Oleh : Sujaya, S. Pd. Gr.
Saya membaca status di media sosial dari seorang Kreatif Digital Eni Rachmawati (Enjoy) sehari lalu yang mengungkapkan fenomena siswa SD yang masih belum lancar membaca dan bahkan tidak bisa membaca. Banyak siswa hingga diterima SMP yang tidak bisa membaca dan bahkan tidak tahu huruf alphabet.
Ternyata fenomena ini hampir terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Tentu saja fenomena ini mengagetkan banyak orang terutama yang berprofesi sebagai guru di tingkat SMP. Tapi ini fakta yang mesti disikapi oleh kita. Kalau hanya satu atau dua siswa barangkali masih bisa dimaklumi. Tetapi ini hingga hampir 30-an siswa dalam satu sekolah yang tercatat tidak bisa membaca.
Faktanya kasus di sekolah kami juga begitu. Setiap tahun penerimaan siswa baru selalu menemukan puluhan siswa belum bisa membaca dan bahkan membaca atau mengeja alfabet sekalipun.
Sampai kami punya pengalaman dari seorang oknum guru yang menuduh Panitia PPDB dianggap tidak becus saat menerima siswa. Tidak bisa membaca namun diterima dalam seleksi PPDB. Sehingga masalah hasil PPDB. Rupanya masih belum beres urusannya. Padahal panitia sudah selesai melaporkan hasilnya sesuai prosedur kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan melalui Kabid SMP dan secara resmi sudah ditandatangani pejabat berwenang.
Akhirnya jadi masalah krusial. Masalah dan kisruh justru akhirnya di internal sekolah sendiri, oknum panitia yang kurang paham fenomena ini. Hingga esai ini ditulis, urusan siswa tidak bisa membaca terus diungkit. Katanya, mengapa siswa tak bisa membaca tetaoi diterima ? Demikian Katanya. Dalam hal ini oknum guru tersebut masih menuduh bahwa Panitia PPDB tidak becus dalam penerimaan siswa baru yang tidak bisa dan tak lancar membaca diterima dalam seleksi PPDB.
Hingga Ketua Panitia PPDB mengatakan,
” Kerja kami semua sudah sesuai Prosedur dan Juklak. Semua sudah dilaporkan dan ditandatangani pihak Dinas Pendidikan. Jadi masalah ini sudah selesai dan Panitia sudah mempertanggung jawabkan kepada Kepala Sekolah dan Panitia sudah resmi dibubarkan. Artinya masalah bukan urusan Panitia lagi.”
Namun di lapangan rupanya anggota Panitia merasa kesal. Karena merasa terus diungkit karena dianggap melakukan suatu kesalahan besar. Anehnya oknum tersebut yang berkata demikian sebenarnya ada dalam jajaran Panitia, ini sangat aneh dan kontra produktif kata sumber dari anggota panitia yang tak mau disebut namanya. Ini sekedar cerita pengalaman kami sehubungan dengan kasus siswa yang tidak bisa membaca.
Hingga terjadi pembahasan serius. Seorang guru yang bijaksana mengungkapkan solusinya agar wali kelas VII mendata siswa yang tidak bisa membaca dan diperintahkan agar memberikan bimbingan les membaca dan berkoordinasi dengan orang tua atau wali muridnya.
Dia juga berharap agar guru SD untuk memperhatikan siswanya yang belum bisa membaca. Karena di SD waktunya cukup lama yaitu enam tahun. Sehingga banyak waktu untuk membimbing siswa bisa membaca