Oleh Mbah Guru Rifai
Jangan dikira kecerdasan hanya ada di orang dewasa. Anak-anak usia dini pun ternyata ada yang menunjukkan kecerdasan lingua yang mengagetkan. Berawal dari kunjungan saya, Mbah Guru Rifai selaku Pembina PK PGRI Banyuwangi saat berkunjung ke TK Putra Harapan Karangharjo, Glenmore, TK yang dipimpin Ibu Naroh, S.Pd. dan disponsori oleh ibu-ibu PKK Desa Karangharjo Glenmore ini ternyata bagus banget, aku memuji. Biasa anak-anak usia TK saat dilayani dalam permainan pembelajaran sebagaimana yang dituntutkan di kurikulum merdeka ada yang bermain, bergurau dan ada yang nangis dan juga ada yang serius mengerjakan perintah gurunya.
Saat masuk di ruang kelas B (kelas senior) saya sempatkan mengamati saat anak-anak sedang bekerja mewarnai dari gambar yang sudah disiapkan di buku tugas semacam LKS. Mereka asik mewarnai. Di sela-sela waktu Bu Guru ‘menegur’ seorang siswi bernama April, “… April kamu kok mewarnai rambut orang (sambil menunjuk pada gambar) dengan warna hijau? Ayo coba lihat warna rambut temanmu!”, ucap Bu Guru. Spontan anak balita itu menjawab dengan enak “… Buru Guru ini kan hanya gambar?”.
Mendengar jawaban itu Bu Guru Holipah hanya tersenyum. Pada hal itu jawaban cerdas seorang anak di usianya. Saya biasa mengajar anak-anak remaja di SMA kaget mendengar jawaban diplomatis anak cewe manis itu. Puh … itu jawaban berbobot!
Di mana cerdasnya? Pertama, dia pede dengan dirinya sendiri. Apa yang dia lakukan itu kehendaknya, seleranya.
Kecerdasan kedua, ditunjukkan bahwa menggambar itu adalah berimajinasi, bernalar bebas. Kondisi ini sebenarnya menujukkan bahwa seperti itu seharusnya sekolah itu dibangun. Anak sebagai peserta didik itu harus menjadi diri sendiri yang merdeka. Bebas bernalar (reasonable) dan bebas berimajinasi. Sayangnya, kondisi itu akan terkikis habis saat dia memasuki dunia sekolah.
Perampasan hak anak banyak terjadi di dunia sekolah. Mulai dari SD sampai nanti level SMA. Perkembangan anak di dunia sekolah mulai banyak diintervensi, sampai dia harus kelelahan karena harus menjadi orang lain (gurunya). Anak-anak yang belum mengenal gezag (kewibawaan) dipaksa mengikuti alur pembelajaran yang dominan dengan tuntutan dunia dewasa. Pujian dan permakluman (permisivelly) sudah banyak hilang.
Ikatan aturan dan tuntutan tertib (displin) mulai dikenalkan dengan menerapkan hukuman-hukuman (punishment).
Hubungan anak dengan guru menjadi tidak terbangun emosinya karena antara murid dan guru itu ada pada kondisi strata vertikal (tidak setara) yang formal dalam rangka membangun kewibawaan. Ditambah lagi dengan tampilan guru dengan atribut aparat sipil negara (ASN) bukan lagi kuat jiwa pendidik, pengasuh yang seharusnya memandang siswa sebagai peserta didik. Formal banget.
Oleh : Mbah Guru Rifai nama reminya H. Mochammad Rifai, M.Pd.
Pensiunan Kasek SMA dan juga Caleg Partai Gerindra Dapil VI Banyuwangi