Struktur Estetika Seni Pertunjukan Ludruk di Kabupaten Jember

 

Eko Suwargono[1]

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember

Email: ekosuwargono15@gmail.com

WA: 085850088572

 

 

Asbtrak

 

Seni pertunjukan ludruk di Jember memiliki struktur pagelaran yang sedikit berbeda dengan struktur pagelaran ludruk di kabupaten lain. Adapun perincian struktur pagelaran ludruk di Jember terdiri dari: tobong, dekorasi, tata lampu, ilustrasi atau gamelan, efek-efek, tata rias dan tata busana, siaran pembuka pagelaran, tari ekstra, seni suara, tari remo, kontes, lawak, dan adegan ceritera (lakon). Melalui struktur tersebut seni pertunjukan ludruk di Jember mengembangkan estetika pagelarannya.

 

Kata Kunci: Pertunjukan ludruk, struktur, estetika

 

PENGANTAR

 

Perkembangan seni-budaya di suatu daerah tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakatnya. Dinamika kehidupan masyarakat akan membentuk atmosfir sosial budaya tertentu yang khas. Lahirnya berbagai macam seni-budaya di masyarakat merupakan ekspresi kreatif masyarakat pendukungnya yang terinspirasi oleh atmosfir sosial budaya yang melatarbelakanginnya. Fenomena kemasyarakatan beserta produk-produk seni-budayanya dapat dipahami dari kesejarahan perkembangan masyarakat tersebut. Perjalanan kehidupan masyarakat dari jaman ke jaman, dari generasi ke generasi akan dibarengi dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan. Ekspresi seni-budaya dengan berbagai macam jenisnya berjalan seiring dengan perjalanan dan perkembangan sejarah kemasyarakatan tersebut.

Keberadaan seni budaya di Jember, dengan merujuk pada uraian diatas, dapat dipahami sebagai ekspresi kreatif masyarakat Jember yang keberadaannya terbentuk oleh perjalanan sejarahnya. Keragaman seni-budaya Jember merupakan representasi dari keragaman komposisi demografis masyarakat Jember. Jika dicermati dari perpektif kesejarahan, masyarakat jember yang ada sekarang ini memiliki akar sejarah yang erat kaitannya dengan kekuasaan Blambangan, kedatangan masyarakat Madura, masyarakat Jawa Mataraman. Pada umumnya masyarakat Jember merupakan masyarakat pendatang. Pada paroh abad XIX, sejak didirikannya perusahaan-perusahaan perkebunan tembakau swasta, terutama yang didirikan oleh George Birnie, untuk mengatasi kurangnya tenaga kerja maka banyak didatangkan pekerja etnis Madura dan Jawa ke Jember (Jupriono dkk, 2018: 392 – 393). Wilayah Jember bagian timur, barat, dan utara masyarakatnya kebanyakan berasal dari Madura. Sedangkang masyarakat Jember bagian selatan merupakan pendatang dari Jawa mataraman, khususnya dari Ponorogo. Merujuk dari komposisi masyarakat Jember tersebut maka dengan jelas dapat dipetakan keberadaan seni-budaya yang hidup dan berkembang di Jember. Seni-budaya yang ada di wilayah Jember bagian selatan kebanyakan seni budaya yang berakar pada seni budaya yang berkembang di masyarakat Jawa mataraman, seperti halnya: wayang kulit, jaranan (kuda lumping), reog, karawitan, campursari, ludruk, dan ketoprak. Adapun, di wilayah Jember barat, timur, dan utara akan didapati seni-budaya yang berasal dari Madura, misalnya: patrol, ludruk, topeng, mamacah, can-macanan kaduk, ta’butaan, dan lengger. Selain dari kelompok besar masyarakat Madura dan Jawa, di wilayah Jember juga ditemukan sekelompok kecil masyarakat dari Banyuwangi, Arab, dan Cina. Oleh karenanya, selain ragam seni-budaya yang bercorak Madura dan Jawa, di wilayah Jember juga ditemui ragam seni-budaya yang bercorak Banyuwangi, Cina, dan Arab. Janger, gandrung, dan jaranan buto merupakan seni-budaya yang bercorak Banyuwangi. Sedangkan barongsai bercorak Cina. Adapun hadrah dan balasik bercorak Arab.

