Banyuwangi, menaramadinah.com – Tradisi Jamasan Pusaka menjadi salah satu tradisi yang identik dilakukan pada bulan Suro. Salah satu pelaksanaan tradisi tersebut adalah Jamasan Pusaka yang diselenggarakan rabo (19/7/2023).Tradisi tersebut dilaksanakan di Serambi Museum Blambangan.
Terdapat puluhan pusaka yang dijamas. Sementara beberapa warga berebut sisa jamasan pusaka. Saat bulan Suro tiba salah satu ritual yang kerap dilaksanakan adalah jamasan pusaka atau pembersihan benda pusaka.
Salah satu benda pusaka yang dibersihkan pada malam 1 Suro atau 1 Muharram adalah keris yang hingga kini masih memiliki nilai sentimental tersendiri.
Pembersihan benda pusaka seperti keris merupakan upaya melestarikan budaya warisan para leluhur pada malam 1 Suro.
Selain keris jamasan pusaka yang lain adalah pedang luwuk dan tombak. Lalu bagaimana cara melakukan jamasan atau pembersihan keris pada malam 1 Suro yang dilakukan di berbagai daerah di masyarakat Osing- Jawa yang biasa dilakukan oleh masyarakat ataupun pihak komunitas seperti malam itu Paguyuban Pelestari Tosan Aji Belambangan bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Banyuwangi.
Salah satu yang melakukan tradisi membersihkan keris atau benda pusaka untuk memperingati 1 Suro adalah Paguyuban Panji Blambangan.
Tradisi Jamasan Pusaka atau membersihkan keris dan benda pusaka ini telah menjadi tradisi yang dilakukan oleh Panji Blambangan sejak 1 Syuro 2006 , tak lama setelah keris Indonesia diakui oleh badan Dunia Unesco , 25 Nopember 2005 merupakan Simbol Kecerdikan Budi Manusia Nusantara Sebagai Warisan Kemanusian Milik Dunia. Tradisi ini dilakukan pada setiap hari selama bulan Suro.
Upacara jamasan pusaka umumnya dilakukan secara bertahap. Adapun tahapan-tahapan yang dilalui dalam upacara tersebut dimulai dengan pengambilan pusaka yang disimpan di tempat tertentu, tahap tirakatan (bersemedi), dan tahap pencucian atau jamasan pusaka.
Jamasan simbol bersih diri, Kanjeng Ilham Panji Belambangan mengatakan, jamasan memiliki makna yang dalam. “Selain membersihkan secara fisik, prosesi itu juga sebenarnya bertujuan untuk membersihkan diri. Secara fisik dibersihkan dan secara kebatinan juga dibersihkan. Bagaimana manusia itu harus introspeksi setidaknya setahun sekali mengingat apa yang sudah dilakukan sepanjang tahun dan apa yang akan dilakukan pada tahun mendatang,” papar Ilham.
Jamasan Pusaka dan tosan aji, kaat Ilham akan digelar mulai Rabu (19/7) hingga Minggu (23/7) mendatang di pelinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi. “Jamasan ini kami buka untuk umum, bagi yang memiliki pusaka dan tosan aji bisa dibawa untuk dijamas,” imbaunya.
Jamasan pusaka ini merupakan kegiatan budaya yang merupakan kegiatan budaya yang rutin dilakukan setiap bulan Suro (Muharram). Dalam jamasan ini, dilakukan pencucian terhadap sejumlah benda pusaka.
Ada berbagai jenis benda pusaka yang di-jamas. Mulai keris, pedang luwuk , tombak biring milik Raden Tumenggung (RT) Astro Kusumo , Bupati ke18 Banyuwangi pada tahun 1888 . “Pusaka milik museum juga akan dikeluarkan untuk dijamas sebagai bentuk perawatan,” jelasnya.
Diharapkan, kata Ilham, dengan kegiatan jamasan pusaka, dan tosan aji ini pusaka-pusaka yang telah banyak menyimpan energi negatif bisa dilepas untuk dibersihkan dan diganti dengan energi positif. Sehingga akan berdampak baik terhadap sang empunya (pemilik).
“Biasanya ada cerita jika ada keris yang sampai bergoyang, bahkan sampai berpindah tempat. ltu karena terlalu banyak energi negatif dan tidak pernah dijamas,” terangnya.
Selain Jamasan Pusaka, juga digelar berbagai kegiatan lain seperti pameran pusaka sarasehan, dan konsultasi perawatan pusaka.
