Problematika Momok Rokok di kalangan remaja dan Anak Sekolah serta Antisipasinya

 

Oleh : H. Sujaya, S.Pd.
Coach Komunitas Cita Rasa Kebaikan Pelajar (CAKEP) Chapter lndramayu Jawa Barat

Fenomena Momok Rokok di kalangan remaja yang makin mengkhawatirkan membuat para pemegang kebijakan dari WHO, Presiden Rl, Kemenkes, Kemendikbud hingga sekolah berupaya menekan angka peningkatan penggunaan rokok di kalangan remaja di sekolah.

Menurut data Kemenkes menyebutkan bahwa prevalensi merokok pada remaja usia 10 hingga 18 tahun terus meningkat. Berdasarkan data terakhir, persentase remaja usia tersebut yang merokok adalah 9 persen.

Diperkirakan, jumlah perokok remaja akan meningkat sebesar 15 persen pada 2024. Data tersebut menunjukkan 71 persen remaja membeli rokok ketengan dan 60% saat remaja membeli, tidak ada larangan dan 78 persen terdapat penjualan rokok di sekitar sekolah dan mencantumkan harga ketengan.

Dalam hal ini Kemendikbud untuk menekan angka merokok di kalangan remaja usia sekolah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah mencanangkan kawasan larangan rokok atau tanpa rokok di lingkungan sekolah. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015. Namun kenyataannya angka prevalensi merokok di kalangan remaja anak sekolah terus meningkat.

Sementara itu World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada Selasa (26/9/2023), telah meminta kepada negara-negara di seluruh dunia agar melarang rokok dan vape di sekolah untuk melindungi generasi muda.
Menurut pernyataan WHO, Industri tembakau tanpa lelah menyasar kaum muda, sebab 9 dari 10 perokok mulai merokok sebelum usia 18 tahun, seperti yang ditekankan dalam pedoman dan perangkat baru untuk membantu melindungi kesehatan anak selama masa kembali ke sekolah di banyak Negara. Produk-produk rokok juga dibuat lebih terjangkau bagi kaum muda melalui penjualan rokok sekali pakai atau rokok elektronik yang biasanya minim peringatan kesehatan.

Direktur promosi kesehatan WHO, Ruediger Krech mengatakan bahwa baik ketika duduk di dalam kelas, bermain di luar ruangan atau menunggu di halte bis, kita harus melindungi anak-anak dari asap rokok yang mematikan dan emisi vape yang beracun serta iklan yang mempromosikan produk-produk ini.

Pedoman dan perangkat WHO tersebut merupakan buku petunjuk bagi sekolah-sekolah untuk membuat lingkungan mereka bebas nikotin dan tembakau. Di dalamnya ada petunjuk satu per satu tentang cara-cara mencapai tujuan itu, dengan menggunakan pendekatan “seluruh kegiatan sekolah” yang melibatkan guru, staf, murid, wali murid dan juga pihak lainnya.

Selain melarang zat nikotin dan tembakau di kawasan sekolah, pedoman itu juga menekankan tiga cara lain untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi kaum muda. Pertama, melarang penjualan produk nikotin dan tembakau dekat sekolah.
Kedua, melarang produk dan iklan nikotin dan tembakau baik secara langsung maupun tidak langsung di dekat sekolah.
Ketiga menolak dukungan (sponsor) atau keterlibatan industri tembakau dan nikotin.

Apa itu Tembakau dan Rokok ?
Disebutkan, pasal 149 ayat (1), (2), dan (3) pada RPP yang sedang digodok tersebut menetapkan, definisi zat adikftif adalah produk yang mengandung tembakau atau tidak mengandung tembakau, berupa rokok atau bentuk lain bersifat adiktif yang dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/ atau masyarakat di sekelilingnya dan dapat berbentuk padat, cairan, dan gas.
Produk tembakau adalah setiap produk yang seluruh atau sebagian terbuat dari daun tembakau sebagai bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dipanaskan, diuapkan, dihisap, dihirup, dikunyah, atau dengan cara konsumsi apa pun.

