Saya Jualan Koran Pak !

 

Catatan Nostalgia *Amang Mawardi*

INI kejadian sekitar 10 tahun lalu. Saat itu masih banyak sosok-sosok yang berjualan koran di trafict light. Bahkan lebih dari 2 pengasong berita tercetak berada di setiap pertigaan atau persimpangan padat lalu-lintas

Tidak seperti sekarang, sudah jarang orang menjajakan dagangan tersebut di lampu “bangjo”. Kalau pun ada, tidak lebih dari seorang penjual koran. Era digital dengan media online telah menggeser koran konvensional.

Sore sekitar pukul tiga hujan deras baru saja mengguyur kawasan Jemursari, Surabaya. Masih menyisakan gerimis rintik. Dari sebuah lokasi di Jl. Raya Jemursari, kami bergegas pulang.

Kendaraan saya lajukan ke arah selatan, terus belok ke kiri yang saya lupa nama jalannya — yang jelas di sisi utara jalan itu terdapat toko bibit tanaman Trubus.

Sekira 25 meter dari toko bibit tanaman itu, terdapat lampu stopan.
Sedianya saya belok kiri yang arahnya akan melewati depan kampus Ubaya (Universitas Surabaya). Tapi tertahan lampu merah, di dekat situ terpampang tulisan “belok kiri mengikuti lampu”.

Saat berhenti di stopan tersebut, saya agak kaget. Sesosok kepala anak perempuan menempel di kaca sebelah kiri, pandangannya menembus ke dalam kabin. Saya tercenung, tapi segera menata situasi. Dan tombol kaca saya pencet, saya ulurkan Rp 1.000 yang saya ambil dari dashboard, lantas diestafetkan istri saya ke arah anak itu yang sekilas mirip putri Dewi Yull yang meninggal dunia lebih kurang 10 tahun lalu.

“Saya jualan koran, Pak !” katanya datar tapi bernada tegas.

“Maaf dik… maaf… maaf… maaf,” kata saya. Waduh…saya sudah salah duga. Saya pikir pengemis.

Anak perempuan yang saya taksir usianya 10 tahun itu segera mengangkat tangan kanannya. Tampak segepok koran harian lokal yang biasa diecer Rp 2.000 per eksemplar. Mungkin supaya tidak basah kena gerimis, koran-koran tadi ditempelkan di perut di balik bajunya, gesture-nya tertutup bodi kendaraan kami.

Istri saya lantas mengulurkan uang Rp 5.000,- ke arah anak itu, dan anak tadi menyodorkan korannya. Tiba-tiba hujan mendadak deras.

Aneh, padahal tadi sudah demikian deras, lantas rintik-rintik, kemudian deras lagi. .Tombol saya pencet. Kaca pun menutup. Anak itu berteriak, “Kembaliannya Bu ! Kembaliannya !” seraya tangannya merogoh saku bajunya.

Lampu hijau menyala. Kendaraan pun saya belokkan ke kiri. Lantas melaju ke arah timur. Jarak ke rumah masih 5-an kilometer.

Sesaat kami saling diam….

Istri saya lantas memecah dengan, “Lapo, pak, kok meneng…? (Ngapain, pak, kok diam saja)…”. Saya tidak langsung menjawab. Baru kemudian, “Penjual koran tadi, aku terkesan. Tak _bayangno_… seandainya tadi lampu hijau stopan belum menyala meski hujan turun deras…anak itu tetap bersikeras mengulurkan uang kembalian… Di matanya kutangkap tanda anak pintar dan menjunjung harga diri…”

Lantas pikiran liar saya melesat, tentu yang hebat orangtuanya, mengasuh dan mendidiknya, sehingga menghasilkan seperti sikap anak perempuan yang rambutnya diekor-kuda itu.

Siapa? Siapa orangtuanya? Tentu bukan anak penghuni kawasan Jemursari atau Kendangsari yang kami lewati sore itu yang rerata kelas menengah.

Jangan-jangan anak para penghuni kos-kosan di kampung-kampung belakang perumahan itu, yang suami-istri bekerja di pabrik-pabrik kawasan Rungkut.

Pernah untuk upaya potong kompas saya dengan bersepeda-motor harus melewati gang-gang sempit di seputar Rungkut yang bejibun kos-kosan para buruh urban. Dan saya lihat seorang anak berseragam SD yang membuka gembok pintu kamar kontrakan. Agaknya dia baru pulang sekolah. Sementara bapak ibunya, mungkin, sedang bekerja.

Bisa jadi anak tersebut tidak ikut mbahnya di desa yang mungkin sudah meninggal. Mungkin banyak anak-anak seperti itu tinggal di banyak kos-kosan di seputar Rungkut.

Tentu di antara ribuan buruh urban itu banyak membekali anak-anak mereka dengan pendidikan budi pekerti yang baik. Apalagi ditunjang dengan rumah-rumah ibadah yang banyak berdiri di seputar rumah-rumah dekat kontrakan.

Siang itu saya mencoba merenung.

Kami yang baru saja menghadiri jamuan makan siang di sebuah tempat makan, membayangkan anak perempuan mirip almarhumah Gisca putri Dewi Yull, dalam tubuh menggigil saat tiba di rumah mungkin cuma mendapati sepiring nasi dengan tahu tempe dan sayur asam.

Sementara…seringkali hari-hari yang lewat…saya lupa bersyukur akan karunia yang telah diberikan Sang Khaliq.

Istri saya tiba-tiba memecah lamunan saya, “Sopo ngerti yo, Pak, kelak anak itu jadi menteri…”

***

Btw, Selamat jalan Bung Ray Sahetapy. Jumpa Gisca dalam kedamaian abadi …

#Memori Jumpa Gadis Penjual Koran Mirip Gisca Sahetapy.