Revolusi 1945 dalam Perspektif Santri

 

Catatan Wasid Mansyur, Santri Bicara Sejarah.

Sejarah adalah catatan mengenai masyarakat umat manusia atau peradaban dunia dan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak Masyarakat itu. Itulah arti Sejarah yang mengutip perkataan Sosiolog Muslim, Imam Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah ibn Khaldun.

Dari pengertian ini, maka Sejarah Revolusi 1945, khususnya di Kota Surabaya, adalah catatan soal keterlibatan arek-arek Surabaya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah sebagai penegasan untuk mempertahannya NKRI, sekaligus melepaskan diri dari hegemoni Jepang dan Sekutu setelah lama mencekik lahir batin, mengutip komentar Roeslan Abdulgani.

Keterlibatan arek-arek Surabaya ini menarik sebab memantik perlawanan di berbagai daerah. Sayangnya, keterlibatan kalangan santri  _yang menjadi bagian dari perjuangan__, khususnya dari kalangan NU dan Pesantren kurang perhatian dalam beberapa “decade” yang cukup lama hingga terkesan “Santri tidak terlibat dalam Revolusi di Surabaya.” Kesan ini tidak berlebihan karena penuturannya memang sangat minim, atau bisa jadi sengaja atau tidak tuturkan dalam tulisan-tulisan sejarah, padahal banyak fakta-fakta peran Santri sangat Strategis dalam revolusi ini.

Hal ini memang, penulisan Sejarah tidak lepas dari penulisnya dengan segala kontruksi sosial dan budaya yang mempengaruhinya, termasuk kekuasaan. Untuk itu, perspektif santri untuk membaca Sejarah Revolusi 1945 akan menjadi pembeda dengan tulisan-tulisan yang lain, misalnya tulisan Roeslan Abdulgani yang berjudul 100 hari di Surabaya atau  P.N.S. Mani yang berjudul Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah hingga tulisan Frank Palmos yang berjudul Surabaya 1945: Sakral Tanahku.

Tiga tulisan di atas, masih sangat minim menyebutkan kalangan Santri, dan ini wajar sebab penulisnya bukan Santri, apalagi NU. Semangat ini yang kemudian, sebagai santri kita tidak pernah banyak menyalahkan yang lain. Sudah saatnya perspektif santri harus diperbanyak dalam menulis dan membaca Sejarah Revolusi 1945 sebab perspektif model ini memiliki keunikan sesuai dengan tradisi yang berkembang di lingkunganya. Pastinya, bukan asal bunyi atau asal tulis, tapi berdasar pada fakta-fakta sejarah yang berserakan dibilik-bilik rumah, sekaligus cerita-cerita Sejarah, khususnya dari turunan pelaku Sejarah atau sumber lain yang terkait.

Revolusi 1945; Revolusi Ala Santri

Perang revolusi 1945 di Surabaya perang yang cukup melelahkan bagi penjajah, Sekutu, NICA. Pasalnya, asumsi mereka melulantahkan Surabaya dalam waktu sekejab ternyata tidak terbukti. Nyatanya, Brigadir Jendral Mallaby akhirnya harus menjadi tumbal dari keruwetan menghadapi perang Surabaya, walau banyak perdebatan SIAPAKAH YANG MEMBUNUHNYA?.

Peran santri dalam perang ini cukup besar, mulai dari pemompa sengat hingga aksi nyata. Setidaknya, ada dua hal penting, pertama, perang di Surabaya yang melibatkan santri tidak lepas semangatnya dari fatwa jihad yang dilontarkan Hadlratus Syekh K.H. Hasyim Asyari tanggal 17 September 1945 kaitan hukum orang yang merintangi kemerdekaan Indonesia, yaitu NICA. Fatwa ini memang bersifat individual (ijtihad fardi), namun energinya luar biasa sebab Sang Pencetusnya adalah maha guru dari ulama pesantren, sekaligus masih tercatat sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama.

Tidak lama setelah fatwa ini, dan mempertimbangkan situasi yang semakin rumit akibat dari ulah NICA, lahirlah Resolusi Jihad NU tanggal 21-22 Oktober 1945 melalui rapat besar wakil-wakil daerah (konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Oelama seluruh Djawa- Madura di Kantor PB Ansor  Nahdlatul Ulama (PB ANO atau sekarang disebut Gerakan Pemuda Ansor) di jalan bubutan VI/Z Surabaya.

Menariknya dari keputusan keagamaan ini, mengutip KH. Agus Sunyoto, Fatwa Jihad fi Sabilillah memiliki dampak luar biasa bagi santri-santri, khususnya di kota Surabaya. pasalnya, fatwa ini diterima dari mulut ke mulut, dari surau ke surau, dari masjid ke masjid. Tidak disampaikan melalui surat kabar maupun siaran radio, mempertimbangkan situasi politik yang tidak memungkinkan. Berbeda dengan Resolusi Jihad yang diserukan kepada pemerintah; disiarkan dan dimuat surat kabar, misalnya surat kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-l, Jumat Legi, 26 Oktober 1945; Antara, 25 Oktober 1945; dan Berita Indonesia, Jakarta, 27 Oktober 1945.

