Sasana Budaya Ngesthi Laras Peringati Tahun Baru 1 Muharam 1441 H dan Tahun Baru Jawa 1953

 

Tulungagung-menaramadinah.com-Ada yang menarik dari penjelasan Dr Teguh (dosen Filsafat Islam IAIN Tulungagung) dalam Sarasehan Budaya memperingati Tahun Baru 1 Muharam 1441 H dan Tahun Baru Jawa Sura 1953 di Sasana Budaya “Ngesthi Laras” Tanggung Glotan Sabtu malam (7/9).

Rupanya orang-orang Jawa itu merupakan keturunan Nabi Nuh a.s dari jalur Han atau Hasyim yang sebelumnya didoakan supaya menjadi pamomong. Yakni pamomong dari saudaranya yang bekerja di wilayah spiritual (agama) dan kekuasaan. Diketahui bahwa Nabi Nuh mempunyai 4 orang putra. Yang pertama Kan’an yang kafir beserta ibunya, yang kemudian tidak mau bergabung ke dalam perahu Nuh.

 

Yang kedua oleh Nabi Nuh didoakan anak keturunannya kelak menjadi raja/ratu atau ahli kekuasaan yang kemudian banyak tersebar ke Barat (Eropa dan Amerika). Yang ketiga didoakan menjadi ahli spiritual/agama yang kebanyakan berada di kawasan Timur Tengah. Sementara putra Nabi Nuh yang terakhir tersebar dari India hingga Tanah Jawa yang oleh Nabi Nuh didoakan menjadi orang-orang yang mampu ngemong para penguasa/raja dan para Ulama/agamawan.
Lebih jauh Dr Teguh menyatakan bahwa mengapa orang-orang Jawa begitu mudah menerima Agama Islam karena ia yakin bahwa sebelumnya di Jawa pun diduga sudah diseru oleh utusan Allah Swt.
“Saya yakin bahwa orang-orang Jawa dahulu sudah diseru oleh para Nabi Allah. Dari jumlah 124.000 orang Nabi itu tentu salah satunya sudah pernah menyeru orang-orang Jawa. Maka setelah Agama Islam masuk ke sini, para leluhur kita orang Jawa langsung menerimanya. Sebab pada prinsipnya kan sama,” jelas Dr. Teguh yang duduk bersebelahan dengan Kades Tanggung, Suyahman.
Pria yang aslinya Magelang-Jateng itu kemudian memaparkan panjang-lebar mengenai momentum penting Asyura yang diperingati oleh umat Islam setiap tanggal 10 Muharam dengan menjalankan puasa sunah. Sebagaimana diketahui bahwa Hari Asyura (10 Muharam) merupakan peristiwa penting, sehingga disebut pula Syahr al-Anbiya’ (bulan milik para Nabi) karena pada momentum itu banyak para Nabi yang diselamatkan Allah atau mendapatkan kemenangan dan kejayaan. Nabi Adam diterima taubatnya, Nabi Nuh terselamatkan dari banjir, Nabi Ibrahim selamat dari kobaran api, Nabi Ya’kub sembuh matanya dari kebutaan, Nabi Yunus keluar dari perut ikan hiu selama 3 hari, Nabi Musa selamat dari kejaran Raja Fir’aun dan seterusnya. Karena itulah momentum itu kemudian selalu dikenang dan diperingati oleh umat Islam sampai sekarang.
Sementara itu pembicara kedua, Wawan Susetya mengurai pentingnya bulan Sura bagi orang Jawa yang bahkan dianggap sebagai bulan suci atau kramat. Mengapa demikian? Sebab orang-orang Jawa meyakini bahwa untuk memulai perjalanannya ke depan harus dimulai dengan niat yang baik di bulan Sura itu. Itulah sebabnya di bulan Sura itu hendaknya tidak dipakai berpesta atau bersenang-senang, sebaliknya diharapkan banyak menjalankan tirakat/hidup prihatin.
Yang kedua, bagi orang Jawa, bulan Sura juga dijadikan untuk mendudukkan mengenai nafsu, yakni mendudukkan sedulur papat, kalima pancer. Lebih jauh Wawan mengilustrasikan simbol 4 napsu tadi ke tokoh-tokoh wayang; Prabu Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana. Lalu pancernya siapa? Yakni Prabu Rama Wijaya. Maka Wibisana lambang muthmainnah pun akhirnya bergabung kepada Prabu Rama.
Sementara itu Ki Sudjinal menjelaskan mengenai makna sura, yang artinya berani. Artinya dalam hal ini ada isyarat supaya orang Jawa itu memiliki keberanian untuk menjalani hidup yang benar. Berarti sura juga dapat dimaknai berani mati, dalam arti berani mempertanggungjawabkan hidupnya kepada Allah. Bukankah kebanyakan orang tidak berani mati sehingga tidak berani menghadap Allah?! Mengapa demikian, salah satu alasannya karena mereka banyak melakukan korupsi dewasa ini.
Sarasehan budaya pun diselingi kesenian krawitan “Ngesthi Laras” yang dikomando Ki Handaka. Selama ini sanggar yang diasuh Ki Sudjinal itu sering mengadakan kegiatan berkenaan PHBN dan PHBI. Selain krawitan, sanggar juga sering mengadakan pentas pewayangan, macapat, termasuk sarasehan budaya seperti malam itu.

Wawan Susetya

Jurnalis Citizen MM.com