
Desa Pelem terletak di selatan Kulon Progo. Lebih dari tiga perempat penduduknya menggantungkan hidup dari hasil bertani. Itu sebabnya, di sepanjang jalan menuju desa, tak ada yang bisa dijumpai selain hamparan sawah berhektar-hektar. Pada batas akhir mata memandang, Gunung Merapi berdiri angkuh memamerkan kegagahan di timur laut. Jika cuaca sedang cerah, kepulan asap dari kawah yang meliuk-meliuk di puncaknya bisa dilihat dengan jelas dari pinggir desa.
Satu-satunya jalan yang membelah sawah dan Desa Pelem lebih pantas disebut sebagai parit. Saat turun hujan, lumpur akan membenamkan kaki sebatas bawah lutut orang dewasa yang melaluinya. Di desa inilah, dahulu pernah tinggal seorang perempuan belia yang menjadi buah bibir pemuda-pemuda Kulon Progo.
Dari serambi langgar di Desa Pelem pula, kisah tentang jatuh bangunnya perjuangan syiar islam oleh seorang perempuan Jawa itu dituturkan. Kang Sidiq yang baru seminggu pulang dari mondok, menceritakan kepadaku seusai beliau menjadi imam salat Magrib.
“Panggil saja perempuan belia itu Marpuah. Sosok pemilik paras ayu, lembut, alis nanggal sepisan. Matanya lebar membulat. Kulitnya kuning langsat. Tinggi sekira satu setengah meter. Suaranya khas dengan serak yang enak didengar,” ungkap Kang Sidiq membuka cerita.
Marpuah adalah putri tunggal Derman—orang-orang memanggil Pak Derman—seorang pengusaha keramik dari Pelem.
Lima tahun setelah orang-orang Jepang meninggalkan tanah Jawa, sekitar 1950, belum banyak penduduk Pelem yang tertarik dengan pesantren, termasuk Marpuah. Tetapi, tidak dengan Derman. Ia memiliki kekaguman tersendiri kepada para kiai.
Begitu kagumnya Derman kepada sosok para kiai, sampai ia bercita-cita kelak bisa menjodohkan Marpuah dengan putra kiai.
Sebenarnya bukan hal yang aneh jika Derman berkeinginan seperti itu. Ia dikenal sebagai pemilik usaha keramik yang sangat masyhur. Banyak para kiai dan kalangan bangsawan memesan keramik produksinya. Meski bukan golongan keluarga priyayi atau kiai, kedekatan Derman dengan merekalah yang membuat ia disegani oleh penduduk Pelem. Kedermawanan dan sikap bersahaja menjadi ciri khas yang melekat padanya.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Marpuah tumbuh menjadi sosok yang pantas disebut sebagai cermin dari bapaknya. Selain dermawan dan bersahaja, ia juga mandiri dan pandai. Marpuah tak enggan mengajari bocah kecil Pelem untuk sekadar baca tulis atau mengenal huruf. Meski tak sekolah tinggi, hanya lulus SD, ia tergolong gadis yang pintar.
Memasuki usia pernikahan, Marpuah tumbuh kian anggun dan ayu meski tanpa gincu. Derman bermaksud menjodohkan Marpuah dengan putra kiai. Ini adalah keinginan Derman sejak dulu. Ia ingin putrinya dibimbing oleh laki-laki yang paham agama. Derman ingin Marpuah menjadi seorang perempuan yang kelak bisa mengayomi masyarakat. Oleh karena itu, keinginannya menjodohkan dengan putra kiai harus terwujud.
‘Nduk, dakjodohake kowe karo putrane kiai keturunan Arab.’
Marpuah terdiam. Ia berpikir bagaimana menjadi istri dari putra kiai. Sementara, soal agama tidak mumpuni.
‘Tiyang pundi lho, Pak? Kula mangke kedah pripun? Kula mboten saget ngendika basa Arab.’
‘Kabeh wis ana dalane. Kowe bocah pinter,’ jawab Derman menenangkan Marpuah.
Beberapa bulan kemudian, Marpuah melaksanakan akad nikah dengan seorang putra kiai berdarah Arab. Sebelumnya, Marpuah belum pernah bertemu dengan calon suaminya itu.
Akan tetapi, rupanya pernikahan mereka lebih pendek dari umur jagung. Duka menghampiri. Suami Marpuah meninggal tidak lama setelah berlangsung proses akad nikah. Sontak dukacita menghampiri keluarga Derman.
Marpuah berubah status dalam sehari. Setelah sah menjadi istri, ia kini menjanda. Niat untuk belajar agama kepada mendiang suami yang sudah menggebu-gebu, kandas seketika.
Beberapa minggu setelah kepergian suami, Marpuah dilamar oleh dua putra kiai. Tak heran, Marpuah yang masih belia memang selama ini menjadi idaman banyak lelaki. Hanya saja, tidak banyak yang memiliki nyali untuk melamar.