Putusan Resolusi jihad ini berkaitan dengan, Pertama, Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan dan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya. Dan kedua, Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam.

Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad ini, menurut penulis membedakan dengan arek-arek Suroboyo lainnya yang terlibat perang melawan Sekutu, NICA dan Jepang, khususnya dari kalangan Non-Santri. Bagi mereka, tidak ada panggilan agama atas semangat perang, tapi hanya persoalan kepentingan bahwa penjajah telah menyengsarakan rakyat Indonesia sehingga mempertahakan kemerdekaan adalah keharusan yang tidak boleh ditawar-tawar.

Berbeda dengan kalangan santri, Revolusi 1945 adalah manifestasi dari mempraktikkankan nilai-nilai Jihad Islam sebagaimana dimaknai dari beberapa kitab kuning, yakni wajib perang melawan Penjajah, khususnya bagi lagi-lagi hingga radius 94 KM: Sebuah tanda jarak yang juga memperbolehkan orang melaksanakan sholat Jamak dan dan shalat Qasar. Fakta ini yang kemudian, santri-santri yang perang tidak hanya berasal dari Surabaya, tapi juga berasal dari luar Surabaya.

Kedua, aksi nyata jihad di lapangan. Laporan Mayor H.M. Munasir Ali dalam salah satu wawancara yang diliput di Duta, Desember 1988 menarik bagaimana keterlibatan laskar Hizbullah dalam Revolusi 1945 di Surabaya. untuk mengatur strategi perang ini, laskar Hisbullah telah membentuk Cabang-Cabang.

Sebut saja, misalnya, KH. Nafik dan Sdr Achyar bermarkas di Jln. Nyamplungan, H. Chusaini Tiway dan KH. Mas Muhajir bermarkas di Surabaya Tengahl tepatnya madrasah NU Kawatan, Damiri Ichsan dan Hamid Has bermarkas di Surabaya Barat; tepatnya dikembang Kuning, Mas Ahmad dan Abid Saleh bermarkah di Surabaya Selatan; tepatnya di Pondok Sidoresmo, dan Abdul Manan dan Achyad Alap-alap berada di wilayah Surabaya Timur.

Itulah sebagian data, bagaimana keterlibatan santri melalui jalur Laskar Hizbullah ikut berperang hingga puncaknya yang sangat melelahkan pada tanggal 10 November 1945. Pastinya, masih banyak santri-santri yang lain terlibat, baik individual maupun berkelompok diluar jalur laskar Hizbullah.

Intinya, ada kekuatan keagamaan, dan ketidak nyaman hidup dalam hegemoni penjajah yang ikut menggerakkan para Santri ikut larut dalam perang Revolusi, walau dengan senjata yang terbatas. Bahkan tak jarangan mengandalkan bacaan-bacaan atau suwuk yang telah diijazahkan oleh para kiai-kiai pesantren. Dengan begitu, tidak ada rasa takut: yang ada Isy kariman aw mut syahidan (Hidup mulia atau mati sahid.

Spirit Jihad; Satu dalam Gerak

Membaca Sejarah Jihad Santri para Revolusi 1945, bukan hanya untuk Sejarah itu sendiri, tapi perlu mengambil spirit yang dijuangkan. Spirit ini penting agar ke depan kita memiliki semangat jihad yang sama sebab perang belum selesai, walau perang fisik selesai. Sebut saja, Hari ini, misalnya di era Medsos, kita masih berada dalam situasi perang yang sangat berbahaya bila tidak terbendung, belum lagi perang melawan kemiskinan, dan ketidak adilan sosial.

Karenanya, Santri harus bersatu dalam gerak sesuai dengan nilai-nilai yang diperjuangan dan diwarikan dari para kiai, yakni memegang ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dan NKRI. Segala bentuk apapun yang berpotensi merusak sendi-sendi kebangsaan harusnya menjadi garda terdepan untuk melawan, bukan malah menjadi pecundang dan malah mengambil keuntuangan di keruwetan bangsa.

Semangat Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad harus menjadi pemantik bersama untuk terus mencintai negeri. Bagaimanapun, negara yang ruwet, alih-alih konflik berkepanjangan akan berpengaruh bagi kehidupan kita sebagai anak bangsa. Bahkan, melaksanakan ajaran agama Islam juga tidak akan nyaman, sebagaimana terjadi di belahan negara Islam timur Tengah. Semoga kita menjadi santri Indonesia seutuhnya.

[1] Disampaikan pada Acara Orasi Kebangsaan yang diadakan oleh PCNU Surabaya di Kantor PCNU tanggal 15 Agustus 2023

Wakil Ketua PW GP Ansor, Dosen Sejarah di FAHUM UIN Sunan Ampel Surabaya