Seminar Sunni dn Syiah Dalam Perspektif Keislaman di UIN Walisongo Semarang

 

SEMARANG – UIN Walisongo Semarang, melalui Fakultas Hukum dan Syariah, bekerja sama dengan Kesbangpol Jawa Tengah, DPW Ahlulbait Indonesia (ABI) Jawa Tengah, dan DPD ABI Semarang, menggelar seminar bertema “Sunni dan Syiah dalam Perspektif Keislaman dan Urf untuk Membangun Persatuan di Tengah Keberagaman”. Acara ini berlangsung pada Jumat, 22 November 2024, di Teater ISDB Gedung Prof. Qodry Aziziy, Kampus UIN Walisongo, Semarang.

Seminar yang dihadiri mahasiswa, perwakilan DPW ABI, DPD Semarang dan Jepara, serta puluhan tamu undangan ini bertujuan mempromosikan dialog dan pemahaman antarmazhab untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah di Indonesia.

Dalam sambutannya, Prof. Abdul Ghofur, Dekan Fakultas Hukum dan Syariah, menyoroti pentingnya menjaga keberagaman sebagai kekuatan umat Islam. “Keberagaman adalah anugerah dari Allah. Kita harus menjadikannya peluang untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dan membangun peradaban bersama,” ujar beliau.

Prof. Ghofur juga mengangkat peran Iran sebagai negara mayoritas Syiah yang berani melawan Israel dan mendukung Palestina meskipun di bawah embargo. Menurutnya, keberanian tersebut adalah contoh nyata bagaimana persatuan dapat mendukung perjuangan umat.

*Paparan Pemateri*
*Dr. Ismail Marzuki, M.A.Hk.* Dalam pernyataannya ia menjelaskan bahwa corak Islam di Indonesia, yang dipengaruhi tasawuf, memungkinkan terciptanya kerukunan. “Konflik Sunni-Syiah di Indonesia minim, jika ada pun lebih disebabkan oleh politik. Titik temu seperti kecintaan pada Ahlulbait dan warisan urf harus dijaga untuk mempererat persatuan,” katanya.

Ia menegaskan bahwa perbedaan bukan hanya terjadi antara Sunni dan Syiah, tetapi juga di internal Sunni. Namun, fokus pada persamaan akan memperkuat harmoni umat.

*Dr. Muhammad Kholidul Adib, SHI., MSI.* Dalam paparannya, ia mengulas asal-usul sejarah sosial-politik Sunni dan Syiah serta berbagai upaya dialog dan rekonsiliasi di antara kedua kelompok. Menurutnya, Sunni dan Syiah memiliki kesamaan fundamental, seperti Syahadat, Kitab, dan Nabi yang sama.

Perbedaan yang ada lebih sering disebabkan oleh faktor politik, seperti peristiwa Ghadir Khum, yang menurutnya memunculkan tafsir beragam dalam tradisi Islam. “Sunni dan Syiah ini ibarat saudara kandung. Yang membedakan lebih banyak pada aspek politik dan tafsir, namun semangat persatuan dan ukhuwah Islamiyah harus selalu dijaga,” ungkapnya.

*K.H Ustadz Miqdad Turkan.* Sebagai Dewan Syura ABI, beliau sebelum membahas materi, menegaskan partisipasinya dalam seminar ini sebagai perwakilan ABI, bukan MUI Jepara.

Beliau memaparkan bahwa banyak miskonsepsi tentang Syiah yang harus diluruskan, seperti tuduhan bahwa Syiah tidak memiliki syahadat atau rukun Islam yang berbeda. “Sumber syariat Islam semua aliran tetap sama, yaitu Alquran dan hadis. Perbedaan seharusnya tidak menjadi alasan kebencian, tetapi pemahaman,” tegasnya.

*Antusiasme Peserta dan Penutupan*
Seminar ini berjalan dinamis dengan sesi tanya jawab yang aktif. Mahasiswa, menunjukkan ketertarikan yang tinggi terhadap pembahasan sejarah dan dialog antarmazhab.

Acara ditutup dengan doa bersama, membawa harapan akan persatuan umat Islam yang lebih kuat, baik di Indonesia maupun dunia. Seminar ini menjadi bukti bahwa dialog adalah kunci menjaga harmoni di tengah perbedaan. (MT)