Catatan Tentang Turnamen Golf Kauje: Emir, Amir atau Amin?

 

Oleh :  Bambang Asrini, anggota Kauje biasa, alumnus Unej dan relawan AMIN.

Mendengar informasi tentang gebyar Turnamen Golf Kauje di akhir tahun sekaligus program akhir kepengurusan Kauje, Keluarga besar Alumni Universitas Jember, kita patut mengelus dada. Sebab itu jelas-jelas program elitis dan sama sekali bukan kerja-kerja populis. Selain itu, tentunya layak diacungi jempol kerja keras tim panitia juga meski sedikit saja, maksudnya “cuman satu jari saja”. Hanya “satu jempol dibanding empat jari lainnya”.

 

Tahun politik mau tidak mau membuat kita bersama terjaga, sebab negeri yang dibangun dengan fundamen demokrasi sebagai janji kemerdekaan 1945 tak sedang dalam kondisi baik-baik saja. Sebagai sebuah entitas masyarakat madani, Kauje selayaknya bersikap untuk membuat pernyataan politik meneropong hal-hal yang bersifat ketimpangan-ketimpangan sosial-politik.

Semisal sebagai sebuah kelompok, Kauje yang semestinya mengontrol jalannya Pemilu agar mengumandangkan para penguasa dan penyelenggara Pemilu tetap Jurdil, jargon lawas tentang: Jujur dan Adil.

Bagaimanapun, Kauje adalah cawan intelektualitas kolektif masa lampau dan tetap diinginkan kiprahnya secara riil dalam hidup. Dalam hal ini, adalah tempat emosi dan memori membayang di Universitas Jember dan juga kewajiban-kewajiban hari ini bagi sekumpulan alumni yang aktif. Memang tak mudah, apalagi menggagas dan mengeksekusi sebuah program-program kerja tanpa berurusan dengan status jabatan kita dan kepentingan-kepentingan diri —vested interest dalam kehidupan politik—, tapi kegiatan tetap harus digulirkan.

Kita masih ingat, bahwa tatkala masih mahasiswa para calon intelektual dituntut untuk memberikan  dan bertindak kelak sebagai agent of change, agen perubahan, sebuah organ dalam masyarakat untuk tetap kritis atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Saat ini, ingatan tentang agent of change pelan-pelan menghilang.

Posisi Emir dan Amir serta Amin

Sebagai agen perubahan, selayaknya kita bersama mampu selalu bersikap selalu critical, bukannya melanggengkan hal-hal secara kognitif bertentangan dengan bekal yang kita terima sejak masa kuliah. Sebagai alumnus Unej mau tak mau, kita dituntut untuk menjadi “Pemimpin” bukan “Penguasa” dalam paradigma masyarakat madani, yakni civil society. Baik secara personal pun kolektif—organisasi Kauje.

Emir dalam konteks arti harfiah adalah paras sang elit. Pemegang mandat kuasa, yakni penguasa yang berarti adalah keturunan bangsawan atau raja yang sabdanya adalah dianggap sakral. Lidahnya api alias penerapan aturan hukum secara absolut, dari yang diterima memegang tampuk kuasa karena keturunan darah.

Tapi Amir tidak begitu dan berlawanan sama sekali. Amir adalah pemimpin, yang mana memberi tauladan, menciptakan inspirasi dan mendukung masyarakat dari belakang pun di depan untuk menjadi agen utama menjaga perubahan kearah lebih baik. Menjadikan kelompok masyarakat yang sadar akan kewajiban dan hak-nya. Amir karakternya adalah mendorong memajukan diri dan seluruh komponen didalamnya secara dialektis.

Seorang Amir mewadahi kelompok Kauje menjadi kekuatan untuk menyuarakan suara-suara lirih yang tertindas, memberi ruang-ruang untuk tetap mandiri bersikap kritis tatkala kekuasaan dan hukum “yang telah diatur” membela sang elit. Juga Kauje adalah gambaran Amir yang waspada akan selalu adanya ketidakadilan dalam konteks tak hanya Politik namun Epoleksosbud.

Jika Emir menentukan, misalnya dalam dinamika politik adalah kemampuan “segerombol” kekuasaan yang dipegang penguasa di legislatif untuk menciptakan aturan-aturan yang tak adil—misalnya Omnibus Law– atau sekelompok orang dalam wilayah eksekutif dengan sengaja mendukung Presiden agar “cawe-cawe” memilih putranya menjadi Calon Presiden dalam Pemilu 2024 adalah bukti benar-benar gamblang, bahwa mereka mewarisi sikap Emir. Raja yang tak mendengar suara-suara keadilan.

Tahun politik seharusnya disikapi oleh entitas seperti kauje lebih agresif dan mau untuk berpihak. Suara-suara untuk mengontrol karakter Emir wajib disikapi dengan sikap Amir yang pro perubahan dan keinginan untuk memajukan kehidupan masyarakat dan memilih calon pemimpin yang paling jelas track-recordnya selama menjabat atau calon pemimpin 2024 yang jelas-jelas tak bermasalah di masa lalunya. Setidaknya, menjaga Pemilu 2024 agar fairness, JURDIL.

Tak lupa, jika Pemilu 2025 saat kampanye, Kauje wajib mendorong Bawaslu dan KPU untuk menjaga kompetisi berlandas visi dan misi pun gagasan-gagasan jenial sang Capres dan imbauan untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan Hoaks para Buzzer. Ada sejumlah hal yang patut dikerjakan di tahun politik ini oleh kauje.

Kembali pada Golf, meskipun kita semua tahu, bahwa Turnamen Golf yang disiapkan pada Desember ini dengan segala kekurangan pun kelebihannya, sebagai program pamungkas kepengurusan Kauje, semoga semata-mata telah ditimbang sebagai tindakan dari kecenderungan-kecenderungan para “Amir” bukannya “Emir”.

Yang jelas, saya sebagai personal memilih untuk berkata AMIN saja. Sebab Amin bisa bermakna semoga Gusti Allah SWT meridhoi selalu apa yang kita kerjakan plus doa-doa kita, juga sebagai hak warga negara untuk memilih pasangan Capres AMIN, pasangan pemimpin cerdas, adil dan amanah dalam Pemilu 2024 kelak. AMIN.

 

Tabik dan Salam Hangat.

 

Bambang Asrini, anggota Kauje biasa, alumnus Unej dan relawan AMIN