Tuan Rumah Yang Tersingkirkan dari Kebhinekaan

Samin, hanya secuil dari agama lokal yang tumbuh dan berkembang di Nusantara. Ironis, keberadaan agama lokal seolah tidak menjadi perhatian pemerintah. Padahal apabila dibandingkan dengan usia negara ini, umur agama lokal jauh lebih tua. Mengkaji permasalahan agama lokal di Indonesia dengan bingkai Bhineka Tunggal Ika serta Pancasila sangat menarik. Mulai dari hibriditas identitas, sampai jaminan pengakuan agama lokal.

Komunitas Samin atau Sedulur Sikep sebagai pemeluk Agama Adam beserta agama lokal lain mengalami pengenyahan dalam berbagai bentuk. Sehingga, pada umumnya orang berpandangan, bahwa mereka hanya sebuah komunitas budaya yang perlu dilestarikan. Mayoritas banyak yang tidak tahu, bila Komunitas Samin memiliki agama dan cenderung dianggap hanya sebagai aliran kepercayaan. Efeknya, hak untuk mencantumkan identitas Agama Adam dan agama lokal lain pun tidak mendapat tempat di hati pemerintah. Dalih yang beredar adalah pengosongan kolom agama pada KTP sebagai bukti pengakuan negara terhadap pemeluk agama dan aliran kepercayaan.

Menengok makna identitas agama dalam KTP yang disodorkan oleh Negara memang tampak sebagai persoalan yang sepele. Tetapi, menjadi penting tatkala menyentuh sebuah eksistensi serta keberadaan seseorang atau sekelompok tertentu. Friedrich Max Muller dalam Introduction to the Science of Religion, mengungkapkan keyakinan terhadap Tuhan merupakan sebuah bentuk dasar identitas etnik. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, tepatnya pasal 61 ayat (2) yang menginstruksikan untuk mengosongkan kolom agama, apabila agama tersebut belum diakui oleh Negara. Samin tidak sendiri, masih ada Wetu Telu, Parmalim, Kaharingan, dan agama lokal lain yang tidak diakui keberadaannya.

“Eksistensi lebih dahulu daripada esesnsi”, begitulah kata Sartre dalam Being and Nothingness. Pengosongan kolom agama merupakan pencegahan eksistensi secara sistematis. Tidak pernah mencapai esensi apabila tidak mengenal tentang “ada”. Eksistensi berteman erat dengan identitas yang coba menginginkan rasa “ada” dalam daerah sadar. Tuhan menurunkan agama ke dunia pun untuk memberikan kabar bahwa diri-Nya “Ada”, karena memang Tuhan butuh pengakuan apabila dirinya “Ada”, dengan berbagai cara tentunya.

Menjadi minoritas?! Tentu tidak menyenangkan, apalagi saat mayoritas bertindak sewenang-wenang. Kesewenangan inilah yang menimbulkan diskriminasi langsung maupun tidak langsung. Menurut George A. Theodorson dan Achilles G. Theodorson dalam A Modern Dictionary of Sociology, mengartikan diskriminasi sebagai perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat katagorikal, atau atribut-atribut khas, berdasarkan suku, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.

Diskriminasi bisa berupa paradigma masyarakat yang menghujat, melecehkan agama-agama lokal ataupun diskriminasi oleh pemerintah sendiri. Pandangan masyarakat terhadap agama-agama tertentu menimbulkan pemeluk agama tersebut menjadi masyarakat yang terasing, gila, aneh dan sebagainya. Sehingga, mereka menjadi termarginalkan oleh kehidupan sosial pada umumnya. Pemerintah sendiri dengan sistem yang dibangunnya memberikan ruang terhadap diskriminasi. Contoh kecil saja, masyarakat Samin yang mengikuti pendidikan formal diwajibkan memakai celana panjang. Memakai celana panjang sendiri merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama mereka. Atau kewajiban membayar pajak yang berbenturan dengan keyakinan mereka.

Rawan diskriminasi apabila suatu daerah yang multikultur seperti Indonesia tidak diimbangi dengan teposeliro yang kuat. Macam Harimau Sumatra atau Gajah yang hampir punah, dilindungi dan juga diburu oleh subjek yang sama, manusia modern. Dipandang rendah. Dilindungi melalui perundangan-undangan, diburu serta dicap membahayakan oleh penyelewengan realitas paradigma. Keinginan menyamakan segala sesuatu dan tak tahan akan perbedaan menjadi pemandangan umum yang sering kita jumpai. Sebuah minorisasi kaum minoritas secara tidak sadar.

Olsen dalam karyanya Societal Dynamics: Exploring Macrosociologi berpendapat bahwa perlakuan terhadap minoritas tidak melulu masalah bagaimana individu memperlakukan satu sama lain, akan tetapi juga masalah dimana kebijakan diambil terhadap minoritas. Nah, kebijakan pemerintah dalam UU Adminduk mengenai kolom agama di KTP, memperlihatkan suatu bentuk diskriminasi oleh pemerintah. Mengingat fungsi KTP sebagai bentuk bukti kedewasaan individu, sebagai pengenal diri, pengakuan dirinya sebagai warga negara, tempat tinggal serta asal tempat pemegang kartu.

Mungkin masalah ini bukan suatu cul-de-sac, disebabkan terdapat solusi. Masing-masing ego perlu ditekan agar tidak tersakiti nantinya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah merubah paradigma masyarakat. Meminjam istilah dari Thomas Kuhn, perubahan paradigma, mengingat paradigma memiliki kekuatan seseorang dalam memandang serta menyimpulkan asumsi-asumsi. Seperti halnya Stephen R. Covey dalam bukunya Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, perubahan kuantum (perubahan mendadak dan ekstensif) yang bermakna, perlu kiranya memperbaiki paradigma dasar kita. Manakala masyarakat masih memandang Samin sebagai komunitas wong sableng, akan terus terjadi sebuah diskriminasi dari mulut ke mulut dan waktu ke waktu. Sebuah penghakiman dari orang awam mengenai komunitas ini tanpa mengenal lebih dekat.
Kedua, hilangkan kolom agama atau tulis agama lokal. Pencantuman kolom agama dalam KTP dapat menimbulkan bahaya, pada waktu terjadi konflik antar agama. Selain itu, label agama dalam KTP memberikan ruang pengkotakan agama resmi dan tidak resmi, agama lama dan agama baru. Poin tersebut dapat memicu konflik dan memecah persatuan bangsa, terlebih bilamana terjadi diskrimasi. Baik diskriminasi berupa paradigma masyarakat yang menyebabkan pemeluk agama tersebut menjadi masyarakat terasing, atau berupa kesulitan dalam mengurus administratif. Jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I ayat (2) yang menolak perlakuan bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan tersebut. Perlu mengadakan kajian lebih mendalam perihal agama lokal yang banyak di masyarakat. Permerintah harus menyadari. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berdampak pada kekayaan budaya, juga agama. Sehingga, pemerintah perlu membuat data base mengenai agama-agama lokal, dengan catatan agama-agama yang berdiri dari sebuah penistaan agama, agar tidak lagi terjadi diskriminasi…Rahayu.

Kandjeng Pangeran Karyonagoro
Dewan penasehat Forum Satu Bangsa

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com