Adanya tahapan dan ritual dengan sejumlah aturan, menurut Ilham juga mencerminkan tentang kehidupan manusia yang memiliki norma-norma.
“Orang perlu introspeksi dan mengingat norma-norma kehidupan yang ada sehingga orang tak menyimpang dari pakemnya (jalan hidup),” kata dia.
“Demikian juga dalam konteks masyarakat ketika ada orang-orang yang tidak sesuai dengan aturan yang jadi kesepakatan, dia harus diingatkan untuk kembali ke tujuan hidupnya,” imbuh dia.
Kanjeng Ilham juga mengingatkan, benda pusaka seperti keris merupakan wujud budaya fisik bernilai tinggi yang sudah seharusnya dihargai. Penghargaan tersebut menurutnya sebagai simbol tentang harmoni keseimbangan dalam berperilaku.
“Di sana ada keterampilan dan kesabaran untuk membuatnya. Ada juga keris yang bisa berdiri. Itu bukan karena daya magis, melainkan dibuat dengan sungguh-sungguh dan seimbang. Secara sosial, generasi muda saat ini juga diberi wejangan bahwa hidup itu mestinya penuh dengan harmoni dan keseimbangan dalam berperilaku,” katanya.
Prinsip gotong royong
maksud dan tujuan jamasan pusaka yakni untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan ketentraman.
Sebab, bagi leluhur masyarakat Osing yang hingga kini masih dijadikan weluri , benda-benda pusaka tersebut dianggap mempunyai kekuataan gaib yang akan mendatangkan berkah apabila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan.
Apabila tidak dirawat, mereka percaya “isi” yang ada di dalam benda pusaka tersebut akan pudar atau akan hilang sama sekali, dan hanya berfungi sebagai senjata biasa.
Sementara Menurut Choliqul Ridha – Sekretaris Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kab. Banyuwangi, apabila dicermati lebih dalam, jamasan mengandung nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai tersebut diantaranya adalah kebersamaan, ketelitian, gotong-royong dan religius.
Nilai kebersamaan tercermin dari keberadaan masyarakat yang berkumpul dalam satu tempat untuk mengikuti prosesi, seperti melakukan doa bersama demi keselamatan bersama.
Adapun nilai ketelitian, tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara harus dilakukan dengan persiapan sebaik mungkin dan dengan seksama sehingga upacara bisa berjalan lancar.
Sedangkan nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan, pungkas Ridha.
Beberapa hal yang dilakukan oleh Penjamas pusaka, seperti : wajib dalam keadaan bersih atau telah mandi sebelum membersihkan keris atau benda pusaka. Selain itu, juga harus menjaga sikap dan tutur kata selama prosesi Jamasan Pusaka berlangsung.
Prosesi Jamasan Pusaka diawali dengan membaca doa atau mantra yang bertujuan agar prosesi ini berjalan lancar. Selain itu, juga harus menjaga sikap dan tutur kata selama prosesi Jamasan Pusaka berlangsung.
Kemudian keris atau benda pusaka lainnya yang telah dibersihkan tersebut akan diberi warangan atau campuran cairan arsenik dan perasan air jeruk nipis. Tujuannya agar keris atau benda pusaka tersebut awet dan tidak mudah berkarat.
Selanjutnya dikeringkan dengan cara mengelap menggunakan kain mori, dan diberi minyak aroma melati, cendana, seribu bunga atau selera pemilik pusaka. Pada tahap terakhir prosesi membersihkan keris dan benda pusaka adalah mengembalikan
benda-benda tersebut ke tempat semula dan ditata dengan baik untuk menjaga keawetannya.
Setelah itu juga diadakan upacara yang bernama Sugengan , gesah silaturahmi sebagai penutup dari serangkaian upacara atau prosesi Jamasan Pusaka sebagai wujud rasa syukur terselenggaranya upacara tersebut.
Pusaka-pusaka yang dipamerkan berjumlah dua ratusan dan semuanya memiliki nilai seni dan sejarah yang sangat tinggi. Pusaka-pusaka tersebut, yakni pusaka yang pernah ada di zaman Kerajaan Majapahit, Blambangan, Pajajaran, Sriwijaya, Melayu, Bugis, Bali, dan Lombok
Demikianlah cara membersihkan keris dan benda puasa guna menyambut 1 Suro yang dilakukan di Serambi Museum Blambangan Banyuwangi Kecamatan Banyuwangi.(Rishje*)