Wulan Sura Dianggap Kramat Oleh Orang Jawa (Pengetan Suran 1957 Tahun Jawa Di Lotu’s Garden Tulungagung)

Tulungagung-menaramadinah.com-WULAN SURA dalam pandangan orang Jawa disebut wulan suci atau wulan kramat,  sehingga pada zaman dahulu dipergunakan untuk memulai belajar atau berguru ngelmu kepada ‘orang tua’ di padepokan; ada yang belajar ilmu kanuragan hingga ngelmu tua (Ngelmu Kasampurnan, ngelmu sejati). Bahkan, dalam proses berguru tersebut seringkali ditandai dengan istilah saka guru yang disimbolkan dengan empat tiang di rumah limas. Dan, dalam proses berguru tersebut mencakup perspektif sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa (kalbu) dan sembah rasa.

Demikian dijelaskan oleh Ki Sukono alias Ki Jlitheng Sukono, seorang dhalang kondhang Tulungagung dan sekaligus pengurus MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) Tulungagung tema Nguri-uri Basa Sastra & Falsafah (Aksara) Jawa dalam rangka Pengetan Wulan Sura 1957 Taun Jawa yang digelar ForSabda (Forum Sarasehan Seni & Budaya) pada Jum’at malam (21/7) di Lotu’s Garden Ketanon-Kedungwaru Tulungagung.

Koresponden Menara Madinah, Wawan Susetya melaporkan secara lengkap sarasehan budaya yang digelar ForSabda dari Tulungagung.

Dalam kesempatan itu Ki Jlitheng Sukono menjelaskan mengenai Sura dalam perspektif orang Jawa. Selanjutnya Ki Sukono mengatakan, mengapa dalam berguru di wulan Sura bagi orang Jawa dikatakan penting? Menurutnya, hal itu sebenarnya persis seperti murid-murid memulai belajar pada tahun ajaran baru di sekolah.

“Sebab, wulan Sura merupakan permulaan awal tahun dalam penanggalan Jawa (Saka) yang biasanya dipakai untuk memulai sesuatu yang baru, termasuk berguru dan melakukan jamasan pusaka dan sebagainya,” jelas Ki dhalang Sukono.

Sarasehan budaya yang dilaksanakan ForSabda dengan mengangkat seluk-beluk mengenai perspektif Jawa pada pengetan Wulan Sura 1957 tersebut digagas oleh Maestro ForSabda Laksda (purn) Harry Yuwono. Menurutnya, selama ini ketika memasuki tahun baru Islam (Hijriyah) 1 Muharam yang bersamaan dengan Tahun Jawa 1 Sura biasanya masyarakat cenderung mengadakan peringatan tahun baru Islam. “Maka ada baiknya kita mengadakan sarasehan budaya yang intinya silaturahmi dengan mengangkat seluk-beluk mengenai perspektif Jawa di bulan Sura tahun 2023 ini,” kata Laksda Harry Yuwono saat menggagas acara sarasehan dengan tema Nguri-uri Basa Sastra & Falsafah (Aksara) Jawa.

Dalam sarasehan Pengetan Wulan Sura 1957 Taun Jawa di Lotu’s Garden Ketanon-Kedungwaru Tulungagung tersebut sejak ba’da Isya’, di joglo Ibu Soehartini di Lotu’s Garden terdengar ngrangin suara gamelan yang dimainkan ibu-ibu niyaga dari Paguyuban Cahyo Yuwono yang biasa latihan di Lotu’s Garden dan Sasana Budaya Ngesthi Laras dari Desa Tanggung Glotan pimpinan Ki Handaka.

Laksda (purn) Harry Yuwono dalam sambutan pambagya harja mengatakan bahwa tujuan sarasehan budaya pada malam itu nguri-uri atau melestarikan khasanah budaya Jawa yang adiluhung yang diharapkan bisa sejalan dengan UU No. 5 tahun 2017 tentang OPK (Obyek Pemajuan Kebudayaan). Oleh karena itu yang dibahas pada sarasehan budaya malam itu bukan hanya berkaitan dengan peringatan Wulan Sura saja, tetapi juga seluk-beluk mengenai khasanah budaya Jawa secara luas, seperti Unggah-ungguhe Basa Jawa, sejarah penanggalan Jawa oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, estetika sastra Jawa dalam seni pedhalangan dan tembang, fungsi penanggalan-pawukon & pranata mangsa, Wulan Sura dalam perspektif orang Jawa, termasuk falsafah Aksara Jawa.

