Catatan Drs. Husnu Mufid, M PdI Alumni FKIP Pendifikan Sejarah Universitas Jember.
Sejak Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Madura pada abad 18 M pasca Perang Diponegoro dan bangkrutnya VOC. Kondisi sosial dan budaya serta tradisi Suku Madura mulai berubah.
Warga Madura banyak yang dibawa ke Jawa untuk diperkirakan di perkebunan perkebunan milik Belanda. Karena orang orang Jawa santri tidak mau bekerja kepada Belanda.
Oleh karena itulah, banyak orang Madura yang bekerja di PekebunanTebu dan Pabrik Tebu. Seperti di Jember. Malang, Blitar. Pasuruan. Probolinggo. Bondowoso, Banyuwangi, Situbondo dan perkebunan lainnya.
Mereka dipersenjatai Clurit. Karena kedudukannya sebagai mandor dan pekerja biasa. Tujuannya untuk membedakan senjata dari penjajah Belanda dan pribumi pemberontak Belanda yang bersenjatajan keris dan pedang.
Senjata Clurit yang berasal dari Belanda itu sebagai tanda orang Madura yang ikut Belanda. Jadi bukan asli senjata orang Madura bagian barat yaitu Bangkalan dan Sampang.
Ketika Sadiman atau lebih dikenal dengan nana Sakera mendor perkebunan Bangil Jawa Timur melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Sejak saat itulah Clurit semakin terkenal sebagai senjata yang sangat bagus kala itu.
Akibat perlawanan Sakerah inilah Belanda khawatir terjadi senjata makan tuan Dimana nantinya akan melakukan pemberontakan kepada Belanda menggunakan senjata Clurit
.Oleh karena itu, dengan akal liciiknya penjajah Belanda menjadikan Clurit sebagai senjata kriminal untuk menakut nakuti warga pemilik tanah agar menjual dengan harga mudah. Yang nantinya dijadikan perkebunan tebu.
Selain. Itu, Clurit digunakan untuk membunuh sesama Suku Madura dalam tanding satu lawan satu dalam soal mempertahankan harga diri. Khususnya soal perebutan wanita. Pertarungan satu lawan satu itu terkenal dengan sebutan Carok.
Hal ini sengaja ditanamkan penjajah Belanda pada orang orang Madura yang bekerja di Perkebunan Tebu dan Pabrik Tebu. Mereka adalah para Blater yang pro Belanda.
Kemudian tradisi dan budaya Carok itu berkembang di Madura Khususnya di Bangkalan dan Sampang. Yang mambawa para Blater dan mendapat dukungan Belanda.
Untuk lebih menguatkan tradisi dan Budaya Carok. Maka Belanda mengajarkan jargon filsafat : Poteh Mata Poteh Tolang artinya dari pada malu lebih baik berhalangan tanah.
Rupanya Belanda berhasil mentransformasi budaya Carok dan Jatgon Poteh Mata Potih Tulang kepada para Blater yang Pro Belanda. Sehingga tidak ada perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Tapi mereka saling bunuh sesama saudaranya sendiri di Pulsu Madura.
Tradisi dan Bidaya Carok menggunakan Clurit hingga kini masih dijalankan di Pukau Madura. Padahal bukan budaya dan tradisi Suku Madura. Terapi budaya dan Tradisi Belanda. Mengingat di negeri Belanfa zaman dahulu tradisi berkelahi satu lawan satu sangat membudaya.