Catatan : St. Dzurrotun Nisa’ dkk & Yahya Aziz, Saefullah Azhari : Mahasiswi PIAUD & Dosen FTK Uinsa
Surabaya Menara Madinah Com.
Inilah kelompok penelitian kami :
Zahrotun Nafisah (06040923099)
St. Dzurrotun Nisa’ (06020923053)
Dhina Armeilia Ferissa (06040923062)
Ke 3 mahasiswi ini dibimbing langsung oleh Bapak Yahya Aziz & Saefullah Azhari Dosen FTK Uinsa riset penelitian dalam mata kuliah Pancasila & Bahasa Indonesia.
Riset penelitian kami tentang lembaga pendidikan islam ; pondok pesantren Sidogiri Pasuruan.
Alas Sidogiri dibabat oleh seorang Sayyid dari Cirebon Jawa Barat bernama Sayyid Sulaiman. Beliau adalah keturunan Rasulullah dari marga Basyaiban. Ayahnya, Sayyid Abdurrahman, adalah seorang perantau dari negeri wali, Tarim Hadramaut Yaman. Sedangkan ibunya, Syarifah Khodijah, adalah putri Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Dengan demikian, dari garis ibu, Sayyid Sulaiman merupakan cucu Sunan Gunung Jati. Sayyid Sulaiman membabat dan mendirikan pondok pesantren di Sidogiri dengan dibantu oleh Kiai Aminullah.
Kiai Aminullah adalah santri sekaligus menantu Sayyid Sulaiman yang berasal dari Pulau Bawean. Konon pembabatan Sidogiri dilakukan selama 40 hari. Saat itu Sidogiri masih berupa hutan belantara yang tak terjamah manusia dan dihuni oleh banyak makhluk halus. Sidogiri dipilih untuk dibabat dan dijadikan pondok pesantren karena diyakini tanahnya baik dan berbarakah. Tahun Berdiri Terdapat dua versi tentang tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri yaitu 1718 atau 1745.
*Pendiri*
Sayyid Sulaiman
Sayyid Sulaiman lahir sekitar tahun 1571 M, di Cirebon. Beliau merupakan putra kedua dari pasaangan Sayyid Abdurrahman dengan Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Saudara-saudara beliau diantaranya: Sayyid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro Pasuruan), dan Sayyid Abdul Karim.
*Pengasuh*
1. Sayyid Sulaiman (wafat 1766)
2. KH. Aminullah (wafat akhir 1700-an/awal 1800-an)
3. KH. Abu Dzarrin (wafat 1800-an)
4. KH. Mahalli (wafat 1800-an)
5. KH. Noerhasan bin Noerkhotim (wafat pertengahan 1800-an)
6. KH. Bahar bin Noerhasan (wafat awal 1920-an)
7. KH. Nawawie bin Noerhasan (wafat 1929)
8. KH. Abd. Adzim bin Oerip (wafat 1959)
9. KH. Abd. Djalil bin Fadlil (wafat 1947)
10. KH. Cholil Nawawie (wafat 1978)
11. KH. Abd. Alim Abd. Djalil (wafat 2005)
12. KH. A. Nawawi Abd. Djalil (2005-sekarang)
*KURIKULUM PESANTREN*
Madrasah Miftahul Ulum (MMU)
Adalah pendidikan klasikal atau pendidikan madrasiyah yang ada di Pondok Pesantren Sidogiri. Semua kegiatan madrasiyah terpusat di sini. Madrasah Miftahul Ulum terbagi menjadi empat jenjang pendidikan, yakni tingkat Idadiyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
saat ini jumlah santri yang mondok di PP Sidogiri sebanyak 11 ribu santri. Mereka tidak hanya dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura
*WASIAT*
Berikut ini adalah 10 wasiat dari Kiai Hasani bin Nawawie bin Noerhasan berkenaan dengan aktifitas yang ada di Masjid Jami’ Sidogiri.
1. “Lek kesusu melebu masjid, mending gak usah salat tahiyatal masjid, eman. Gak onok tumaknina’e.” (Kalau terburu-buru masuk masjid, lebih baik tidak usah salat tahiyatal masjid. Percuma, tidak ada tumakninahnya.)”
Pernah suatu hari kiai melihat santri yang terburu-buru masuk masjid dan salat dengan cepat. Hal tersebut terlihat oleh Kiai Hasani. Beliau pun marah besar (duko, Jawa) melihat tingkah santri yang seperti itu.
2. “Masjid itu baitullah, ojok sampek gawe turu.” (Masjid itu rumahnya Allah, jangan sampai dijadikan tempat tidur.)”
Beliau juga sangat marah ketika ada santri atau siapa saja tidur dalam masjid. Walau pun masih ada ikhtilaf perihal hukumnya, beliau melarangnya. Jika ada santri atau tamu yang tidur di masjid, beliau langsung memukulnya.
3. “Santri iku kok rame, onok opo dek masjid?” (Santri itu kenapa ramai, ada apa di masjid?)”
Setiap dua pekan sekali di Masjid Jami’ Sidogiri ada kegiatan DKL (Dakwah Keliling). Ketika itu ceramah yang disampaikan berupa hal-hal yang lucu sehingga santri tertawa dan masjid menjadi ramai. Hal tersebut didengar oleh Kiai Hasani. Beliau menyuruh Mas Abdul Bari mengambil batu bata di sungai untuk kemudian dilemparkan ke masjid. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Mas Bari langsung menghubungi Kepala Bagian Ubudiyah agar menyuruh santri tidak ramai-ramai di masjid.
4. “Lek kate lebu masjid disekno sekel kengen, lek metu sekel kacer.” (Kalau masuk masjid harud menggunakan kaki kanan, jika keluar menggunakan kaki kiri.)”
5. “Lek wes gak dibutonno, pateni kipas karo lampu iku. Fasilitas masjid iku milik masyarakat umum,” (Setelah menggunakan kipas dan lampu harus dimatikan. Fasilitas masjid itu milik umum.)”
6. “Lek dungo seng jelas, ojok karepe dewe,” (jika berdoa setelah salat yang jelas, jangan ambil seenaknya saja.)”
wirid yang dibaca. Begitu juga beliau (Kiai Hasani). Beliau sangat tidak suka ketika bacaan wirid usai salat dibaca terlalu cepat. “Gak onok faedahe (tidak ada faedahnya),” dawuh Kiai Hasani.
7. “Beduk iku ditabuh lek wes jam 12.00 pas, ojok melok jam, melok bincret ae,” (Beduk ditabuh pada jam 12.00 dan usahakan agar melihat di bincret, jangan ikut jam.)”
8. “Salat itu kudu duwe himmah, ojok pokok salat. Salat iku ngadep pengeran, mosok sek ate dipantau terus,” (salat itu harus memiliki himmah, jangan asal salat. Salat itu menghadap tuhan, jangan minta dipantau terus.)”
9. “Khidmah seng temenan, niatono ngawulo nang kiai, saiki atau besok,” (Dalam berkhidmah yang benar, nitkan jadi hamba, sabiqon aw lahiqon.)”
10. “Opo’o speaker dek masjid iku, kok dengung ae. Mosok speaker dek masjid Sidogiri munine ngunu, kalah karo speaker musolla kampung,” (Kenapa speaker di masjid itu, kok berdengung. Masak speaker di masjid Sidogiri kayak gitu, kalah dengan speaker yang ada di musalla kampung saja.)”
(Wasiat ini disampaikan oleh Mas Abdul Barri dalam acara Koordinasi Bulanan Ubudiyah Agustus tahun lalu)