Dua putra kiai yang hendak melamar Marpuah adalah Gus Sobri dan Gus Toha. Gus Sobri dari pesantren Kulon Progo Timur, sedangkan Gus Toha berasal dari pesantren Kulon Progo Barat. Gus Sobri melamar Marpuah karena kehendak bapaknya. Sementara, Gus Toha melamar Marpuah atas petunjuk dari pendiri Pesantren Kulon Progo Barat melalui mimpi.
Marpuah yang masih berduka atas meninggalnya sang suami masih enggan untuk menerima lamaran laki-laki lain. Ia berpura-pura cacat dengan berjalan sedikit pincang agar kedua pelamar mengurungkan niat untuk menikahinya. Tetapi, usaha itu gagal.
Gus Sobri memilih mundur. Sementara, Gus Toha tetap kukuh untuk menikahi Marpuah. Ia tak memandang fisik. Niat hati yang tulus dan lurus ingin menikahi sudah bulat.
‘Kula mboten nyuwun punapa-napa, Gus. Kula amung pengin saget maos. Kula pengin saget kados panjenengan, pinter maos kitab!’ tegas Marpuah mengajukan syarat.
Mengajari mengaji dan membaca kitab adalah hal mudah bagi Gus Toha. Lelaki itu menyanggupi permintaan Marpuah. Dilaksanakanlah pernikahan mereka atas kesepakatan yang telah dibuat.
Setelah menjadi suami istri, mereka tinggal di bangunan pondok putra karena belum memiliki ndalem sendiri. Barulah seiring waktu, dengan tidak lebih dari setengan tahun mereka akhirnya memiliki ndalem. Sebagian besar pembangunan ndalem berasal dari keluarga Marpuah. Hal ini tidak masalah baginya. Tidak hanya itu, mereka pun membesarkan bangunan pondok agar lebih layak huni bagi santri-santrinya.
Sesuai kesepakatan, Gus Toha mengajari mengaji dan membaca kitab. Marpuah yang cerdas tidak butuh waktu lama untuk belajar. Keduanya saling mengisi kekurangan. Kehidupan rumah tangga mereka damai, tentram, dan bahagia. Pesantren yang mereka rintis makin ramai santri yang tholabul ilmi. Meskipun mayoritas masih santri krempyeng, Marpuah dan Gus Toha tetap semangat mengajarkan ilmu agama.
Syahdan, bahtera rumah tangga mereka telah mengarungi samudera waktu puluhan tahun. Gus Toha menginjak usia 40 tahun, ketika akhirnya menderita hernia yang cukup parah. Ia ingin berobat ke salah satu dokter ahli agar sembuh. Akan tetapi, orang tuanya tidak mengizinkan. Gus Toha diminta untuk bersabar dulu.
‘Sabaro disik, sabar. Ora usah menyang dokter disik,’ cegah Abah Kiai.
Gus Toha tetap bersikeras untuk berobat ke dokter. Namun, usaha itu justru berujung petaka. Dokter yang menanganinya kurang pengalaman. Pascaoperasi, Gus Toha meninggal dunia.
Sebelum kematiannya, Gus Toha berpesan pada Marpuah, ‘Mengko yen pingin rabi maneh, panjenengan pilih wong sing luwih apik saka aku. Aja wong sing sangisorku.’
Marpuah kembali menjadi janda.
Hari-hari yang dijalani Marpuah makin berat. Menjadi janda dan mengurus pesantren yang banyak santriny, serta warga sekitar, bukanlah hal yang mudah. Marpuah mengurus semua tanpa seorang suami. Untung saja, ia tetaplah perempuan Pelem yang tegas, tanggap, dan tegar melewati segala ujian kehidupan.
Satu per satu pria yang melamar Marpuah ditolak. Ia memegang teguh pesan terakhir suaminya. Belum ada yang mengungguli suaminya. Karena itu, Marpuah makin mantap menjalani kehidupan tanpa suami. Hal ini bukan suatu penghalang.
Marpuah melanjutkan perjuangan syiar agama. Rutinan pengajian yang ia rintis dengan suaminya tetap berjalan. Kehidupan pesantren tetap ramai oleh lalu-lalang santri tholabul ilmi. Hampir semua warga desa di sana adalah santrinya. Kepiawaiannya momong dan mengayomi santri sudah tak diragukan. Marpuah mendapat julukan ibu seluruh santri dan warga sekitar.
Marpuah bukanlah orang yang egois. Ia tak pernah mementingkan diri sendiri. Tak jarang ia menjual emas perhiasannya demi kesejahteraan bersama. Uang hasil penjualan emas ia kemas jadi modal usaha untuk kebutuhan bersama. Hal ini dilakukannya semata bukan untuk mencari sensasi, melainkan mengharapkan ridla Allah.
