (Kementerian Dalam Neger RI) memiliki kewenangan konstitusional Eksekutive Review terhadap Perda. Pemerintahan Nasional seharusnya dan sebaiknya memastikan dan memaksimalkan tugas, tanggungjawab, dan kewenangan konstitusional untuk menguji dan membatalkan Perda yang bertentangan, merusak, dan membahayakan tadi di atas.

Bangunan dan isi Perda tidak hanya sebatas mengandung issue dan materi muatan yuridis (hukum). Bahkan issue yuridis dalam konteks dan kerangka Perda, sesungguhnya lebih ke issue format atau bentuk regulasi. Jadi lebih karena wujud pembentukannya dalam format dan bentuk yuridis (regulasi : Perda). Issue dan materi muatan Perda mengandung dan terdiri dari : ideologis, politis, ekonomis, historis, sosiologis, dan berbagai issue dan materi muatan lain lagi yang terkait. Perda juga dibentuk oleh otoritas daerah yang merupakan bagian dan subirdinat dari otoritas nasional (Pemerintahan Nasional). Kekuasaan eksekutif (Pemerintahaan Nasional) sebagai penanggungjawab dan pengendali keseluruhan jajaran pemerintahan. Sehingga merupakan jajaran yang mengetahui, mengalami, mengatasi, dan menuntasi efek yang disebabkan dan akibat yang ditimbulkan oleh sebuah atau sejumlah Perda yang menjadi obyek pengujian dan pembatalan.

Doktrin Eksekutive Review menempatkan Pemerintahan Nasional dalam posisi aktif dan dengan peran berinisiatif serta bergerak dalam hal pengujian dan pembatalan Perda. Kedudukan lembaga negara (Mahkamah Agung) RI dalam hal pengujian dan pembatalan Perda secara konstitusional pada dasarnya bersifat pasif, tidak aktif. Selanjutnya menempatkan MA-RI pada posisi menunggu pengajuan permohonan pengujian dan pembatalan Perda oleh pihak terkait yang berkepentingan. Jadi doktrinnya bersifat tidak bisa berinisiatif dan tidak boleh bergerak lebih dahulu. Pada hal ketika sebuah atau sejumlah Perda memiliki potensi kuat dan daya tinggi bertentangan, merusak, dan membahayakan maka harus segera dan mesti secepat mungkin untuk diuji dan dibatalkan. Dengan demikian tidak boleh pasif dan tidak boleh menunggu. Harus ada sikap, tindakan, dan langkah-langkah nyata.

Irvan

Jurnalis Citizen