Sejarah Selalu Mampu mengulang Kisahnya sendiri.

Penulis : Arif Mahdi, Pojok Baca Nahdliyin.

Jamak diketahui dan difahami bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah lahir sebagai Aliran yang “berhadap hadapan” secara langsung dengan beragam aliran lain khususnya dengan Aliran yang Ekstrem dalam Beragama ( Tathorruf). Ahlussunnah Wal Jamaah bukan Aliran yang terlalu dominan dibawah Nash Agama hingga ( Hampir) menafikan posisi Akal. Ahlussunnah wal Jamaah juga tidak terlampau ” Mendewa dewakan ” Posisi Akal hingga menafikan posisi akal dibawah Nash.

Salah satu Aliran yang berhadapan secara langsung dengan Ahlussunnah wal jamaah pada saat itu adalah Mu’tazilah, Sebuah Aliran dalam Islam yang dikenal dengan Kelompok yang lebih memilih mendominankan peran akal dibandingkan dengan ” Tunduk ” Secara Dzahir pada Nash atau Teks Teks Agama ( Al Milal, I/48 ). Aliran ini menurut kisahnya lahir dari peristiwa dimana Washil Bin Atha’ beserta Amr bin ubaid mengikuti Pengajian yang diasuh oleh Hasan Basri di sebuah Masjid di Basrah. Seseorang tiba-tiba mendatangi Hasan Basri dan kemudian bertanya tentang pelaku dosa besar. Apakah Pelaku dosa besar tersebut bisa digolongkan ke dalam Kaum Kafir atau Mukmin? Saat Hasan Basri belum menjawab pertanyaan yang diajukan padanya,Washil tiba-tiba menyela.Washil menjawab bahwa Pelaku dosa besar tersebut bukanlah Mukmin dan bukan pula Kafir.Ia ada dalam Posisi di Tengah Tengah diantara keduanya ( Manzilah Baynal Manzilatain).Setelah menjawab, Washil dan kawannya kemudian berlalu.Hasan Basri melihat Washil berlalu kemudian berkata bahwa Mereka telah menjauh dari Kita ( I’tazala Anna). Dari peristiwa ini menurut Syahrastani yang menjadi awal penamaan Pengikut Washil sebagai Mu’tazilah.

Mu’tazilah kemudian berkembang dan menjadi Aliran paling dominan terutama saat Daulah Bani Abbasiyah menjadi Penguasa.Pengakuan Khalifah Al Ma’mun yang menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Resmi Negara makin memperkuat posisinya.Kekuatan Mu’tazilah yang mendominasi Hampir seluruh Wilayah Negara ternyata memupuk Rasa Sombong mereka.Dalam usahanya untuk makin memperkuat posisinya, Mu’tazilah tak ragu untuk melakukan penindasan dan kekerasan terhadap Mereka yang dianggap berbeda.Salah Satu keyakinan Mu’tazilah adalah terkait posisi Al Quran yang menurut Mereka tidak bersifat Qadim namun baru dan diciptakan.Menolak Keyakinan Mu’tazilah ini sama dengan Kafir dan ini artinya Layak untuk dibunuh.

Terinspirasi oleh Ajaran Mu’tazilah ini, Al Ma’mun sebagai Khalifah memerintahkan Aparatnya untuk mengadakan ujian terhadap para Tokoh Tokoh Agama.Ia memerintahkan Gubernurnya di Tiap Daerah untuk mendata para Tokoh di wilayahnya dan menguji mereka.

Tarikh Thabari menuliskan secara menarik peristiwa ini. Sebuah Peristiwa yang kelak dikenal dengan nama Peristiwa Mihnah.Salah satu Ujian yang terjadi adalah saat Gubernur Iraq bernama Ishaq Bin Ibrahim menguji Ahmad Ibn Hanbal, Salah satu Imam Madzhab dalam Ahlussunnah wal jamaah yang diakui dan dihormati.Dialog tersebut direkam oleh Thabari.

Ishaq : Wahai Ahmad Ibn Hanbal,Apa pendapatmu tentang Al Quran?

Ibn Hanbal : Ia adalah Firman Tuhan.

Ishaq : Ia diciptakan?

Ibn Hanbal : Firman Tuhan dan Mohon maaf wahai Paduka, Saya tak bisa berbicara lebih dari Apa yang saya yakini.

Ishaq : Apa makna Kalimat Allah Maha Mendengar ( Sami’) dan Maha Melihat ( Basir)?

Ibn Hanbal : Tuhan mensifatkan diriNYA sendiri.

Ishaq : Maksudmu apa?

Ibn Hanbal : Tidak Tahu.Menurut Saya, demikianlah Tuhan mensifati diriNYA sendiri.

Dialog terus terjadi hingga kemudian Sebagaimana diketahui Imam Ahmad Ibn Hanbal disiksa karena menolak Keyakinan Mu’tazilah.

Zaman terus berganti dan Waktu terus berputar namun satu hal yang sama adalah bahwa Kekuasaan terkadang mampu melenakan siapapun termasuk Mereka yang ( Konon) menjadi Wadah Para Pengikut Ahlussunnah wal Jamaah.

NB : Foto Hanya Pemanis.