Rokok elektronik adalah hasil tembakau dan/ atau nikotin dan/ atau bahan lain berbentuk cair, padat, atau bentuk lainnya yang berasal dari pengolahan daun tembakau maupun bahan lainnya yang dibuat dengan cara ekstraksi atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya yang disediakan untuk konsumen akhir dalam kemasan penjualan eceran, yang dikonsumsi dengan cara dipanaskan menggunakan alat pemanas elektronik kemudian dihisap.

Solusi dan Antisipasi
WHO mengeluarkan panduan baru bagi sekolah untuk menciptakan lingkungan bebas nikotin dan tembakau. Panduan ini menyoroti empat cara untuk menumbuhkan lingkungan bebas nikotin dan tembakau bagi generasi muda termasuk:
-Pelarangan produk nikotin dan tembakau di kampus sekolah
-Melarang penjualan nikotin dan produk tembakau di dekat sekolah
-Melarang iklan langsung dan tidak langsung serta promosi nikotin dan produk tembakau di dekat sekolah
-Menolak sponsorship atau keterlibatan dengan industri tembakau dan nikotin.

Berdasarkan laporan WHO, negara-negara yang sukses menerapkan kebijakan untuk mendukung lingkungan sekolah dan kampus yang bebas nikotin dan tembakau versi WHO, lndonesia termasuk diantara yang berhasil dalam menekan penggunaan rokok, di samping negara lainnya yaitu India, Irlandia, Kyrgyzstan, Maroko, Qatar, Suriah, Arab Saudi dan Ukraina.

Dikabarkan Pemerintah tengah bersiap menerbitkan peraturan baru terkait pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau. Rencananya, ketentuan itu diatur dalam produk hukum turunan Undang-undang (UU) No 17/2023 tentang Kesehatan.
Mengutip paparan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam Public Hearing RPP UU Kesehatan tentang Penanggulangan PTM, Kesehatan Penglihatan & Pendengaran, Zat Adiktif, draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU Kesehatan itu memuat sejumlah pasal yang mengatur pengendalian produk tembakau dan rokok elektronik.

Mulai dari tujuan pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau dan rokok elektronik, pengaturan impor dan produksi termasuk penetapan kadar nikotin, tar, dan zat terkandung lainnya, ketentuan soal desain dan informasi pada label kemasan, aturan soal mendukung kampanye pengendalian rokok, peran pemerintah pusat, daerah, hingga masing-masing kementerian dan lembaga, hingga pengaturan soal iklan, termasuk sponsorhip.

Pasal 149 RPP itu juga menjelaskan tujuan penyelenggaraan zat pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau dan rokok elektronik, yaitu:
1. untuk menurunkan prevalensi perokok dan mencegah perokok pemula
2. meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya merokok dan manfaat hidup tanpa merokok
3. melindungi kesehatan perseorangan, keluarga, dan masyarakat dari bahaya konsumsi dan/atau paparan zat adiktif berupa produk tembakau dan rokok elektronik yang dapat menyebabkan dampak buruk kesehatan, ekonomi, dan lingkungan
4. mendorong dan menggerakkan masyarakat untuk aktif terlibat dalam upaya pengendalian produk tembakau dan rokok elektronik.

Sementara Pasal 152 ayat (1) dan (2) mengatur soal pembinaan dan pengawasan, serta pencatatan dan pelaporan.

Di mana, pemerintah pusat dan daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik.
Serta, dapat memberikan sanksi administratif berupa:
1. teguran lisan
2. teguran tertulis
3. penarikan produk, dan/atau
4. rekomendasi penindakan kepada instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Substansi utama lainnya yang diatur dalam RPP itu adalah terkait peringatan kesehatan pada produk, yang diatur dalam pasal 150.
Disebutkan, setiap orang yang memproduksi atau mengimpor produk tembakau atau rokok elektronik wajib mencantumkan informasi memuat kandungan nikotin, tar, dan zat lain pada label kemasan, pernyataan dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan perempuan hamil, informasi kode produksi termasuk nama dan alamat produsen, serta pernyataan tidak ada batas aman dan mengandung lebih 7.000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 69 zat penyebab kanker untuk produk tembakau.

