Menyikapi Tragedi Illusion of Choice dalam Dunia Pendidikan

 

Oleh : Sujaya, S. Pd. Gr.
( Dewan Penasehat DPP ASWIN)

*A. Apa itu Illusion of Choice?*

Illusion of Choice (ilusi pilihan) adalah konsep di mana seseorang merasa memiliki banyak pilihan, padahal sebenarnya semua opsi yang tersedia telah dikendalikan atau dibatasi oleh pihak lain, seperti pemerintah, perusahaan, atau sistem sosial. Akibatnya, pilihan yang diambil bukanlah hasil dari kebebasan sejati, melainkan dari opsi yang sudah didesain untuk mengarahkan keputusan seseorang.

Contoh Illusion of Choice dalam aspek dunia pendidikan, seperti banyak orang berpikir mereka bisa memilih jalur pendidikan dan pekerjaan dengan bebas, tetapi sebenarnya pilihan mereka dibatasi oleh tren pasar, kebijakan pendidikan, dan tekanan sosial.

Contoh: Siswa diarahkan untuk mengambil jurusan yang “menguntungkan” seperti kedokteran atau teknik, bukan karena minat, tetapi karena ekspektasi ekonomi.

Illusion of choice adalah bentuk kontrol yang halus, dan menyadarinya adalah langkah pertama untuk mengambil keputusan yang lebih mandiri dan bermakna.

*B.Mengapa Illusion of Voice disebut Tragedi?*

Illusion of Choice dalam pendidikan terjadi ketika siswa, orang tua, dan masyarakat merasa memiliki banyak pilihan dalam sistem pendidikan, padahal sebenarnya pilihan tersebut telah dibatasi dan diarahkan oleh kebijakan pemerintah, tren pasar kerja, dan norma sosial.

Tragedinya adalah bahwa banyak orang berpikir mereka menentukan masa depan mereka sendiri, tetapi sebenarnya mereka hanya memilih dari opsi yang sudah dikendalikan oleh sistem.

1.Pilihan yang Terlihat Beragam, tetapi Sebenarnya Terbatas

a. Jalur Pendidikan yang Tampak Beragam, tetapi Seragam.
Siswa dapat memilih antara sekolah negeri, swasta, kejuruan, atau madrasah, tetapi semua tetap mengikuti kurikulum nasional yang kaku.
Efeknya: Tidak ada fleksibilitas bagi siswa dengan bakat unik seperti seni, olahraga, atau teknologi.

b. Jurusan yang Tampak Beragam, tetapi Ditentukan oleh Pasar

Siswa berpikir mereka bisa memilih jurusan sesuai minat, tetapi sebagian besar diarahkan ke jurusan yang “menjamin pekerjaan” seperti kedokteran, teknik, atau bisnis.
Efeknya: Banyak siswa memilih jurusan karena tekanan sosial, bukan karena passion, sehingga berakhir dengan ketidakpuasan di masa depan.

2.Sistem yang Membentuk Mentalitas “Sekolah = Sukses”

a. Pendidikan Formal Dijadikan Satu-Satunya Jalan Kesuksesan
Siswa diajarkan bahwa hanya melalui sekolah dan universitas mereka bisa sukses, padahal banyak profesi baru berkembang di luar jalur akademik.
Contoh: Banyak wirausahawan, content creator, atau ahli teknologi sukses tanpa gelar tinggi.

b. Kurikulum Tidak Mengajarkan Kemandirian dan Kreativitas
Sistem pendidikan lebih fokus pada menghasilkan pekerja untuk industri daripada membangun kreativitas dan inovasi.
Efeknya: Siswa tidak diajarkan berpikir kritis atau mencari solusi di luar jalur konvensional.

3.Ilusi Kesempatan yang Sama, tetapi Kenyataannya Tidak Adil

a. Akses ke Pendidikan Berkualitas Tidak Merata
Sekolah unggulan lebih mudah diakses oleh siswa dari keluarga kaya, sementara siswa miskin hanya bisa masuk sekolah dengan fasilitas terbatas.
Efeknya: Anak dari keluarga kaya memiliki peluang lebih besar untuk sukses dibandingkan anak dari keluarga kurang mampu.

b. Beasiswa dan Bantuan Pendidikan Tidak Menghilangkan Kesenjangan
Beasiswa hanya membantu sedikit orang, sementara sistem tetap mendukung mereka yang sudah memiliki keuntungan ekonomi.