Setelah Laksda Harry Yuwono memberikan sambutan lalu dilanjutkan sekapur sirih oleh Ki Lamidi, sesepuh Veteran Tulungagung. Dalam kesempatan itu, Ki Lamidi memberikan motivasi kepada para audience terutama dari kalangan para generasi muda agar mau melestarikan khasanah budaya Jawa. Lebih jauh, Ki Lamidi mengangkat semboyan atau sesanti dalam Bahasa Jawa yang adiluhung, seperti sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, becik ketitik ala-ketara, memayu hayuning bumi, memayu hayuning bawana, mikul dhuwur mendhem jero, dan sebagainya yang merupakan warisan dari para leluhur Jawa.

Sementara itu Ki Edy Supriyanto, mantan Camat Campurdarat membahas mengenai Unggah-Ungguhe Basa Jawa dalam Keseharian. Dalam kehidupan sehari-hari bagi orang Jawa, kata Ki Edy, tentu tak lepas dari Basa ngoko, Basa Krama dan Basa Krama Inggil. Basa ngoko biasanya diterapkan kepada teman atau sesama anak, sedang Basa Krama diterapkan oleh anak kepada orang yang lebih tua, dan Basa Krama Inggil diterapkan oleh anak kepada orang tua termasuk kepada orang yang yang memang harus dihormati dalam kehidupan. Dalam tradisi di Kraton, bisa saja seorang ibu juga menggunakan Basa Krama Inggil kepada putranya yang menjadi raja karena bentuk penghormatan kepada seorang raja.

Pada kesempatan itu, Ki Edy juga menjelaskan makna mengenai duga kira-kira dan duga prayoga dalam Basa Jawa yang artinya sopan-santun atau tata krama. Artinya dalam kehidupan sehari-hari diharapkan orang itu memiliki duga kira-kira dan duga prayoga. Dalam praktik sehari-hari, misalnya seorang pejabat yang melakukan korupsi uang negara itu tergolong orang yang tidak memiliki duga prayoga.

Nara sumber selanjutnya Ki Bagus Wahyu Setyawan (dosen UIN SATU Tulungagung yang mengampu Bahasa Jawa) menjelaskan mengenai peran Sultan Agung Hanyakrakusuma (Raja Mataram) dalam pembuatan penanggalan (kalender) Jawa yang sekarang usianya sudah mencapai 1957.

Ki Bagus mengatakan bahwa Sultan Agung yang namanya Pangeran Rangsang itu sebelum menjadi Raja Mataram memang dipingit atau menjalani pendadaran berbagai ngelmu di luar istana Mataram.

“Maka ketika Pangeran Rangsang dinobatkan menjadi Raja Mataram yang kemudian bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, beliau sudah mumpuni berbagai ngelmu, bukan hanya olah rasa (spiritual) tetapi juga menciptakan Sastra Gendhing dan penanggalan Jawa yang dipergunakan sampai sekarang. Sultan Agung memang tergolong seorang raja Jawa yang sangat cerdas dan memiliki banyak gebrakan,” tutur Ki Bagus menandaskan.

Narsum terakhir yaitu Ki Taufan Hendro Baskoro, MA (akademisi FIB UB Malang) yang menjelaskan mengenai fungsi kalender Jawa, Pawukon dan Pranata Mangsa. Dalam kesempatan itu Taufan menjelaskan ragam penanggalan mulai penanggalan Masehi yang dinisbahkan pada kelahiran Yesus (Nabi Isa) sekitar tanggal 25 Desember, penanggalan Tahun Saka atau Jawa 1957 dan kalender Islam (Hijriyah) 1445 H.

Ki Taufan kemudian menjelaskan mengenai wuku yang merupakan bagian dari suatu siklus dalam penanggalan Jawa dan Bali yang berumur 7 (tujuh) hari atau satu pekan. Sementara siklus wuku berumur 30 pekan (210 hari) dan masing-masing wuku memiliki nama tersendiri. Perhitungan mengenai wuku atau pawukon tersebut masih digunakan oleh sebagian masyarakat Jawa dan Bali terutama untuk menentukan “hari baik” dan “hari buruk” yang dikaitkan dengan weton atau nepton. Selanjutnya Ki Taufan menyebutkan nama-nama wuku yang dalam penanggalan Jawa, antara lain Wuku Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut dan Watugunung.