Kesenian tradisional ludruk  merupakan salah satu jenis seni budaya tradisional yang sudah lama hidup dan berkembang di wilayah Jember diantara ragam seni-seni tradisi yang lain. Kalau ditilik dari sisi sejarah, perkembangan ludruk mulai ada di Jember diperkirakan bersamaan dengan datangnya orang-orang Jawa dan Madura di bumi Jember pada paroh abad XIX. Sebagaimana telah diuraikan diatas orang-orang Madura dan orang-orang Jawa mataraman banyak datang ke wilayah Jember untuk menjadi pekerja perkebunan tembakau  yang selanjutnya, setelah bermukim dan tinggal di wilayah Jember ini,  membuka lahan-lahan pertanian baru. Diantara masyarakat pendatang tersebut ada yang berprofesi sebagai seniman ludruk atau yang memiliki bakat bermain ludruk. Di bumi yang baru ini, pada saat-saat senggang, orang-orang pendatang mantan seniman ludruk dan yang memiliki bakat bermain ludruk, atau yang memiliki kesenangan terhadap kesenian ludruk melakukan pentas ludruk kecil-kecilan untuk melepaskan lelah atau untuk mengobati rasa rindu dengan kampung halamannya. Lama-kelamaan, mereka mengembangkan kegiatan senggangnya tersebut menjadi kegiatan yang lebih serius yakni membentuk paguyuban ludruk dan bermain ludruk yang sesungguhnya. Peristiwa ini terjadi baik di kelompok masyarakat jawa pendatang yang berlokasi di wilayah Jember selatan maupun Madura pendatang yang banyak tinggal di wilayah Jember utara, timur, dan barat. Dari generasi ke generasi seni ludruk di Jember terus hidup dan berkembang sampai sekarang.

Pertunjukan Seni Ludruk di Jember

Struktur estetika pagelaran ludruk di Jember diawali dengan menginventarisasi struktur pagelaran itu sendiri. Secara tradisional, berdasarkan pengamatan terhadap pagelaran-pagelaran yang telah dilaksanakan, pagelaran ludruk di Jember memiliki kesamaan struktur pagelaran. Hal itu dikarenakan beberapa faktor, antara lain penyutradaraan, orientasi pagelaran, konsep pagelaran, kepemimpinan paguyuban, dan kapasitas pengetahuan tentang seni pertunjukan.

Data-data yang memadai terkait struktur pagelaran ludruk di Jember akan dapat diperoleh dengan menonton pagelaran ludruk itu sendiri serta melakukan dialog dengan juragan, para pemain serta sutradara. Terkait dengan hal tersebut, selanjutnya dilakukan kegiatan menonton pagelaran ludruk di Jember beberapa kali, serta dilakukan juga diskusi dengan beberapa sutradara, juragan serta pemain ludruk itu sendiri.

Dalam kesempatan bertemu dengan pemain ludruk saat ada pagelaran di acara hajatan (perkawinan), saat itu di Desa Slateng, Ledokombo maka dilakukan diskusi terutama terkait dengan tehnik pagelaran, urutan pagelaran, lama pagelaran, dan juga terkait dengan tata busana dan tata rias. Begitu juga saat ketemu dengan petugas “tehnik” panggung maka juga ditanyakan tentang tata dekorasi dan tata lampu serta efek-efek lain yang dimainkan untuk mendukung keberhasilan membangun estetika pagelaran. Diskusi atau wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi komprehensif tentang struktur pagelaran ludruk yang secara tradisional dilaksanakan di Jember oleh paguyuban ludruk tradisional. Kegiatan investigasi struktur pagelaran ludruk yang saat ini dilakukan hanya untuk memverivikasi apakah saat ini struktur pagelaran ludruk secara tradisional di Jember masih sama dengan yang dulu. Ternyata kondisinya masih sama. Dengan begitu, diyakini bahwa konsep pemberdayaan penguatan estetika struktur pagelaran ludruk di Jember  masih dapat diterapkan.

Pada kesempatan lain untuk menjaring informasi-informasi mutakhir tentang fenomena struktur estetika pagelaran ludruk di Jember,  Maka diundanglah beberapa pemain ludruk, juragan, tehnisi, penata dekorasi dan lighting berdiskusi dan tukar informasi dalam bentuk “rembukan terbatas” untuk mengeksplorasi tradisi pagelaran, terutama terkait dengan struktur pagelarannya. Di sana secara tidak langsung dapat menyelipkan penyampaian konsep struktur pagelaran yang dapat menguatkan kualitas estetika pagelaran. Forum tersebut sebenarnya merupakan workshop konsep penguatan struktur pagelaran dengan kemasan diskusi santai.

`          Agar transformasi konsep penguatan struktur estetika pagelaran ludruk itu bisa sampai dengan efektif maka dalam kesempatan tertentu dilakukan sharing langsung dengan beberapa sutradara ludruk yang terbiasa menangani pagelaran ludruk di Jember. Dengan begitu, masukan-masukan terhadap konsep struktur estetika pagelaran langsung mendapat tanggapan dan pertimbangan dari pelaksana serta pengarah tata kelola alur pagelaran.

Inventarisasi Struktur Pagelaran Ludruk di Jember

Berdasarkan pengamatan terhadap pagelaran ludruk selama ini, pagelaran ludruk di Jember memiliki struktur pagelaran sebagaimana yang kami rincikan dan uraikan berikut ini. Perincian struktur pagelaran ludruk di Jember itu terdiri dari: tobong, dekorasi, tata lampu, ilustrasi atau gamelan, efek-efek, tata rias dan tata busana, siaran pembuka pagelaran, tari ekstra, seni suara, tari remo, kontes, lawak, dan adegan ceritera (lakon).

