
Oleh: Wawan Susetya*
KETANGGUHAN MENTAL seorang Indianseperti yang kita kenal dalam film-filmbegitu sangat luar biasa. Meski dia kesakitan, tetapi ekspresi di wajahnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia kesakitan. Mereka juga pantang untuk mengaduh, mengeluh, ngedumel, complain, resah, dan sebagainya. Mereka tegar dalam hidup secara jantan. Berani menghadapi masalah. Resiko. Itulah tanggung jawab bagi Indian. Dan, begitulah memang mental orang Indian.
Jika mental orang Indian seperti itu, marilah kita bandingkan mental orang-orang Indonesia: Jawa, Sunda, Bali, Batak, Madura, Bugis, Dayak, dan sebagainya. Secara umum, orang-orang Indonesia yang berasal dari suku-suku tadi masih kalah dibandingkan dengan mental orang Indian. Buktinya, begitu kita bergaul dengan orang-orang yang berasal dari suku-suku di tanah air, langsung saja kita bisa menangkap icon pada identitas mereka secara umum. Artinya, meski tidak seratus persen, barangkali ada kemungkinan dan peluang yang besar dari kita untuk bisa menebak mereka: mungkin kejiwaannya, nyalinya, kebiasaannya, kharakternya, kelemahannya, keunggulannya, dan sebagainya. Tapi, coba bagaimana kita bisa menangkap icon orang-orang Indian yang tegar?
Pembicaraan tentang mental ini, sebenarnya tidak terlepas dari makna puasa dalam arti yang lebih luas. Ketika sedang berpuasa, misalnya, apakah Anda tergolong orang yang rewel: nanti lauknya apa (?), bukanya di mana (?), menunya apa saja (?), masakannya enak apa nggak (?), dan seterusnya. Kalau iya, bisa dipastikan Anda mengidap penyakit bermental lemah: gampang mengeluh, mengaduh, kurang dewasa dan matang dalam berpuasa, dan sebagainya. Sebaliknya, kalau Anda tidak tergolong seperti itu, makalumayanada kemungkinan Anda tidak masuk kategori orang yang lemah mentalnya.
Atau, tolok ukur yang jelas, sebenarnya ketika seseorang sedang sakit. Dalam sakitnya tadi, pertama, apakah dia sering mengaduh atau mengeluh kesakitan atau tidak; kedua, jika terpaksa mengaduh atau mengeluh, kata-kata apa yang sering disebut-sebut: aduuuuhh, ataukah ibuuuu, atau tolooooong, dan sebagainya.
Kalau kita menjumpai gambaran orang seperti itu, kita sudah langsung bisa menebak tentang mentalnya yang lemah. Ya, tadi. Suka mengeluh, mengaduh, dan rewel. Mereka tidak survive. Berarti orang tersebut tidak melakukan puasa pada ketahanan mentalnya.
Sebaliknya, kalau kita menjumpai seseorang yang ketika sakit berpenampilan tenang, kalem, pendiam, tabah, sareh, dan sebagainya, atau seandainya mengaduh dia berkata, YaAllahAllah, dan seterusnya, dialah orangnya yang sesungguhnya mempunyai ketahanan mental yang baik. Bahwa dia harus atau terpaksa sambat (mengadu) tidak lain dihaturkan kepada Tuhan: bukankah hanya Tuhan yang bisa menyelesaikan masalah hamba-hambaNya?
Sebenarnya, jenis ketahanan mental seperti di atas itu termasuk puasa (menahan).
Orang yang mau masuk ke kandang kambing, makaagar selamatmengembeklah. Masuk ke kandang harimau, maka mengaumlah. Itulah dalam istilah Jawanya disebut: momor-merang, manjing ajur-ajer, ngubyuki kanca (menyatu atau bisa berbaur dengan semua lapisan masyarakat, bahkan dengan berpura-pura sekalipun). Bahwa istilah Jawa menyebutkan galangan isih kalah karo golongan (keturunan yang baik masih kalah pengaruhnya dibanding pergaulannya). Artinya, jika seseorang berusaha untuk menerapkan laku manjing ajur-ajer atau ngubyuki kanca di atas, sebelumnya harus memiliki kekuatan (ketangguhan) mental itu sendiri. Di manapun dan dengan siapapun dia bergaul, dia tidak akan terpengaruh. Tetap ada kontrol diri yang kuat. Begitulah gambaran orang yang kuat mentalnya tadi, jadi bukan terbawa arus seperti makna ungkapan istilah Jawa di atas.
Memang, orang yang baik (sempurna) itu bukanlah orang yang hanya mau yang baik saja, atau yang jelek saja, melainkan keduanya. Maksudnya, orang tadi tidak mengelak jika dikatakan bahwa dia baik, begitu pula dia juga tidak mengelak disebut jelek. Dia mau kenggonan (ketempatan) yang baik maupun yang jelek. Namun dia juga tidak menginginkan dikatakan orang yang baik maupun dikatakan orang yang jelek. Meski demikian, dasar awalnya adalah kebaikan itu sendiri: yakni kebaikan yang muncul dari lubuk hatinya yang paling dalam dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tantangan Pergaulan Di Zaman Modern
Sayangnya, luasnya pergaulan di tengah-tengah kebobrokan moral dewasa ini belum tentu menjadi lebih baik ketimbang orang yang suka menyendiri. Bergaul dengan banyak orangterutama yang dihubungankan silaturahmimemang baik, tetapi jika tak mampu mengendalikan diri dalam kebiasaan pergaulan yang mengarah pada rusaknya moral, tentu akan menyebabkan dampak yang buruk. Jika dikaitkan dengan urusan spiritual, hal semacam itu akan menyurutkan niat beribadah kepada Allah Swt.