4.Pendidikan yang Menghasilkan “Robot Akademik”

a. Fokus pada Nilai dan Ujian, Bukan pada Keterampilan Hidup
Siswa dipaksa menghafal untuk ujian, bukan belajar untuk memahami dunia nyata.
Efeknya: Lulusan sering kali bingung ketika masuk dunia kerja karena tidak memiliki keterampilan praktis.

b. Kreativitas dan Minat Sering Kali Dikesampingkan
Siswa yang berbakat di bidang seni atau olahraga sering dianggap “tidak serius” karena sistem lebih mengutamakan bidang akademik.
Efeknya: Banyak bakat yang terpendam dan tidak berkembang.

Tragedi Illusion of Choice dalam pendidikan terjadi karena:
1.Siswa merasa mereka memiliki banyak pilihan, tetapi sebenarnya semua opsi sudah ditentukan oleh sistem.

2.Sistem pendidikan lebih mengutamakan kepentingan industri daripada pengembangan individu.

3.Kesempatan pendidikan tidak benar-benar adil, menciptakan kesenjangan sosial yang lebih besar.

4.Siswa diarahkan menjadi pekerja, bukan inovator atau pemikir kreatif.

*C. Teori Ahli tentang Illusion of Choice*

Konsep Illusion of Choice (ilusi pilihan) tidak memiliki satu pencetus atau teori tunggal yang mendefinisikannya, tetapi merupakan gagasan yang berkembang dalam berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, filsafat, ekonomi, dan ilmu politik.

Beberapa pemikir dan teori yang berkaitan dengan ilusi pilihan meliputi:
1.B.F. Skinner (Behaviorisme dan Kendali Sosial)

Skinner, seorang psikolog behavioris, menjelaskan bagaimana lingkungan dan sistem sosial membentuk perilaku manusia. Dalam bukunya Beyond Freedom and Dignity (1971), ia membahas bagaimana manusia sering kali merasa bebas, padahal pilihan mereka sebenarnya dikondisikan oleh faktor eksternal.

2.Daniel Kahneman & Amos Tversky (Ilusi Kognitif dalam Pengambilan Keputusan)
Kahneman dan Tversky, dalam teori Prospect Theory (1979), menunjukkan bahwa manusia sering kali membuat keputusan berdasarkan cara informasi disajikan, bukan karena pilihan yang benar-benar bebas. Ini mirip dengan ilusi pilihan dalam pemasaran dan politik.

3.Noam Chomsky (Kritik terhadap Media dan Politik)

Chomsky dalam bukunya Manufacturing Consent (1988) menjelaskan bagaimana media dan sistem politik membentuk opini publik, memberikan ilusi kebebasan memilih, padahal semua opsi sudah dikendalikan oleh kelompok elite.

4.Jean Baudrillard (Simulacra dan Ilusi dalam Kapitalisme)

Baudrillard, seorang filsuf postmodern, dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981), menjelaskan bagaimana masyarakat modern hidup dalam realitas yang dikonstruksi oleh media dan kapitalisme. Pilihan yang kita miliki sering kali hanya variasi dari hal yang sama.

5.Barry Schwartz (The Paradox of Choice, 2004)

Schwartz menunjukkan bahwa memiliki terlalu banyak pilihan justru bisa menyebabkan kecemasan dan ketidakpuasan. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita merasa memiliki banyak pilihan, kita sebenarnya tidak lebih bahagia atau bebas.

Ilusi pilihan bukan berasal dari satu teori atau individu, tetapi berkembang melalui pemikiran dalam psikologi, filsafat, ekonomi, dan politik. Konsep ini sering digunakan dalam konteks pemasaran, politik, ekonomi, dan sosial untuk menunjukkan bagaimana pilihan kita sering kali lebih terbatas dari yang kita kira.

6.Renald Kasali, Pakar Manajemen dan Ekonomi.

