Aktualisasi jiwa kepahlawanan dalam era disrupsi dan revolusi industri 4.0.

 

Oleh : Firman Syah Ali

Pahlawan berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama. Phala adalah buah yang secara sosial diartikan sebagai manfaat. Seiring berjalannya waktu Pahlawan dimaknai sebagai orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani dalam memberikan manfaat terhadap bangsa dan negaranya. Hal ini sejalan dengan prinsip islam bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya.

Dalam versi lain muncul terminologi relawan, yang tidak jauh beda dengan pahlawan, yaitu orang yang ikhlas memperjuangkan sesuatu tanpa pamrih. Kata relawan biasanya dikenal dalam pemilu, yaitu relawan pengawas pemilu, relawan pemantau pemilu, hingga relawan pendukung para kandidat dalam pemilu.

Bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa inggris. Bangsa Indonesia hanya mengenal istilah Pahlawan tanpa ada pahlawati (perempuan pahlawan), sedangkan bangsa inggris mengenal istilah hero untuk lelaki dan heroine untuk perempuan pahlawan. Pembaca harap jangan gagal fokus, heroine bukan heroin.

Gelar Pahlawan Nasional di Indonesia diberikan oleh Pemerintah RI kepada seorang warga negara RI yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Sebetulnya ada beberapa hal yang perlu dikritisi dalam pemberian gelar tersebut, misalnya Cut Nya’ Dhien, itu merupakan pahlawan nasional Kesultanan Aceh, bukan pahlawan Nasional Indonesia. Sisingamangaraja XII juga bukan pahlawan Nasional Indonesia, tapi pahlawan kemerdekaan Nasional Kerajaan Toba. Pangeran Diponegoro juga merupakan Pahlawan Nasional Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Cut Nya’ Dhien, Sisingamangaraja XII dan Pangeran Diponegoro hidup sebelum peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, jadi waktu itu belum ada tanah air indonesia, bahasa indonesia, bangsa indonesia dan tumpah darah indonesia. Tapi ini bukan bahasan utama yang hendak saya tulis, mari kembali ke laptop.

Saat ini kita hidup dalam era disrupsi, yaitu era perubahan mengakar di berbagai sektor akibat digitalisasi dan “Internet of Thing” (IoT) atau “Internet untuk Segala”.
Contoh disrupsi adalah media cetak menjadi media online, ojek pangkalan menjadi ojek online (ojol), taksi konvensional atau taksi argo menjadi taksi online, mal atau pasar menjadi marketplace atau toko online (e-commerce), administrasi pemerintahan konvensional berubah menjadi pemerintahan online (e-government), kampanye darat berubah jadi kampanye online, perang konvensional menjadi perang asimetris. Semua serba online dan serba e. sampai-sampai muncul kelakar di lingkungan birokrasi pemerintahan, kemarin e-government, sekarang e-recruitment, besok e-master, nggak apa-apa yang penting bukan e-lah dalah.

Bisnis maupun birokrasi pemerintahan yang tidak beradaptasi dengan era disrupsi akan bangkrut, contoh beberapa perusahaan yang telah mengalami kebangkrutan karena tidak dapat beradaptasi antara lain Kodak, Nokia, Blockbuster, MGM, Marvel Entertainment, Lehman Brothers dan lain-lain.

Perang inovasi bisnis zaman now harus dilakukan secara disruptif. Inovasi disruptif (disruptive innovation) adalah inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut. Inovasi disruptif mengembangkan suatu produk atau layanan dengan cara yang tak diduga pasar, umumnya dengan menciptakan jenis konsumen berbeda pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar yang lama.

Istilah disruptive innovation dicetuskan pertama kali oleh Clayton M. Christensen dan Joseph Bower pada artikel “Disruptive Technologies: Catching the Wave” di jurnal Harvard Business Review (1995). Salah satu contoh dari Inovasi Disruptif (disruptive innovation) adalah Wikipedia. Wikipedia telah merusak pasar ensiklopedia tradisional (cetak). Kalau dilihat, saat ini jarang sekali ditemukan ensiklopedia edisi cetak dijual ditoko buku. Semuanya sudah beralih ke Wikipedia. Dari sisi harga ensiklopedia tradisional (cetak) bisa jutaan, sekarang malah informasi bisa didapat secara cuma-cuma lewat Wikipedia. Makanya disebut “disruptif” atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “mengganggu”.

Penyebab disrupsi di atas tentu saja revolusi digital yang terkenal dengan sebutan revolusi industri 4.0.

Revolusi industri secara simpel artinya adalah perubahan besar dan radikal terhadap cara manusia memproduksi barang. Perubahan besar ini tercatat sudah terjadi tiga kali, dan saat ini kita sedang mengalami revolusi industri yang keempat. Setiap perubahan besar ini selalu diikuti oleh perubahan besar dalam bidang ekonomi, politik, bahkan militer dan budaya. Sudah pasti ada jutaan pekerjaan lama menghilang, dan jutaan pekerjaan baru yang muncul.

