Sampang-Debat perdana PILKADA Kabupaten Sampang kali ini menghadirkan dua pasangan calon yang memiliki pendekatan berbeda dalam menyampaikan visi dan strategi mereka. Pasangan nomor 1, yakni Kiai Mamak dan Mas Ab, menonjolkan konsep-konsep yang diusungnya dalam merespons permasalahan daerah, walau terlihat belum jelas bagaimana konsep itu akan direalisasikan secara konkret.
Di sisi lain, pasangan nomor 2, Haji Idi dan Ra Mahfud, memfokuskan argumen pada capaian-capaian yang sudah dilakukan, serta menawarkan langkah-langkah teknis yang tampaknya lebih praktis. Ini memperlihatkan bahwa masing-masing pasangan membawa perspektif yang saling melengkapi dalam menjawab kebutuhan masyarakat Sampang.
Namun, dalam closing statement, narasi yang disampaikan oleh Mas Ab mengundang keprihatinan. Dengan menyampaikan pilihan “Memilih kaum blatir memimpin ulama atau ulama memimpin blatir,” ada kesan pernyataan ini menciptakan garis sosial antara “kaum ulama” dan “kaum blatir.” Ungkapan ini, secara tidak langsung, mempertajam batas sosial dan mengisyaratkan adanya perbedaan strata yang hierarkis antara kedua kelompok tersebut.
Penggunaan dikotomi ulama dan blatir dalam konteks politik di Sampang, walaupun mungkin dimaksudkan sebagai refleksi identitas kultural, justru membuka ruang bagi polarisasi di tengah masyarakat. Mengidentifikasi seorang calon pemimpin berdasarkan kelas sosial atau latar belakangnya bisa berdampak serius terhadap persatuan masyarakat. Terlebih lagi, sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang berlabel “ulama” sekalipun tidak menjamin bahwa kepemimpinannya membawa perubahan yang berarti.
Sebaliknya, keberhasilan pemimpin tidak ditentukan oleh status sosial atau keagamaannya, melainkan oleh komitmen, integritas, dan kemampuannya dalam mengelola pemerintahan demi kesejahteraan seluruh masyarakat.
Selain itu, pernyataan ini juga berpotensi mengurangi makna demokrasi yang inklusif. Dalam sebuah masyarakat yang majemuk seperti Sampang, seharusnya tidak ada sekat antara golongan ulama dan masyarakat biasa.
Keduanya adalah bagian dari satu kesatuan masyarakat yang membutuhkan pemimpin yang tidak memandang golongan atau status sosial. Retorika seperti ini bisa membuat sebagian masyarakat merasa tersingkirkan atau diperlakukan kurang setara, dan akhirnya memperdalam sekat-sekat yang sebenarnya harus dihilangkan.
Sebagai calon pemimpin, narasi yang dihadirkan seharusnya lebih menekankan pada prinsip persatuan dan keadilan sosial. Bukannya memperkuat batasan kelas sosial, seorang pemimpin idealnya mampu melihat masyarakat sebagai satu kesatuan tanpa sekat atau perbedaan status, dan berkomitmen untuk melayani semua orang dengan adil. Jika pemimpin dapat merangkul semua kalangan dengan tulus, tanpa pandang status atau latar belakang, ia akan mendapatkan kepercayaan yang lebih kokoh dari masyarakat luas.
Perbedaan gagasan dan pendekatan dalam visi-misi setiap pasangan calon tentu merupakan hal yang sehat dalam demokrasi. Namun, narasi yang berpotensi meretakkan kebersamaan masyarakat perlu dihindari. Pemimpin yang akan dipilih haruslah seseorang yang tidak hanya memahami masalah yang dihadapi Sampang tetapi juga berkomitmen untuk menyatukan semua elemen masyarakat tanpa perbedaan, sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara inklusif dan membawa manfaat bagi semua.
eMHa