Hingga suatu ketika, Marpuah menelan pahitnya fitnah dari seseorang yang ia kenal. Sebut saja Bu Kaji. Entah apa sebabnya ia melontarkan fitnah tajam ke Marpuah. Warga sekitar pesantren pun turut percaya dan membenci Marpuah. Bahkan, ada yang sengaja membuang kotoran di depan ndalem Marpuah.
‘Pangapunten, Ibu. Niki wonten tiyang buang hajat dateng ngajeng ndalem. Niki kadose ndik dalu. Amargi enjing wau saderenge jamaah Subuh kula medal sampun wonten kotoran punika,’ ucap salah seorang santri kepada Marpuah.
‘Wis, Nduk. Dijarne wae. Ora usah digoleki wonge. Ibu gak apa-apa. Mengko diresiki bareng-bareng,’ tutur Marpuah.
Di tengah kepedihan dan kehinaan yang dialami Marpuah, santri-santrinya tetap berpihak padanya. Ia tak ada rasa dendam dan benci kepada orang yang telah memfitnahnya. Marpuah tetap meneruskan syiar agama, menyebar kebaikan, dan mengayomi masyarakatnya.
Satu dari sekian banyak orang yang membenci Marpuah adalah Asih. Suatu siang, datanglah perempuan paruh baya itu menemui Marpuah.
‘Assalamuaikum. Ibu, ngapunten, kula Asih. Niki yoga kula panas, ndleming ngaturi panjenengan. Nyuwun tulung, penjenengan dateng griya kula, nggih,’ ucap perempuan itu dengan isak tangis, memohon kepada Marpuah.
Tanpa basa-basi dan penolakan, Marpuah mengikuti Asih pulang. Ia segera memangku anak Asih yang demam tinggi dan memanggil-manggil namanya. Seketika, anak laki-laki itu berhenti menangis dan mengigau.
‘Geneya, awakmu panas kanthi kaya mengkene, Le? Iki ibu wis ing kene, ngancani awakmu. Ndang sehat ya Le,” tutur Marpuah pada bocah kecil itu. Tuturya hanya dibalas senyuman. Tanpa meninggalkan pesan kepada ibunya, si bocah kecil itu berhenti napas di pangkuan Marpuah.
‘Inalillahi wa inailaihi rojiun,’ ucap Marpuah.
Isak tangis Asih makin menjadi-jadi. Bagaimana tidak, putranya meninggal di pangkuan orang yang telah ia benci. Ia terkena hasutan Bu Kaji. Ia terpengaruh fitnah tajam yang menyebar ke seluruh desa. Semua orang terdiam. Hanya suara isak tangis Asih terdengar dari sana.
‘Sing wis ya wis. Ora usah dirembug maneh,’ ucap Marpuah memecah keheningan.
Dari peristiwa itu, warga kembali sadar bahwa fitnah tajam Bu Kaji tidak benar. Semua hanya isu yang tidak terbukti kebenarannya. Bu Kaji pun menyesali perbuatannya. Entah karma atau doa siapa yang terkabul, Bu Kaji menjadi kembang bayang.
Kehidupan Marpuah menjadi lebih terang. Namanya pun bersih dari fitnah tajam. Semua orang mengenal Marpuah sebagai pengasuh pesantren yang dermawan, adil, bijaksana, dan penuh kasih sayang. Syiar agama diteruskan oleh keturunan Marpuah dan Gus Toha.
***
Karomah Marpuah mampu menembus sekat zaman. Saat ini, pesantren mereka banyak dikenal masyarakat dalam maupun luar Kulon Progo. Santrinya berjumlah ribuan. Nama Marpuah diabadikan menjadi nama yayasan yang didirikan oleh putra-putrinya—tempat Kang Sidiq menimba ilmu.
“Ya, selalu ada masa ketika setiap manusia akan diterpa badai kehidupan. Namun, justru dari badai itulah ia ditempa. Kita saja yang kadang merasa tidak sanggup melewatinya. Padahal, Tuhan Maha Mengetahui kesanggupan kita,” ucap Kang Sidiq menutup kisah Nyai Marpuah.
Aku terdiam. Kubayangkan sosok Marpuah muda ketika masih menjadi perempuan Desa Pelam di masanya. Desa yang saat ini sedang aku singgahi untuk menemui Kang Sidiq. Bayangan-bayangan itu mendadak berubah menjadi kunang-kunang yang jumlahnya ratusan, berkeliaran di benak, lalu menyeret mataku untuk menumbuk pada sosok perempuan yang baru saja keluar dari langgar, berjalan membungkuk sambil mengucapkan permisi kepada kami, ”Nuwun sewu, amit.” Mendadak pula mulutku bersdesis memanggil perempuan itu, “Nyai, Nyai Marpuah!”
*Faridlatul Afifa
Alumni Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia UNESA Surabaya, bergiat sastra di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk.
Editor: Heru Sang Amurwabumi