Dua Hal Memperbaiki Bersyukur

  1. Cataran Prof. Machmud Mustain

Ada dua keadaan bersyukur yang bisa direvisi atau diperbaiki. Pertama hakekat bersyukur, adalah memahami maksud pemberian kemudian menjalankan maksud atau keinginan pemberi. Kedua timing mensyukuri, yakni utamanya mensyukuri nikmatnya pemberian pada saat menikmati pemberian bukan setelah menikmati.

Hakekat bersyukur tidak cukup hanya dengan ucapan Alhamdulillah atau trimakasih. Ilustrasi yang mudah dan bisa segera mengkoreksi atau merevisi adalah ketika misalkan tiba-tiba ada orang memberi nasi bungkus kepada mahasiswa untuk berbuka puasa. Si mahasiswa menerima dan mengucapkan trimakasih, tetapi masih di hadapan pemberi mahasiswa tersebut membuang nasi pemberian itu. Maka bisa dibayangkan bagaimana sakit hatinya ketika tahu bahwa nasi tersebut diperlakukan yakni dibuang meskipun sudah mendapatkan ucapan trimakasih.

Point besarnya adalah bahwa ucapan Alhamdulillah atas karunia Allah SWT yang tidak bisa dinilai ini sesungguhnya hanya berupa kulit untuk memulai melakukan kemauan dan maksud pemberi. Apabila pemberian nasi itu betul-betul dimakan setelah ada ucapan terimakasih, maka sudah barang tentu pemberi akan senang sekali. Demikian juga analoginya bahwa pemberian hidup pada manusia ini oleh Sang Pencipta dimaksudkan untuk beribadah tidak cukup hanya

Alhamdulillah. Bahkan terkadang tanpa ucapan trimakasih atau Alhamdulillah sudah langsung melakukan keinginan pemberi sudah cukup. Bahasa perbuatan lebih fasih dari pada bahasa perkataan.
Perihal ini merupakan revisi mensyukuri yang pertama.

Revisi yang kedua adalah *timing* mensyukuri. Pada umumnya mensyukuri nikmat ketika telah selesai merasakan nikmat, contoh yang telak adalah ketika selesai makan dan minum baru *glege’en* dan berucap Alhamdulillah. Hal ini sungguh kurang pas dan perlu direvisi yakni ketika merasakan nikmatnya makan dan minum itu dalam hati dan pikiran *matur* pada Allah SWT sungguh luar biasa senang dan nikmatnya.

Contoh yang sangat telak lagi *ini sangat penting untuk direvisi* adalah ketika berbuka puasa. Merasa senang dan berucap alhamdulillah setelah selesai makan dan Jelas setelah selesai puasa. Padahal nikmat berbuka itu lantaran diberikan kekuatan mampu melakukan puasa. Alhasil mensyukuri nikmat puasa itu justru harus ketika pada saat menjalani puasa, bukan setelah selesai puasa atau saat berbuka.

Revisi yang kedua ini sesungguhnya lebih berat untuk kita lakukan, sebab rasa susah haus-lapar dll itu harus diputar balik menjadi senang. Hal ini insyaAllah akan mudah kita terima apabila bersedia mengikuti kaidah *atstsawab qadro atta’ab* ganjaran adalah berbanding lurus dengan kesulitan (effort). Jadi rasa susah payah itu yang justru mendatangkan pahala besar, semakin susah payah semakin besar ganjaran. Puasa kok tidak merasa susah payah, terus dari perihal apaya yg diganjar. Misalkan puasa selalu hidup dalam ruangan ber-AC dengan asupan makan sahur yang banyak sehingga tidak mudah merasa lapar.
Kalau ingat perihal ini betapa besar pahala saudara-saudara kita yang pekerja kasar tetapi tetap bertahan puasanya, sungguh sangat mulianya. SubchanaAllah, kita harus merasa rendah hati pada beliau-beliau itu.

Alhasil mari kita perbaiki/revisi ekspresi dan timing bersyukur, yakni merespon hakekat pemberian dan saat menikmati pemberian.

Semoga manfaat barokah dan selamat aamiin
🤲🤲🤲
Mekkah 10 Romadlon 1446/10 Maret 2025