Prof. Renald Kasali, seorang pakar manajemen dan ekonomi di Indonesia, sering membahas konsep ilusi pilihan (illusion of choice) dalam konteks bisnis, pemasaran, dan perubahan sosial.

Dalam berbagai tulisannya, terutama di bidang disruption, ia menyoroti bagaimana masyarakat sering kali merasa memiliki kebebasan memilih, padahal pilihan mereka telah diarahkan oleh sistem atau pihak yang lebih besar.

Illusion of Choice dalam Perspektif Renald Kasali
1.Dalam Disrupsi dan Ekonomi Digital

Renald Kasali sering mengaitkan ilusi pilihan dengan disrupsi teknologi. Misalnya, dalam ekosistem ekonomi digital, konsumen merasa memiliki banyak pilihan platform atau layanan, tetapi kenyataannya sebagian besar dikendalikan oleh segelintir perusahaan teknologi raksasa.

Contoh: E-commerce, ride-hailing, dan fintech tampak memiliki banyak pesaing, tetapi sebenarnya hanya segelintir perusahaan besar yang mendominasi pasar.

2.Dalam Perilaku Konsumen

Kasali menyoroti bagaimana pemasaran dan branding menciptakan ilusi pilihan. Banyak merek tampak bersaing satu sama lain, tetapi sering kali mereka berada di bawah satu grup perusahaan besar.
Contoh: Konsumen berpikir mereka bisa memilih antara berbagai merek mi instan atau produk susu, tetapi sebenarnya sebagian besar berasal dari perusahaan yang sama.

3.Dalam Pendidikan dan Karier

Ia juga membahas bagaimana sistem pendidikan menciptakan ilusi bahwa lulusan memiliki banyak peluang karier, padahal banyak dari mereka akhirnya harus beradaptasi dengan kebutuhan industri yang telah ditentukan.
Contoh: Banyak orang memilih kuliah berdasarkan tren pasar kerja, tetapi setelah lulus, mereka tetap harus mengikuti jalur pekerjaan yang ditentukan oleh industri, bukan passion mereka.

Renald Kasali melihat illusion of choice sebagai bagian dari strategi ekonomi, pemasaran, dan politik yang membuat masyarakat merasa bebas memilih, padahal mereka sebenarnya diarahkan oleh sistem yang lebih besar. Ia sering menekankan pentingnya kesadaran dan inovasi agar individu dan bisnis tidak terjebak dalam ilusi ini, terutama dalam menghadapi era disrupsi.

*D. Menyikapi Tragedi Illusion of Choice dalam Dunia Pendidikan*

Tragedi Illusion of Choice dalam pendidikan terjadi ketika siswa, orang tua, dan masyarakat merasa memiliki kebebasan untuk memilih jalur pendidikan, tetapi sebenarnya pilihan tersebut sudah diarahkan atau dibatasi oleh sistem pendidikan, pasar kerja, dan norma sosial. Untuk mengatasi hal ini, kita perlu menyadari keterbatasan sistem, berpikir kritis, dan mencari alternatif yang lebih sesuai dengan minat dan potensi individu.

1.Siswa: Menjadi Pemilih yang Sadar dan Mandiri

a. Kenali Minat dan Potensi Diri Sendiri
Jangan hanya memilih jurusan atau sekolah karena tren atau tekanan keluarga.
Gunakan tes bakat dan minat, eksplorasi berbagai bidang, dan coba berbagai pengalaman sebelum memutuskan jalur pendidikan.

b. Jangan Bergantung pada Sistem Formal Saja

Pendidikan tidak hanya di sekolah atau universitas. Banyak platform online seperti Coursera, Udemy, dan YouTube yang bisa membantu meningkatkan keterampilan.
Ikuti seminar, workshop, dan komunitas untuk memperluas wawasan.

c. Berpikir Kritis terhadap Pilihan yang Ditawarkan

Jangan hanya menerima pilihan yang ada, tetapi pertanyakan apakah ada alternatif lain yang lebih sesuai dengan minat dan tujuan hidup.
Jangan takut mencoba jalur yang berbeda, seperti pendidikan non-formal atau wirausaha.

d. Kembangkan Keterampilan di Luar Kurikulum Sekolah

Dunia kerja modern lebih menghargai keterampilan daripada sekadar gelar.
Pelajari soft skills (komunikasi, kepemimpinan, problem-solving) dan hard skills (coding, desain grafis, digital marketing, dll.).