Orang yang banyak bergaul di dalam masyarakat luas, barangkali, secara sepintas lalu dianggap baik dan mulia. Orang akan segera mengatakan bahwa si fulan pergaulannya luas, lebih-lebih dengan kalangan menengah ke atas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dewasa ini yang dijadikan tolok ukur kesuksesan adalah melimpahnya harta, sehingga makin kaya seseorang tentu makin dihormati oleh lingkungannya.
Imam Al-Ghazali dalam Minhajul Abidin menjelaskan dua alasan menjauhi makhluk. Pertama, sebab kebanyakan makhluk akan memalingkan kita dari ibadah dengan memasukkan kebingungan-kebingungan dalam hati kita. Kedua, sebab kebanyakan manusia dapat merusak ibadah yang telah kita laksanakan.
Hatim Al Asam r.atokoh sufi kenamaanpernah mengatakan kekecewaannya terhadap makhluk (manusia) atas lima perkara. Pertama, ia minta agar mereka taat dan berlaku zuhud, tetapi mereka tidak mau mengerjakannya. Kedua, ia minta agar mereka menolongnya dalam urusan taat dan zuhud, tetapi mereka tak mau menolongnya. Ketiga, ia minta agar mereka rela jika ia taat dan zuhud, tetapi mereka justru membencinya. Keempat, ia minta agar mereka tidak mengganggunya, tetapi mereka menghalanginya dalam ketaatan dan ke-zuhud-an. Kelima, ia minta agar mereka mengajaknya ke jalan yang tidak diridhoi Allah dan memusuhinya jika ia tidak mengikuti jalan mereka, tetapi mereka tidak bersedia juga.
Ia berkata: Aku minta kepada makhluk (manusia) lima perkara (di atas), tetapi aku tidak mendapatkannya. Untuk itu, aku tinggalkan mereka, dan aku mengurus diriku sendiri. (Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, 2002).
Dalam kehidupan sehari-hari ada sesuatu hal penting sebagaimana diinformasikan oleh Baginda Rasulullah mengenai empat macam penunjang kebahagiaan manusia hidup di dunia, yakni;
Pertama, isteri yang sholehah.
Kedua, anak yang berbhakti (sholeh).
Ketiga, bergaul dengan orang-orang yang baik.
Keempat, sumber rizkinya berada di negerinya sendiri. (Abujamin Roham, Sadaqah Penangkis Bala).
Setidaknya, dengan empat penunjang kebahagiaan di atas, memang, hidup menjadi lebih ringan karenanya. Dalam lingkungan keluarga, misalnya, dikelilingi oleh anggota keluarga yang sholeh dan sholehah. Berikutnya tentang persahabatan pun tidak ada masalah, tetapi malah mendukung ke arah yang lebih positif lagi, karena teman-temannya orang-orang sholeh. Apalagi jika Allah menakdirkan rizki orang tersebut di negerinya sendiri, maka tak usah jauh-jauh menjadi budak dengan sebutan pendatang haram di Negeri Jiran Malaysia.
Sayyidina Umar bin Khatthab pun berpendapat bahwa sikap terbaik untuk mengantisipasi zaman seperti itu yaitu uzlah; membebaskan diri dari pergaulan buruk. Bahkan, Sufyan Ats-Tsauri (tokoh sufi yang hidup sesudah Imam Hasan Al-Bashri) pun di zamannya juga telah mengatakan: Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, bahwa zaman sekarang ini, sudah masanya untuk uzlah (mengasingkan diri).
Fudhail r.a pun juga berkata: Zaman ini mengharuskan kamu menjaga lidahmu dan menyembunyikan dirimu serta memperbaiki hatimu. Dan ambillah yang baik serta tinggalkan yang munkar.
Yang patut diwaspadai dari pergaulan orang banyak, yakni ajakannya yang menjurus pada perbuatan riya dan bermegah-megahan. Jika para leluhur orang-orang saleh dari kalangan ulama salaf saja merasa takut terhadap riya, semestinya orang awam harus berusaha mengantisipasinya. Riya memang sangatlah tipis dan nyaris tak terasa, sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah dengan sabdanya: Sesungguhnya yang sangat aku khawatirkan atas kamu adalah syirkul asghar (musyrik kecil), yakni riya.
Meski demikian, selain uzlah, Imam Ghazali juga memberikan alternatif lain yakni dengan tetap bergaul dengan manusia lain bagi orang yang sudah kokoh keimanannya. Mengapa? Sebab, bagi orang ini ilmunyaurusan agamamasih dibutuhkan oleh masyarakat luas. Ia juga berkewajiban meluruskan bidah yang telah melebar ke mana-mana. Orang semacam ini justru tidak diperbolehkan uzlah, tapi ia harus tetap kokoh berada di tengah-tengah masyarakatnya untuk memberikan nasehat, menjaga dan memelihara agama Allah dan menerangkan hukum-hukum yang ditetapkan Allah Swt.
Ada dua hal penting rambu-rambu bagi hamba-hamba-Nya yang mempunyai tanggung jawab di masyarakat. Pertama, sabar atas segala penderitaan yang diperoleh dari pergaulan serta menganalisanya dengan cara yang halus dan memohon perlindungan Allah. Kedua, bagi yang mempunyai pengikut, meskipun lahirnya bergaul dengan masyarakat, tetapi hendaknya hatinya menyendiri.
Dan, Umar Bin Khatthab pun ketika menjadi khalifah pernah berkata: “Di saat tidur malam, aku melupakan diriku. Dan di saat tidur siang, berarti aku melupakan rakyat. Bagaimana seharusnya aku tidur di antara keduanya?” *Penulis adalah Sastrawan-budayawan dan pegiat Satu Pena Jawa Timur, tinggal di Tulungagung-Jatim
o0o