Selanjutnya, ketentuan soal standar kemasan, pencantuman peringatan kesehatan, dan informasi lainnya pada pasal 440, 443, dan 444 RPP tersebut, diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 152 RPP tersebut juga melarang mencantumkan harga jual, tidak menggunakan kartun atau animasi sebagai bentuk tokoh iklan, iklan di media cetak tidak boleh di halaman depan dan satu halaman dengan produk makanan dan minuman, tidak boleh dimuat di media cetak untuk anak, remaja, dan perempuan.

Serta, untuk iklan di televisi dan radio hanya boleh ditayangkan setelah pukul 23.00 sampai 03.00 waktu setempat.

Selain itu, pasal tersebut akan melarang produk tembakau dan rokok elektronik menjadi sponsor dalam kegiatan sosial, pendidikan, olah raga, musik, kepemudaan, kebudayaan, atau melibatkan masyarakat umum.

Dalam pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, tidak boleh memberikan secara gratis atau diskon atau pun hadiah produk tembakau dan rokok elektronik, serta tidak boleh dipublikasikan dan diliput oleh media.

Peran Sekolah
Dalam penelitian berjudul “Peran Sekolah dalam Mengatasi Perilaku
Merokok Siswa di Sekolah “, oleh Bayu Pranoto, dkk. dari Universitas Sebelas Maret Solo yang
dianalisis dengan menggunakan kerangka teori sistem yang dikembangkan oleh Talcott Parsons.

Didapatkan kesimpulan:
(1) Dipahami sebagai sebuah sistem, sekolah tersusun atas sub-sistem ekonomi, politik, dan sosial yang dijalankan oleh aktor dengan peran spesifik namun terkait satu sama lain;
(2) Pada hierarki birokrasi negara, sekolah adalah pelaksana kebijakan yang disusun oleh birokrasi di atasnya;
(3) Siswa perokok terbagi atas perokok aktif, meniru teman sebaya, coba-coba, dan untuk bergaya;
(4) Peran sekolah dalam mengatasi perilaku merokok siswa dijalankan oleh kepala sekolah, wakasek kesiswaan, guru BK/Konselor, dan guru wali kelas. Masih ditemukan beberapa celah yang membuat siswa dapat merokok di dalam maupun di luar sekolah seperti penjagaan dan pengawasan terhadap siswa yang kurang maksimal, tidak adanya pemberian bimbingan yang berkelanjutan, kerjasama dengan orang tua yang kurang intens, dan masih terdapat beberapa guru yang merokok di sekolah.

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan upaya berhenti merokok adolesens, di antaranya kondisi kesehatan mental, kebiasaan merokok pada teman sebaya atau anggota keluarga, tingkat stres, dan konsumsi alkohol serta obat-obatan terlarang. Faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan dalam memilih strategi terbaik untuk membantu adolesens berhenti merokok.

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perokok adolesens ingin berhenti dan mencoba berhenti dengan kemampuan sendiri, namun kebanyakan tidak berhasil. Setiap tahunnya, hanya 4 persen perokok usia 12 hingga 19 tahun yang sukses berhenti merokok. Mayoritas individu bahkan relaps dalam 2 hari setelah berhenti.

Apapun alasan adolesens memulai kebiasaan merokok, adiksi terhadap nikotin muncul dengan cepat. Rata-rata dibutuhkan 2-3 tahun untuk menjadi perokok rutin dengan adiksi terhadap nikotin.
Semakin besar adiksinya, semakin sulit adolesens berhenti merokok.