2.Orang Tua: Mendukung Anak dengan Pemahaman yang Lebih Luas

a. Berhenti Memaksakan Profesi Tertentu kepada Anak
Biarkan anak mengeksplorasi berbagai pilihan dan mendukung apa yang benar-benar mereka minati.
Jangan hanya mendorong profesi “tradisional” seperti dokter, insinyur, atau PNS jika anak memiliki minat di bidang lain.

b. Cari Informasi Lebih Luas tentang Perkembangan Dunia Kerja
Banyak pekerjaan baru muncul dalam era digital dan industri kreatif, seperti AI specialist, content creator, atau data analyst.
Jangan hanya mengacu pada standar lama dalam menentukan masa depan anak.

c. Dukung Pembelajaran di Luar Sekolah

Dorong anak untuk mengikuti kursus, magang, atau proyek yang bisa memberi mereka pengalaman nyata.
Ajarkan keterampilan praktis seperti berpikir kritis, manajemen waktu, dan problem-solving.

3.Pendidik: Mendorong Pendidikan yang Lebih Fleksibel

a. Mengajarkan Pemikiran Kritis dan Kreativitas
Jangan hanya fokus pada hafalan, tetapi ajarkan siswa bagaimana berpikir kritis dan memecahkan masalah.
Gunakan metode pembelajaran berbasis proyek, diskusi, dan eksplorasi mandiri.

b. Memberikan Ruang untuk Pilihan yang Lebih Luas

Jangan hanya mengarahkan siswa ke jalur konvensional, tetapi bantu mereka menemukan jalur yang sesuai dengan potensi mereka.
Contoh: Jika seorang siswa tertarik dengan teknologi atau seni digital, bantu mereka mengembangkan proyek sendiri daripada hanya mengikuti kurikulum standar.

c. Menyesuaikan Kurikulum dengan Dunia Nyata

Libatkan industri dan komunitas dalam pendidikan agar siswa memahami bagaimana dunia kerja sebenarnya.
Dorong program magang, startup, atau proyek sosial untuk memberi pengalaman langsung.

4.Pemerintah dan Pembuat Kebijakan: Reformasi Pendidikan yang Lebih Adaptif

a. Mengurangi Standarisasi yang Berlebihan
Jangan hanya berfokus pada ujian dan nilai, tetapi juga pertimbangkan keterampilan praktis dan pengembangan karakter.
Berikan fleksibilitas bagi sekolah dan guru untuk menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan lokal dan global.

b. Mendorong Pendidikan Berbasis Keterampilan, Bukan Hanya Ijazah

Banyak pekerjaan masa depan lebih menghargai keterampilan daripada gelar akademik.
Perbanyak program pelatihan vokasional, kursus online, dan sertifikasi keterampilan.

c. Meningkatkan Akses dan Kesetaraan dalam Pendidikan

Pastikan semua siswa, baik dari kota maupun daerah terpencil, memiliki akses ke pendidikan berkualitas.
Gunakan teknologi pendidikan (EdTech) untuk menjangkau lebih banyak siswa dengan sistem pembelajaran yang lebih fleksibel.

*E. Kesimpulan*

Tragedi illusion of choice dalam pendidikan membuat banyak orang merasa memiliki kebebasan menentukan masa depan mereka, padahal mereka hanya memilih dari opsi yang sudah dikendalikan oleh sistem.

Bagaimana menyikapinya?

1.Siswa harus lebih proaktif dalam mengeksplorasi pilihan mereka.
2.Orang tua harus mendukung anak berdasarkan minat mereka, bukan hanya standar sosial.
3.Pendidik harus menciptakan ruang belajar yang lebih fleksibel dan relevan.
4.Pemerintah harus membuat kebijakan pendidikan yang lebih adaptif dan berbasis keterampilan.

Dengan menyadari ilusi pilihan ini, kita bisa mengambil keputusan yang lebih bijak dan membangun sistem pendidikan yang lebih inklusif, inovatif, dan sesuai dengan tantangan masa depan.