Lebih detilnya kita harus lihat di setiap revolusi industri, tapi kasarnya adalah, beberapa hal yang semula begitu sulit, begitu lama, begitu mahal dalam proses produksi mendadak jadi mudah, cepat, dan murah. Ingat, Ekonomi membicarakan macam-macam upaya manusia menghadapi kelangkaan. Revolusi industri menurunkan, malah terkadang menghilangkan beberapa kelangkaan tersebut, sehingga waktu, tenaga, dan uang yang semula digunakan untuk mengatasi kelangkaan-kelangkaan tersebut mendadak jadi bebas, jadi bisa digunakan untuk hal lain, untuk mengatasi kelangkaan yang lain.

Revolusi industri pertama adalah yang paling sering dibicarakan, yaitu proses yang dimulai dengan ditemukannya lalu digunakannya mesin uap dalam proses produksi barang. Penemuan ini penting sekali, karena sebelum adanya mesin uap, kita cuma bisa mengandalkan tenaga otot, tenaga air, dan tenaga angin untuk menggerakkan apapun.
Kalau revolusi pertama dipicu oleh mesin uap, maka revolusi kedua dipicu oleh ban berjalan dan listrik, revolusi ketiga dipicu oleh mesin yang bergerak, yang berpikir secara otomatis: komputer dan robot.

Komputer semula adalah barang mewah. Salah satu komputer pertama yang dikembangkan di era Perang Dunia 2 sebagai mesin untuk memecahkan kode buatan Nazi Jerman, yaitu komputer yang bernama Colossus. Colossus adalah mesin raksasa sebesar sebuah ruang tidur, tidak punya RAM, dan tidak bisa menerima perintah dari manusia melalui keyboard, apalagi touchscreen, tapi melalui pita kertas. Komputer purba ini juga membutuhkan listrik luar biasa besar: 8500 watt! Namun kemampuannya gak ada sepersejutanya smartphone yang ada di kantong kebanyakan orang Indonesia saat ini.

Revolusi Industri 3.0 yang berbasis komputer dan robot pada akhirnya melahirkan internet dan smartphone, disinilah revolusi industri 4.0 dimulai. Setiap revolusi industri, walaupun mengguncang ekonomi, politik bahkan budaya, meski memiliki banyak sekali sisi negatif dan masalah, selalu membawa kita ke taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik. Revolusi industri keempat telah menggilas banyak orang, tetapi siapa bilang orang-orang yang tergilas itu tidak bisa bangkit dan memanfaatkan roda penggilas mereka? mari kita optimis dengan revolusi industri 4.0 ini.

Di era disrupsi dan revolusi industri 4.0 inipun medan juang para pahlawan berubah. Perang konvensional yang berbasis militer sekarang berubah jadi nir-milter. Tidak ada baku tembak, tidak ada saling kirim rudal, tidak ada perebutan wilayah namun daya rusaknya jauh lebih besar daripada agresi militer. Misalnya tentara dunia maya Zionis Amerika Serikat bisa memporak-porandakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dalam era perang asimetris ini, seluruh warga negara adalah tentara, berjuang mempertahankan keutuhan dan kehormatan bangsa dan negaranya.

Kakek nenek kita dulu berjuang memanggul senjata, belajar menembakkan meriam, belajar melempar bom dan sebagainya, kini generasi kita jauh lebih berat. Generasi kita adalah generasi kurus kering pucat pasi, gondrong, duduk di depan komputer atau di depan smartphone, 24 jam bertempur melawan cyber army binaan asing yang ingin meruntuhkan NKRI.

Kelompok-kelompok yang ingin meruntuhkan NKRI saat ini terdiri dari kekuatan negara asing dan kekuatan ideologi transnasional. Kekuatan ideologi transnasional ini aktif sekali melakukan perang asimetris dengan mengadu-domba rakyat indonesia. Polarisasi politik kampret Vs cebong, kadrun vs kalbun dan sejenisnya bisajadi merupakan produk operasi perang asimetris asing atau produk perang asimetris para penganut ideologi transnasional khilafah.

Warganet Indonesia yang masih peduli terhadap nasib bangsanya tidak tinggal diam, mereka menjelmakan diri dalam beberpa kelompok relawan sosmed atau cyber army yang sangat aktif 24 jam melakukan kontra opini dan kontra narasi terhadap kelompok-kelompok cyber army anti NKRI.

Inilah pahlawan-pahlawan era disrupsi. Pahlawan-pahlwan cyber yang tidak memanggul senjata tapi memanggul laptop dan menggenggam smartphone kemanapun mereka pergi. Selamat berjuang pahlawan-pahlawan cyberku. Mari pertahankan kemerdekaan, keutuhan dan kehormatan bangsa ini. Banyak diantara mereka telah wafat mendahui kita semua tanpa penganugerahan pahlawan nasional, antara lain Ajengan Irwan Winardi Jawa Barat, Gus Aqil Fikri Nganjuk, Gus Fathoni Mlangi Yogyakarta dan lain-lain. Mari kita sejenak berdoa untuk arwah para pahlawan cyber pembela NKRI di atas. Alfatihah.

*)Penulis adalah Pengurus Harian LP Maarif NU Jatim yang sedang didukung menjadi Walikota Surabaya