Kisah dibalik Aksara Jawa

 

Oleh: Drs. Mochamad Taufik, M.Pd)

Hangat mentari menyinari sebuah kerajaan bernama Medhangkamulan. Di sana, seorang raja bengis bernama Prabu Dewata Cengkar memerintah dengan kejam. Setiap hari, rakyat harus menyerahkan manusia sebagai santapan sang raja.

Namun, harapan mulai muncul saat seorang pemuda sakti bernama Aji Saka datang ke kerajaan itu. Ia mendengar tangisan rakyat dan berjanji menghentikan kekejaman sang raja. Dengan keyakinan penuh, ia membawa harapan baru bagi penduduk yang tertindas.

Cahaya keberanian bersinar dari kedua murid setia Aji Saka, yaitu Dora dan Sembada. Mereka selalu taat pada perintah gurunya. Sebelum menghadapi sang raja, Aji Saka memberi amanah kepada Sembada untuk menjaga keris pusaka di bukit dan melarang siapa pun mengambilnya sebelum ia kembali.

Raja Dewata Cengkar tertawa saat Aji Saka menantangnya bertarung. Namun, dengan kecerdikan, Aji Saka mengajukan syarat: tanah yang akan ia lawan harus seluas sorban yang dikenakannya. Sang raja setuju, lalu Aji Saka mulai membentangkan sorbannya. Semakin panjang sorban itu ditarik, semakin jauh sang raja melangkah. Hingga akhirnya, Dewata Cengkar terdorong ke laut dan berubah menjadi buaya putih.

Kasultanan Medhangkamulan pun merdeka. Rakyat bersorak gembira. Namun, sebelum kembali ke istana, Aji Saka mengutus Dora untuk mengambil keris pusakanya. Tanpa tahu perintah pertama gurunya, Dora meminta Sembada menyerahkan keris itu.

Dalam kesetiaan mutlak kepada Aji Saka, Sembada menolak memberikan keris itu. “Guruku berpesan agar aku menjaganya dan tidak memberikannya kepada siapa pun!” serunya.

Tantangan terjadi. Keduanya berdebat dan saling bertahan pada perintah Aji Saka. Kesetiaan mereka begitu kuat hingga akhirnya mereka bertarung dengan gagah berani, bukan karena permusuhan, tetapi karena kepatuhan pada sang guru.

Sampai titik darah penghabisan, Dora dan Sembada berjuang, hingga akhirnya keduanya gugur. Saat Aji Saka tiba di tempat itu, ia menemukan dua muridnya telah tiada.

Waktu seakan berhenti. Aji Saka menunduk sedih, menyadari bahwa kesetiaan kedua muridnya begitu dalam hingga mereka rela mengorbankan nyawa. Dengan rasa hormat, ia mengenang mereka dengan menciptakan aksara Jawa:

Lannya menjadi sejarah. “Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa Dha Ja Ya Nya, Ma Ga Ba Tha Nga,” yang melambangkan kesetiaan, pengorbanan, dan ketaatan.

Pesan untuk Generasi Alpha

Dora dan Sembada mengajarkan kita tentang kesetiaan, pengorbanan, dan kepatuhan terhadap amanah. Dalam kehidupan ini, kita harus berani berjuang, memegang teguh nilai-nilai kebaikan, serta selalu patuh pada guru dan orang yang membimbing kita menuju kebaikan.

Karena sejatinya, seorang pejuang sejati bukan hanya yang kuat secara fisik, tetapi juga yang teguh dalam menjalankan amanah.