Atraksi Tradisi Tumpeng Sewu Masyarakat Osing Desa Kemiren.

Banyuwangi-menaramadinah.com, Desa Kemiren, kembali menggelar tradisi Tumpeng Sewu yang dilakukan setiap bulan haji atau bulan Dzulhijah. Pada tahun 2024, tradisi ini diadakan pada Minggu 9 Juni 2024, dan diikuti oleh ribuan warga yang memadati jalan utama desa Kemiren dengan berjalan kaki sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi warisan nenek moyang mereka.Tumpeng Sewu digelar setiap tahun seminggu sebelum Idul Adha.

Sejak pukul 18.00 WIB, jalan utama menuju Desa Adat Kemiren ditutup untuk menghormati ritual adat ini. Masyarakat yang berkunjung harus berjalan kaki.
Desa Kemiren, yang terletak di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, kembali menggelar tradisi Tumpeng Sewu yang dilakukan setiap bulan haji atau bulan Dzulhijah. Pada tahun 2024, tradisi ini diikuti oleh ribuan warga yang memadati jalan utama desa Kemiren dengan berjalan kaki sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi warisan nenek moyang mereka.
Masyarakat Suku Osing di Desa Kemiren Banyuwangi menggelar ritual adat Tumpeng Sewu. Suku Osing adalah suku asli Banyuwangi. Tumpeng Sewu ini merupakan tradisi turun temurun makan bersama dengan menggelar seribu tumpeng di pinggir jalan.

Dalam tradisi Tumpeng Sewu ini, seluruh warga Desa Kemiren menyuguhkan makanan khas mereka, pecel pitik, sambil menyapa para tamu yang datang untuk menikmati hidangan tersebut. Tradisi Tumpeng Sewu dinamai demikian karena melibatkan banyak hidangan nasi tumpeng. Tradisi ini menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang ingin menyaksikan bagaimana masyarakat Kemiren menjalankan kenduri massal di tepi jalan desa.

Orang-orang duduk bersila di atas tikar atau karpet yang tergelar di halaman rumah, tepat di tepi jalan. Beberapa obor dinyalakan untuk menciptakan cahaya temaram.

“Ini merupakan wujud syukur kami kepada Tuhan, dan doa agar kami selalu diberi keselamatan dan dihindari dari bala,” jelas Kepala Desa Kemiren, Muhammad Arifin.

Prosesi ritual dimulai pada pagi hari dengan tradisi menjemur kasur berwarna khas merah hitam di depan rumah masing-masing. Tradisi ini memiliki makna filosofis untuk membersihkan rumah dan energi negatif dengan mengusir warna hitam, sementara warna merah melambangkan semangat dan keberanian dalam menjalani kehidupan. Kasur tersebut juga memiliki makna yang mendalam sebagai pemberian orang tua kepada anak gadis yang akan menikah.

“Kasur kembali dimasukkan ke dalam rumah masing-masing sekitar pukul 13.00 WIB setelah dianggap bersih,” kata Arifin.

Dalam ritual ini, warga menyuguhkan ribuan tumpeng di sepanjang jalan. Dilengkapi lauk khas osing, pecel pithik dan sayur lalapan sebagai pelengkapnya. Pecel pitik merupakan hidangan ayam kampung panggang dengan parutan kelapa dan bumbu khas Osing. Menu ini wajib ada dalam setiap tumpeng masyarakat Osing.

Usai salat magrib, ritual ini mulai dilangsungkan. Warga dan pengunjung duduk bersila di atas tikar yang digelar di depan rumah rumah-rumah warga. Suasana guyub, kebersamaan dan keakraban semakin terasa dengan pencahayaan api dari obor. Meskipun banyak yang baru kali pertama bertemu

Sebelum menyantap tumpeng, iring-iringan barong cilik dan barong lancing melakukan Ider Bumi dengan melintasi jalan desa. Barong diarak dari dua sisi timur dan barat, lalu bertemu di titik utama di depan Balai Desa Kemiren. Setelah itu, warga diajak berdoa bersama agar dijauhkan dari bencana dan penyakit.

Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Taufik Rohman, mengatakan, tradisi dan budaya turun-temurun di Banyuwangi terus tumbuh dan berkembang, hingga menjadi atraksi wisata yang diminati wisatawan.

Saat ini banyak atraksi budaya di Banyuwangi menjadi paket wisata travel agent. Salah satunya Tumpeng Sewu ini.

“Kekhasan semacam ini banyak diminati wisatawan. Wisata tradisi ini juga bisa memperpanjang lama tinggal wisatawan di Banyuwangi,” ujarnya.

Sementara menurut Suhaimi, sesepuh Desa Kemiren, Tumpeng Sewu adalah tradisi adat suku Osing, suku asli masyarakat Banyuwangi, yang dilaksanakan pada awal Idul Adha.

“Kami terus melestarikan adat dan tradisi budaya yang sudah berusia ratusan tahun. Semoga kegiatan ini menjauhkan warga Kemiren dari mara bahaya,” pungkas Suhaimi.(Rishje)