Catatan KRAT. Faqih Wirahadiningrat.
“Vox Populi, Vox Dei vs Vox Argentum, Vox Diaboli”
(Suara Rakyat adalah Suara Tuhan vs Suara Gemerincing Uang adalah Suara Setan)
Semakin hari kita dipertontonkan dengan kejahilan yang di luar batas dari begitu banyak perilaku oknum Habaib Klan Ba’alwi. Tidak perlu dijelaskan dan ditunjukkan bagaimana massifnya kejahatan mereka.
Dalam bidang keagamaan misalnya, selain paling getol mengglorifikasi nasab palsunya sebagai keturunan Nabi SAW. Mereka justru semakin rajin memprovokasi ummat untuk didoktrin agar membela dan siap ‘perang’ kepada siapapun yang mencoba mempertanyakan keabsahan nasab mereka.
Walaupun itu konteksnya ilmiah, ternyata dilawan dengan seruan untuk mengasah pedang dan celurit dari para jongosnya. Pembodohan yang disertai doktrin bahwa merekalah kunci keselamatan dunia dan akhirat.
Dalam konteks kebangsaan, perilaku rasis dan pembelokan sejarah dengan disertai pemalsuan makam, begitu massif bisa kita temukan bukti dan jejak digitalnya.
Semuanya jelas terang-benderang sebagaimana mentari di siang hari pada bulan kemarau. Jauh kontras dengan kebenaran nasab mereka dan kepalsuan klaim sejarah kebangsaan yang mencoba mereka manipulasikan. Segelap malam buta dalam gerhana bulan yang begitu mencekam dan mengerikan.
Begitulah kaum Imigran Rasis ini makin menjadi-jadi kejahatannya. Terkini ketika mereka semakin terpuruk dan terpojok oleh suara sumbang publik Nusantara, malah mereka melakukan akrobat yang makin menjijikkan. Mereka berlagak mengundang banyak tokoh Nusantara yang lantang menyuarakan kejahatan mereka. Suatu undangan yang penuh tipu muslihat, kelicikan dan kepalsuan.
Bagaimana tidak, undangan belum sampai sudah digembar-gemborkan bahwa yang diundang akan memenuhi kehadirannya. Undangan biadab yang jauh dari tata-krama. Bagaimana tanpa konfirmasi apakah yang diundang bisa hadir atau tidak. Tanpa suara angin dan tanpa silaturahmi tiba-tiba ditentukan tanggal mainnya. Undangan yang berkop resmi Rabithoh Alawiyah, LSM lokal yang amatiran dengan format konyol. Yaitu tanpa dilengkapi tanda tangan Ketua Organsisasinya. Rasanya organisasi kelas kampung macam Karang Taruna jauh lebih pandai membuat surat undangan daripada lembaga rasis yang didirikan demi supremasi rasnya tersebut. Organisasi yang mendukung segregasi kelas sejak era Penjajahan.
Risikonya, bila terjadi sesuatu maka bisa diduga ketua organisasinya akan ngacir berkelit dan lepas dari tanggung-jawab. Dan bila yang diundang tidak hadir maka akan difitnah takut, kabur dan pengecut. Ini adalah DAGELAN PICISAN yang hanya bisa dirancang orang-orang rendahan !!!
Para Pejuang Nusantara pastinya jauh dari kata takut ataupun gentar. Namun sejarah mengatakan, ketika kaum Penjajah kalah dan terpojok, mereka selalu mengajak berunding. Dan hasilnya jelas terjadi kelicikan dan pengkhianatan di baliknya. Bagaimana yang terjadi dengan Diponegoro misalnya, ataupun seluruh perjanjian pasca kemerdekaan kita pada tahun 1945. Baik itu Perjanjian Linggarjati, Roem-Royen, Renville, ataupun Konferensi Meja Bundar. Tapi begitulah sejarah mengatakan, seberapa licikpun kaum durjana tetaplah kebenaran akan selalu menemukan jalan kemenangannya. Tidak saja bagi kaum penjajah, juga berlaku bagi jongosnya para penjajah.
