BERFANTASI TENTANG AKHERAT

BERFANTASI TENTANG AKHERAT
Dr. Sukidin, MPd

Dari awal saya memiliki harapan yang kuat agar bisa punya rumah yang dekat dengan tempat ibadah. Ketika saya bertempat tinggal di perumahan baru di Patrang, saya bersama warga berusaha membangun musholla. Musholla tersebut sampai saat ini sudah semakin berkembang. Warga perumahan menggunakan musholla tersebut untuk sholat berjamaah dan kegiatan sosial keagamaan yang lainnya.

Sebenarnya kami sudah merasa nyaman tinggal di perumahan tersebut. Hanya saja rumah tersebut terlalu sempit sebagai tempat tinggal yang ideal. Akhirnya kami memutuskan hijrah ke Tegalgede, bermaksud ingin memiliki rumah yang lebih besar dan lahan yang luas, seperti tradisi wong ndeso. Terus terang meskipun sudah migrasi ke kota, namun gaya hidup saya masih kental dengan budaya desa.

Jarak rumah saya dengan masjid agak jauh, sehingga dalam hati dan pikiranku ingin memiliki musholla yang dekat dengan rumah. Kebetulan dekat rumah ada lahan kosong, ya tentunya milik orang lain. Saya mengusulkan pada warga tentang rencana pendirian musholla. Warga menyetujui, tapi pertanyaan berikutnya, dimana ada lahan untuk pendirian musholla tersebut.

Sayapun mulai menelisik pemilik tanah kosong tersebut. Ternyata tanah itu milik seorang notaris, sebut saja ibu L. Singkat cerita ibu L saya datangi, dengan maksud tanah tersebut akan saya beli. Ketika saya mulai menanyakan harga, maka ibu L langsung menyebut angka nominal 60 juta untuk tanah ukuran 200 meter, dengan harga Rp. 300.000 per meter. Sebelum saya melakukan penawaran, ibu L menyela bertanya, “untuk apa njenengan beli tanah itu”. Spontan saya jawab, untuk dibangun musholla.

Ternyata jawaban ibu L diluar dugaan saya, kalau untuk musholla bayar separonya saja pak. Saya senang mendengarnya, mulai simpatik dengan ibu L yang memiliki jiwa beramal sholeh. Selanjutnya saya mencoba menggunakan kecerdikan akal yang dianugerahkan Tuhan, dengan menyentuh perasaan beragama ibu L. Ibu L saya ajak berdagang dari sudut pandang keakheratan. Sudah begini saja bu, kalau njenengan mau beramal, sekalian semua tanah itu diwaqafkan. Selanjutnya saya dan warga yang membangun musholla. Jadi pahala waqaf buat panjenengan sekeluarga, dan pahala membangun musholla buat saya dan warga.

Masak di akherat pahala waqaf tanah harus dibagi. Itu kata-kata mantra yang saya ucapkan pada ibu L waktu itu.

Untuk beberapa saat ibu L merenung. Mungkin lagi berfantasi memikirkan pahala yang akan diterima nanti di akherat. Dosa-dosa yang akan terhapuskan. Dimudahkan ketika melewati jembatan shirotol mustaqim. Akan dibangunkan istana di surga, dan membayangkan kemuliaan, serta kenikmatan surga yang lainnya. Kemudian ibu L mengangkat gagang telepon seluler, nampaknya sedang menghubungi suami dan anak-anaknya.

Setelah itu ibu L menyampaikan ke saya, “hasil dari berembuk dengan suami dan anak-anak yang kebetulan sekarang lagi di rumah, kami sekeluarga memutuskan dan mengikhlaskan dengan mewaqafkan tanah tersebut untuk bangunan musholla”.

Saya langsung menyalami Ibu L, dan bersyukur pada Alloh telah memudahkan urusan hambanya. Mudah-mudahan waqafnya menjadi amal jariah ibu L sekeluarga, ibu L diberi kelimpahan dan barokah rejeki, kebahagiaan dalam keluarganya, dan tetap sehat. Itu do’a yang saya sampaikan dihadapan ibu L, dan diaminkan oleh beliaunya.

Besoknya saya diminta datang ke kantor notaris untuk proses balik nama dan penyerahan hak waqaf. Selanjutnya saya dilayani oleh staf kantor notaris. Saat bertemu staf, ternyata dia bercerita bahwa ibu L sudah sering mewaqafkan tanah-tanah miliknya untuk kepentingan sosial, seperti panti sosial, masjid dan pondok pesantren.

Dalam beragama memang dianjurkan untuk zakat, infaq dan shodaqoh. Ibu L sudah melampaui anjuran itu, bahkan melebihkannya dengan gemar berwaqaf tanah untuk kemaslahatan umat. Belajar dari ibu L yang terlihat gaya hidup beragamanya nampak biasa-biasa saja, namun sangat dermawan dan ahli waqaf. Sungguh sikap mulia yang bisa diteladani bagi yang hidupnya memiliki harta.

Kini musholla itu sudah kami bangun bersama warga. Kami gunakan untuk sholat jama’ah, mengaji Qur’an, sekolah minggu untuk anak-anak warga kampung, dan kami bangun juga kamar untuk pondok mahasantri. Do’a kami semoga pahalanya mengalir pada yang waqaf tanah dan pada warga dan masyarakat yang membangun musholla tersebut.

Mari kita tingkatkan kesadaran beragama, disamping taat beribadah, juga kita biasakan gemar bersedekah. Monggo kita perbanyak sedekah dan amal jariah. Mudah-mudahan hidup kita dipermudah. Yakinlah Alloh maha pemurah, sehingga kita diberi rejeki yang melimpah. Semoga.
*Penulis adalah Direktur Yayasan Edukasi Mandiri Jember dan Dosen FKIP UN