
Drs. Mochamad Taufik, M. Pd
Matahari sore mulai meredup di kampung Bendomungal. Aku dan Kakakku yang kelima duduk bersila di lantai rumah juragan ibu, sibuk melipat dan mengemas mukena. Tumpukan kain putih dengan bordiran cantik memenuhi ruangan, menunggu tangan-tangan kami untuk merapikannya sebelum dijual ke pembeli.
Ibu bekerja keras di rumah juragan ini, membantu proses produksi mukena dari memotong kain, menjahit, hingga mengemasnya. Kakakku juga membantu dengan melipat dan mengemas mukena, sementara aku yang masih kecil ikut serta sebisaku. Aku tahu ibu bekerja siang dan malam agar dapur rumah kami tetap “gebul”—ada asap yang mengepul dari masakan ibu, tanda kami masih bisa makan dengan layak.
Sore itu, setelah selesai bekerja, seorang pembantu juragan datang membawa sepiring makanan. “Ini buat kalian, makan dulu sebelum pulang,” katanya dengan senyum ramah.
Aku dan Kakakku saling pandang, lalu tersenyum lebar. Makan gratis setelah bekerja? Tentu saja kami tidak menolak! Dengan lahap, kami menikmati hidangan sederhana itu sebelum pulang ke rumah.
Perjuangan di Jalan, Jatuh Bangun Demi Masa Depan
Keesokan harinya, aku dan Kakakku kembali ke rumah juragan ibu. Aku duduk di boncengan sepeda Kakakku, satu tangan memegang plastik berisi kacang rebus yang kami beli di warung depan gang.
“Gak usah banyak makan, nanti jatuh,” Kakakku mengingatkan.
“Tidak apa-apa, Kak. Aku pegangan kok,” jawabku santai.
Tapi ternyata aku terlalu asyik mengupas kacang hingga lupa berpegangan. Saat sepeda keluar dari gang, roda depan masuk ke lubang kecil. Aku yang tidak siap langsung terpelanting ke belakang.
BRUKK!
Aku jatuh terduduk di aspal, kacang-kacang dalam plastik berhamburan. Lututku terasa perih, dan air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Kakakku panik, segera menghentikan sepeda dan berlari menghampiriku.
“Kamu gak apa-apa?” tanyanya cemas.
Aku mengusap lutut yang lecet. “Sakit, Kak… kacangnya jatuh semua.”
Kakakku menepuk bahuku dan mengumpulkan kacang yang masih bersih. “Sudah, gak usah dipikirkan. Kita ke rumah juragan ibu dulu, nanti pulangnya kita beli lagi.”
Dengan sedikit tertatih, aku naik lagi ke boncengan. Kali ini, aku benar-benar berpegangan erat pada punggung Kakakku. Aku sadar, bekerja keras membantu ibu memang tak selalu mudah. Kadang ada luka, ada lelah, ada kacang yang jatuh sia-sia.
Tapi aku tahu satu hal: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Sekarang kami berjuang, tapi di masa depan, pasti ada kebahagiaan yang menunggu.
Kunci Sukses Berkat Berbakti pada Ibu
Sejak kecil, aku belajar bahwa keberkahan hidup datang dari berbakti kepada ibu. Dari perjuangan membantu ibu bekerja, aku memahami beberapa hal penting yang menjadi kunci sukses:
1. Kerja Keras Tak Akan Mengkhianati Hasil
Aku melihat sendiri bagaimana ibu bekerja tanpa mengeluh, bagaimana setiap mukena yang ia buat adalah bagian dari perjuangan hidup kami. Aku belajar bahwa siapa pun yang mau berusaha, pasti akan mendapatkan hasilnya.
2. Keikhlasan Membawa Keberkahan
Meskipun kami bekerja tanpa bayaran tetap, kami selalu mendapatkan rezeki tak terduga—baik itu makanan gratis, rezeki dari orang lain, atau bahkan kesehatan. Aku percaya bahwa orang yang membantu orang tua dengan ikhlas, pasti akan dimudahkan jalannya.
3. Kesabaran dan Pantang Menyerah
Jatuh dari sepeda itu sakit, tapi aku tetap bangkit. Begitu juga dalam hidup. Akan ada rintangan, tapi kita harus terus berjuang. Kesabaran dalam menghadapi kesulitan akan membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat.
4. Doa Ibu Adalah Kunci Kesuksesan
Aku percaya, setiap keringat ibu yang jatuh saat bekerja adalah doa yang dipanjatkan untuk anak-anaknya. Ridho Allah ada pada ridho ibu. Selama aku berbakti kepadanya, insya Allah hidupku akan penuh keberkahan.
Kini, aku sudah dewasa dan telah menggapai sebagian impianku. Tapi aku tahu, semua ini bukan hanya hasil kerja kerasku sendiri, melainkan juga berkat ketulusan seorang ibu yang rela berjuang demi anak-anaknya.
Dan aku akan selalu ingat pesan ibu:
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”