“Kalau Anda tidak hafal nama-mana Wuku dalam penanggalan tersebut, mbok saya menjelaskan bagaimana pun seluk-beluk mengenai wuku tersebut, tentu Anda tidak akan paham,” ujar Ki Taufan seraya menyebut dengan luar kepala nama-nama wuku tersebut dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

Bagaimana pun, jelas Ki Taufan, berkaitan dengan pawukon atau wuku dalam penanggalan Jawa tersebut tidak lepas dari adanya mitos. Dan, di antara mitos tersebut ada yang mirip yaitu dalam mitos Wuku Watugunung dan Sinta dari Jawa dan Bali dengan mitos sekaligus cerita tragedi dari zaman Yunani Kuno, yakni Oedipus Rex atau Raja Oedipus.

“Sering terjadi salah kaprah dalam masyarakat kita, bila ada sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini, entah dalam pernikahan, membuat rumah hingga karir dan sebagainya, kalau ada ketidaksesuaian, yang paling gampang disalahkan karena faktor neptu-nya (hari H-nya) yang tidak pas. Padahal manusia kan diberi otak supaya berfikir?!” tandas Ki Taufan sembari menyadari bahwa dalam praktek keseharian banyak orang yang dipengaruhi dari faktor sugesti, kepercayaan dan sebagainya.

Sementara Ki Wawan Susetya juga menambahkan mengenai falsafah Aksara Jawa; Hana caraka, Data sawala, Padha jayanya, Maga bathanga. Secara umum Aksara Jawa tersebut dinisbahkan dari kisah Aji Saka yang berkelana bersama dengan dua orang abdinya Dora dan Sembada dengan membawa barang pusaka atau benda-benda antik. Karena terlalu banyak bawaannya, maka salah seorang abdinya (Sembada) supaya menjaga barang-barang tersebut di Pulau Majeti (diduga di Pulau Sumatra) lalu Aji Saka melanjutkan perjalanan bersama Dora. Sampailah Aji Saka dan Dora di Pulau Jawa yang di sana ada Raja di Kerajaan Medang Kamulan bernama Dewata Cengkar. Setelah Aji Saka dapat mengalahkan raja lalim yang suka memangsa manusia itu, maka Aji Saka dinobatkan menjadi Raja di Medang Kamulan. Setelah itu Aji Saka memerintahkan abdi dalemnya Dora supaya mengambil barang-barang bawaan miliknya yang dijaga oleh Sembada di Pulau Majeti. Karena keduanya (Dora dan Sembada) sama-sama setia kepada tuannya Aji Saka, singkat cerita keduanya sama-sama mati sampyuh.

Aksara Jawa tersebut menurut Ki Wawan ternyata sangat islami karena sesuai dengan kandungan kitab suci al-Qur’an. Hana caraka artinya ada utusan, entah itu Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad Saw yang diutus Allah Swt menyampaikan risalah tauhid kepada umatnya. Data sawala artinya setelah utusan itu menyampaikan risalah Ketuhanan, fakta atau kenyataannya terjadilah benceng cuweng atau perbedaan pendapat. Dua pihak tersebut Padha jayanya artinya sama-sama memiliki keyakinan yang kuat atau sama-sama memiliki kesaktian. Dan, terakhir Maga bathanga yang artinya terserah kepada Anda.

Dalam hal ini, menurut Ki Wawan, aksara Maga bathanga itu bukan sama-sama menjadi bangkai yang dinisbahkan kisah Dora dan Sembada yang sama-sama meninggal dunia, tapi lebih terserah kepada Anda. Hal itu identik dengan ayat Lakum dinukum waliyadiin (artinya; bagimu agamamu, bagiku agamaku). Sebab tidak ada paksaan dalam memeluk Agama Islam.

Sekitar pukul 00.00 lebih sedikit, sarasehan budaya ForSabda yang dipandu oleh moderator Ki Wawan Susetya itu selesai. (WS).