Terkini, selain banyaknya agenda yang harus dijalani demi penyadaran dan pencerahan kepada publik. Termasuk Seminar Ilmiah Internasional di salah satu Universitas Islam Negeri bergengsi di tanah air, juga tak luput mereka permasalahkan. Harusnya bila mereka yakin benar akan nasabnya, kenapa harus berkelit dan ribet dengan pembahasan ilmiah. Dan ironisnya ‘konon’ ada lobby-lobby khusus dari mereka agar jangan mengusik nasab mereka serta menggunakan tangan aparat agar acara Seminar Internasional itu dibatalkan. Padahal pembicara dari Luar Negeri sudah hadir dan menyiapkan segala makalah ilmiahnya.
Andai memang benar bahwa pembatalan itu dilakukan oleh aparat resmi dan berwenang, atas alasan apakah hal tersebut mereka lakukan?
Bila demi alasan keamanan, bukankah itu tugas mereka sebagai aparat bagian keamanan?
Maka wajar bila ada pertanyaan, dimanakah keberpihakan aparat negeri ini terhadap keresahan publik yang semakin meluas terhadap kejahatan klan Ba’alwi?
Berdiri di sisi manakah aparat negeri ini terhadap kejahatan yang jelas-jelas nyata mengancam 4 Pilar Kebangsaan kita tersebut?
Serta bagaimana mungkin di alam demokrasi dan hukum sebagai panglima ini, negara akan kalah oleh kaum radikalis yang rasis? Bukankah itu acara ilmiah bukan kriminal, bukankah itu suara para cendekiawan yang setia kepada 4 pilar Kebangsaan?
Semoga tidak ada gemerincing uang yang bermain di balik anomali ini !!!
Kita patut miris dengan semua kejadian terkini. Peristiwa dihancurkannya mobil Kyai NU dan juga berlogo NU, serta provokasi dengan ancaman pembunuhan di Karawang hingga saat ini begitu lambat penanganannya. Lalu kemana lagi, kita akan mencari tegaknya keadilan dan kepastian hukum bila tindak yang jelas-jelas anarkis itu dibiarkan?
Penulis khawatir, disumbatnya kebenaran ilmiah dan kebangkitan dari ketertindasan ini akan mengarah kepada reaksi yang semakin tak terbendung. Bahwa akhirnya publik yang sudah muak dengan ketidakadilan dan penindasan akan mengambil langkahnya sendiri. Rakyat yang makin sadar akan kepalsuan dan kesesatan, akan melakukan segala cara demi meluapkan ekspresi.
Bila cara yang ilmiah dibungkam, maka apakah harus memakai cara bar-bar?
Bila acara di kampus yang netral dan dihadiri kaum cerdik-pandai dibredel, apakah harus dilakukan cara-cara jalanan dan memakai kekuatan fisik?
Semakin lama negara absen, maka negara tak ubahnya sedang menyiapkan banyak peti mati bagi rakyatnya.
Dan rakyat yang muak bisa saja meletupkan Revolusi Sosial. Karena segala persyaratannya telah lengkap :
1. Adanya ketidak-adilan dan penindasan.
2. Terjadi secara nyata dan massif dirasakan oleh mayoritas rakyat. (Dalam hal ini Klan Ba’alwi melakukan banyak kejahatan dalam konteks Keagamaan dan Kebangsaan)
3. Adanya pembiaran dan ketidakmampuan negara dalam melindungi rakyatnya.
4. Munculnya kaum intelektual dan kaum terdidik yang bangkit kepeduliannya.
5. Menyatunya amanat penderitaan rakyat yang sejalan dengan semangat perubahan.
Sesungguhnya, kita sedang memasuki fase ujian. Dimana Vox Populi Vox Dei, sedang melawan Vox Argentum, Vox Diaboli. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, melawan Suara Gemerincing Uang adalah Suara Setan !!!
Sesungguhnya kita sangat cinta damai. Tetapi tentu saja, kita jauh lebih cinta kemerdekaan !!!
Wassalam, Rahayu Nusantaraku, Merdeka !!!
(KRAT. Faqih Wirahadiningrat, Awal Bulan Maulid Nabi 1446 H)