
Mitos malam satu Suro sebagai malam keramat hanya terjadi di Indonesia, asal muasal keramatnya malam satu suro berawal dari tradisi Jawa.
Hingga sekarang, sebagian masyarakat masih menganggap bulan suro adalah bulannya para dedemit yang berpesta pora, benarkah demikian ?
Babad Tanah Leluhur mengatakan, bulan Suro tidak baik untuk melaksanakan prosesi pernikahan dengan alasan banyaknya gangguan yang bisa datang.
Mitologi bulan Suro tidak semuanya valid tapi juga tidak semuanya salah, sebab Indonesia sejak dulu memiliki tradisi kejawen yang terkenal.
Jaman kerajaan dulu, bulan Suro di manfaatkan untuk pensucian, baik membersihkan pusaka (jamasan) hingga membersihkan diri (ruwatan).
Ubo Rampe perlengkapan sesajen yang biasanya terdiri dari tumpeng kuat, degan ijo, kembang setaman, sejatinya memiliki filosofi yang agung.
Jika budaya barat mengenal tentang acara ulang tahun, Indonesia sudah mengenal ritual sesajen pada hari/bulan tertentu dari jaman dahulu.
Tumpeng kuat melambangkan manusia yang taat beragama, degan ijo (kelapa muda) melambangkan kesucian dan kembang melambangkan keberagaman.
Filosofi Tumpeng Kuat sebagai simbol orang taat beragama, karena sejatinya manusia butuh makanan jasmani dan makanan rohani.
Filosofi Degan Ijo sebagai simbol kesucian, karena air kelapa itu bersih dari kotoran, salah satu air bersih yang tidak terjamah tangan.
Filosofi Kembang Setaman sebagai simbol keberagaman, karena harumnya bunga yang berbeda-beda saat dicampur jadi satu, tetap mengharumkan.
Lalu, apa hubungannya dengan bulan suro sebagai bulannya para dedemit? Dalam sudut pandang yang berbeda, mitologi ini memang di benarkan.
Riwayat mengatakan, salah satu makanan makhluk halus adalah aroma, termasuk aroma kopi pahit kopi manis dan aroma bunga tentunya.
Apa yang terjadi saat para Raja dan Rakyatnya menggelar ritual sesajen dimana-mana? jelas, dedemit akan berpesta pora, inilah mitosnya.
Semua ini adalah bentuk keadilan dari Sang Maha Pencipta, segala makhluk ciptaannya di beri kebahagiaan, tanpa kecuali hewan dan tumbuhan.
Orang berpandangan terlalu modern, menganggap “bunga” adalah sesuatu yang horror, padahal semua orang menggunakannya setiap hari.
Extra bunga di parfum, shampo, sabun, pengharum ruangan dll, siapa yang pakai? taman tak berbunga apanya yang indah? Tuhan Maha Segalanya.
Kesaktian filosofi bunga memang tak tertandingi, fisik setangkai bunga mawar apa gunanya? Tapi filosofinya mampu membuat pasangan bahagia.
Nah, sebelum SPA populer, kita sudah mengenal “Siraman” calon pengantin yang mandikan bunga sebelum ijab qobul.
Leluhur kita mengajarkan ritual tumpengan adalah bentuk dari gotong royong, keharmonisan dan kerukunan yang sudah mulai jarang di ibukota.
Mengadili sesuatu hanya dari sudut pandang yang negatif bukan menciptakan keharmonisan tapi menimbulkan pergolakan, ini tidak di bolehkan.
Padahal alangkah indahnya duduk sama rendah sambil menikmati makanan bersama, saling sendau gurau, sungguh sangat harmonis sambil mengucapkan:
Selamat Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1441H, mari jadikan bulan Suro ini sebagai moment untuk membersihkan jiwa dari amarah dan segala angkara murka.
Totok Budiantoro
Koresponden MM.com