
Oleh: Wawan Susetya*
ALLAH SWT lebih menyukai umat Islam yang kuat daripada yang lemah. Kuat di sini pengertiannya bukan hanya yang memiliki kekuasaan dan pengaruh saja, tetapi juga kuat dalam urusan finansial (keuangan). Meski demikian kita harus menyadari bahwa meski jumlah secara kuantitas umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, tetapi mereka adalah minoritas dalam kekuasaan dan kekuangan.
Dalam sejarah Islam, kita mengenal tokoh-tokoh Islam yang kaya-raya, seperti Ummul mukminah Siti Khadijah r.a (isteri Nabi Muhammad Saw), Abu Bakar, Utsman Bin Affan, dan sebagainya. Meski demikian, mereka dapat me-manage (mengelola) harta mereka dengan sebaik-baiknya, sehingga memberikan manfaat kepada agama, masyarakat dan lingkungannya. Mereka kaya-raya, tetapi mereka mengetahui rambu-rambunya; yakni bagaimana menyikapi hartanya dengan baik.
Sebagaimana beberapa pilar dalam Agama Islam, jika Anda Ulama, maka tebarkanlah ilmu kepada masyarakat. Jika Anda hartawan, maka bersedekahlah dengan uang Anda kepada kaum faqir-miskin. Jika Anda menjadi pemimpin (penguasa), maka berlakulah dengan adil dan bijaksana. Dan jika Anda hanya orang miskin, maka sumbangkanlah doamu.
Kekayaan atau materi dalam tangan umat Islam hendaknya dienergikan atau digerakkan agar menjadi cahaya. Tak mengherankan bila tindakan Khadijah dan Abu Bakar yang berjuang dengan menggunakan harta mereka di jalan Allah merupakan tindakan yang sangat terpuji. Mereka adalah tauladan bagi kaum muslimin dalam konteks mengelola harta benda.
Ada ungkapan bijak dalam konteks ini: Beramallah (bekerjalah) untuk kehidupan duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya; dan beribadahlah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok.
Orang Islam bukan tidak boleh menjadi kaya-raya. Kaum muslimin tidak dilarang untuk menjadi kaya-raya, tetapi yang dilarang yaitu hubbud dunya (cinta dunia). Sifat hubbud dunya sangat berbahaya karena ia merupakan pangkal dari segala kejahatan atau kemaksiatan lain. Cinta dunia merupakan salah satu sifat buruk atau penyakit hati yang mesti di diberantas sampai tuntas. Jika sifat hubbud dunya tersebut dipelihara dan dibiarkan terus-menerus, maka lama-kelamaan akan merembet ke sifat tomak alias rakus; yakni menginginkan harta melimpah tanpa mengetahui ilmunya sebagai rambu-rambu bersikap secara benar (islami). Dunia yang luas ini terasa begitu menyesakkan bagi seorang yang memiliki sifat tomak (rakus, serakah) terhadap duniawi.
Bagi orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah), mereka tidak memasukkan harta duniawi ke dalam hatinya, karena ia senantiasa berdzikir kepada-Nya. Artinya, kekayaan harta dan kemewahan duniawi yang dimilikinya tidak dipikirkan ke dalam hati, karena hati yang jernih dan bening merupakan bersemayam-Nya Allah Swt.
Imam al-Ghazali membuat suatu perumpamaan yang baik mengenai hal ini, yakni metafora mengenai perjalanan seorang salik (pejalan menuju Allah).
Diilustrasikan bahwa ketika seorang salik hendak memasuki pintu Raja, ia dihadang atau dihalangi oleh si anjing, penjaga pintu Raja. Al-Ghazali kemudian menggambarkan kecanggihan akal orang yang hendak memasuki pintu Raja, yakni dengan cara melemparkan tulang atau sepotong roti kepada si anjing. Si anjing pun menikmati makanannya, sehingga Si salik dapat melewati pintu (Raja) dengan aman untuk menemui Sang Raja.
Dan, Imam Ghazali menjelaskan bahwa Raja melambangkan Allah Swt, sementara si anjing penjaga pintu Raja adalah lambang setan, sedang tulang atau sepotong roti adalah harta-benda (materi). *Penulis adalah Sastrawan-budayawan dan pegiat Satu Pena Jawa Timur, tinggal di Tulungagung-Jatim
o0o
NB:
N a m a : Wawan Susetya
Tempat & tgl lahir : Tulungagung, 1 Desember 1969
Agama : Islam
Status : Kawin
Pekerjaan : Penulis Buku
Pendidikan : S-1 Pendidikan Bahasa & Sastra Inggris 1994
Alamat : RT 1/RW 1 Glotan, Ds. Tanggung, Kec. Campurdarat,
Kab. Tulungagung, Jatim 66272
E-mail : wawan.susetya@gmail.com
HP : 0815.560.7675