Berdasarkan penelitian Milton et al., prevalensi kesuksesan berhenti merokok pada remaja lebih kecil dibandingkan pada orang dewasa. Beberapa faktor penyebabnya antara lain:
– Adolesens cenderung meremehkan sifat adiktif nikotin, dan berpikir mereka dapat berhenti merokok kapan saja
– Upaya berhenti merokok pada adolesens umumnya dilakukan tanpa perencanaan
-Adolesens cenderung tidak meminta bantuan atau pendampingan pihak lain dalam upaya berhenti merokok
– Adanya ketergantungan pada rokok untuk mengendalikan suasana hati
– Kurangnya motivasi untuk berhenti
-Pengaruh dari lingkungan sekitar
-Konsumsi marijuana dan alkohol yang meningkat di kalangan anak muda. Kedua zat tersebut dapat mengurangi peluang kesuksesan berhenti merokok.

Penelitian menunjukkan bahwa adolesens tidak tertarik pada program berhenti merokok untuk dewasa. Selain itu, tidak ada cukup data penelitian mengenai program serupa bagi adolesens.

Hal lain yang menghalangi adolesens untuk mengakses program berhenti merokok adalah kurangnya pengetahuan mengenai program tersebut dan kekuatiran apakah program yang ada dapat memahami kebutuhan anak muda.

Secara garis besar, ada 2 macam strategi berhenti merokok untuk adolesens, yakni intervensi psikososial dan farmakologis. Ada pula intervensi yang masih bersifat eksperimental dan wacana mengenai peran rokok elektrik dalam upaya berhenti merokok.

Intervensi Psikososial
Menurut sebuah review Cochrane mengenai upaya berhenti merokok pada adolesens, intervensi psikososial dengan level of evidence tertinggi adalah konseling individu berupa motivational enhancement therapy dan cognitive behavioral therapy (CBT).

Motivational enhancement therapy menolong adolesens untuk mengklarifikasi tujuan dan kepercayaan mereka berkenaan dengan merokok. Kerangka kerja yang paling sering digunakan dalam motivational enhancement therapy adalah 5A (Ask-Advise-Assess-Assist-Arrange)
CBT untuk berhenti merokok mengajarkan adolesens cara-cara mengatasi gejala withdrawal dan mencegah relaps. CBT dapat dilakukan oleh dokter, psikolog, atau tenaga kesehatan lain yang terlatih, dan cukup efektif bagi adolesens.

Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis lini pertama untuk menghentikan kebiasaan merokok pada orang dewasa adalah terapi pengganti nikotin atau nicotine replacement therapy (NRT), bupropion, dan vareniklin. Namun, tidak ada cukup data berbasis bukti untuk merekomendasikan intervensi farmakologis tertentu bagi perokok adolesens. Selain itu, hampir semua intervensi farmakologis lini pertama ini tidak tersedia di Indonesia. Hanya vareniklin yang tersedia di Indonesia.
NRT bekerja dengan mengganti nikotin yang didapat dari rokok untuk mengurangi gejala withdrawal terkait berhenti merokok, sehingga membantu individu melawan dorongan untuk merokok.

Produk yang paling sering diresepkan adalah permen karet nikotin dan patch transdermal. Efek samping pada adolesens yang paling sering dilaporkan adalah iritasi mulut dan kulit serta peningkatan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah.
Vareniklin adalah agonis parsial reseptor nikotinik, sedangkan bupropion adalah antagonis reseptor asetilkolin nikotinik yang merupakan inhibitor reuptake dopamin dan norepinefrin. Kedua obat tersebut ditujukan untuk mengurangi craving/keinginan merokok, iritabilitas, dan gejala-gejala depresi.

Intervensi Eksperimental
Beberapa intervensi upaya berhenti merokok pada adolesens yang masih dalam tahap percobaan antara lain:
– program berhenti merokok di sekolah-sekolah
-intervensi berhenti merokok menggunakan pesan teks
-peer mentoring
-intervensi self-help berbasis digital.

Saat ini belum ada cukup data mengenai efektivitas intervensi tersebut, sehingga diperlukan kombinasi dengan konseling untuk memberikan hasil maksimal.

Referensi:
Dari berbagai sumber.