PONOROGO– Dekan Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia Prof. Ahmad Sunawari Long membahas problematika pendidikan pesantren saat menjadi spesial panel dalam 2nd Siir Santren II 2024 yang di gelar PC ISNU di Pendopo Agung Kabupaten Ponorogo Sabtu, (5/10/2024).
Menurut Sunawari Long, setidaknya ada 3 problem utama yang harus dihadapi pendidikan berbasis Pondok (pesantren, red) yang dihadapi di negara Malaysia.
“Setidaknya di Malaysia, perspektif negatif yang berkembang ini diantaranya bahwa pondok (pesantren, red) ini diisi oleh anak yang tidak boleh (tidak mampu, red) masuk di sekolah yang lebih baik. Selanjutnya Pondok ini diisi oleh anak-anak yang sukar diatur (susah diatur, red) oleh orang tua mereka. Dan yang terakhir ada Case (kasus, red) asusila yang berlaku (terjadi, red) di sekolah-sekolah Pondok,”ucapnya.
Meskipun demikian, sebelum penjajah datang dia menyatakan anak-anak di Malaysia akan malu jika tidak bisa menulis aksara jawi (pegon, red) di umur 7 tahun.
“Sebelum dijajah, anak-anak di Malaysia malu jika di usia 7 tahun tidak bisa nulis aksara jawi (pegon, red),”lanjutnya.
Hingga saat ini, kata Sunawari Long sudah ada lebih dari 100 buah pondok pesantren yang masih ada di Malaysia dan kebanyakan terletak di utara negara Malaysia itu di Kedah, Kelantan, dan Trengganu.
Lebih jauh, Sistem Pondok yang ada di Malaysia saat ini sudah hampir punah tergantikan Sekolah Tahfidz. Stigma yang berkembang adalah sekolah Pondok itu Kuno, tidak Modern, dan Tradisional.
Dia mengatakan rakyat Indonesia beruntung sekolah menggunakan 1 bahasa, yakni Bahasa Indonesia.
“Pada penjajahan, sekolah di Malaysia ada banyak sistem, Sekolah kebangsaan menggunakan bahasa melayu, sekolah China menggunakan bahasa China, dan sekolah tameang yang menggunakan bahasa tameang. Beruntunglah Indonesia karena hanya ada 1 sistem sekolah yang menggunakan 1 bahasa yaitu bahasa Indonesia,”ungkapnya.
Maka, ketika Malaysia merdeka, para orang tua disana mulai enggan menyekolahkan anaknya di Sekolah Pondok (Pesantren, red) karena ingin anaknya bisa berbahasa Inggris.
Menyikapi hal ini, Pemerintah Diraja Malaysia setelah mendapat kemerdekaan pada 1957 mulai menata ulang sistem pendidikan yang ada.
“Lepas (setelah, red) merdeka, Pemerintah membagi sistem pendidikan. Kalau mau belajar agama pergi ke sekolah agama, kalau mau belajar sains pergi ke sekolah bukan agama,”tuturnya.
Diapun menambahkan beberapa masalah lain yang dihadapi sekolah pondok di Malaysia.
“Kekurangan Infrastruktur, Tidak mempunyai perpustakaan dan jaringan Wifi, kekurangan dana, kekurangan tenaga pengajar,”paparnya.
Diapun memberi gagasan tentang pengembangan sistem pendidikan pondok yang ada di Malaysia.
“Ada beberapa yakni Meningkatkan kualitas dan image, meningkatkan infrastruktur, Akreditasi, dan audit seperti sekolah-sekolah yang lain,”tutupnya.*Imam Kusnin Ahmad*