  1. Tobong

Tobong merupakan panggung pagelaran ludruk. Untuk memberikan daya tarik kepada penonton maka tobong dihias dengan berbagai dekorasi serta lukisan-lukisan bermotif ornamen klasik, patung, tokoh sejarah, dan dinding-dinding candi maupun istana kerajaan. Tobong-tobong yang ada di Jember berukuran 10 X 8 = 80 m2 serta tinggi panggung dari permukaan tanah adalah 1 m bahkan ada yang 1,20 m. Dekorasi tobong dari permukaan panggung hingga atap tobong rata-rata setinggi 5 sampai 6 m. Adapum dari panjang panggung yang 10 meter yang digunakan sebagai arena bermain hanya 8 meter karena samping kanan dan kiri masing-masing dikurangi 1 meter sebagai tempat persiapan keluar-masuk pemain. Adapun lebarnya tetap efektif digunakan 8 meter. Jika dilihat dari penampang depan maka frame atau bingkai tobong yang digunakan untuk arena bermain adalah panjang 8 m dan tinggi 4 m. Pada bagian atas tobong biasanya ditulis nama paguyuban ludruk beserta nama juragannya serta alamat lengkap. Untuk lebih jelasnya, terkait dengan tobong dapat dilihat pada gambar berikut:

 

Tobong paguyuban ludruk Bulan Purnama

         2 Dekortasi dan Tata Lampu

Dekorasi merupakan berbagai macam hiasan pada tobong serta berbagai macam properti kelengkapan untuk memperkuat keindahan dan daya pesona pagelaran. Dekorasi pagelaran ludruk terdiri dari beberapa kelir, yakni, kelir bagian depan (draftsign/drafsen)  dan kelir latar belakang pagelaran yang terdiri dari gambar-gambar sesuai kebutuhan pagelaran, misalnya pemandangan alam, interior istana kerajaan, dinding bambu rumah orang desa, suasana pinggir jalan desa, hutan, taman sari, dan lain sebagainya.bahkan kalau diperlukan dekorasi dapat ditambah dengan properti-properti tambahan misalnya ranting dan dedaunan pohon, bunga-bunga dalam berbagai macam vas bunga, lampu gantung desa, meja kuri, dan lain swbagainya. Untuk lebih jelasnya, terkait dekorasi ini dapat dilihat dalam gambar-gambar adegan pagelaran (tari ekstra, tari remo, lawak, seni suara, dan lakon ceritera) serta gambar tobong ludruk.

Untuk menguatkan nuansa daya tarik (estetika/artistik) dekorasi panggung, maka dalam pagelaran ludruk ditambah dengan permainan tata lampu yang menyesuaikan dengan kebutuhan suasana. Seluruh paguyuban ludruk di Jember sudah menggunakan tata lampu modern dengan berbagai macam warna cahaya.

       3 Siaran Pembuka Pagelaran

Acara ini tidak berupa adegan tampil di panggung akan tetapi merupakan siaran pembukaan pagelan oleh MC atau siapapun yang ditugasi sebagai pengantar menuju dimulainya pagelaran. Dalam siaran ini disampaikan lakon yang akan dibawakan serta penyebutan nama-nama pemeran ceritera (credit title). Penyampaian siaran pembuka dibuat sedemikian rupa sehingga dapat membangun suasana lebih menarik dan menggugah minat penonton lebih kuat untuk menikmati pagelaran. Redaksi siaran disampaikan berjenjang sesuai kebutuhan dan setiap jenjang diiringi ilustrasi gamelan yang khas dan sepertinya memiliki irama yang sama dalam semua pagelaran ludruk di Jember. dan, penyiarnyapun juga hanya di sekitar tiga orang saja di Jember. Mungkin mereka sudah dianggap ahli dalam hal ini. Di akhir puncak siaran biasanya diklimakkan dengan diletuskannya petasan yang cukup keras. Suasana seperti itu sengaja dibikin untuk meningkatkan gelora semangat menikmati pagelaran. Dan untuk lebih memeriahkan suasana, begitu terdengar suara letusan petasan satu hingga tiga kali langsung diikuti dengan peluncuran kembang api ke angkasa tepat diatas dan kanan-kiri tobong. Selanjutnya, setelah pesta kembang api usai, juru siaran dari balik kelir langsung menyampaikan informasi bahwa pagelaran segera dimulai dengan adegan pembuka yakni “tari ekstra”.

        4.Tari Ekstra

Adegan tari ekstra dimaksudkan untuk memberikan suguhan awal yang menarik dan mencairkan suasana untuk mengawali semangat menikmati pagelaran. Tari ekstra biasanya menampilkan kemampuan menari tentang berbagai jenis tarian-tarian yang berkembang di sekitar Jember. beberapa jenis tarian ekstra yang sering ditampilkan adalah: tari burung garuda, tari can-macanan kaduk, tari ular, tari bujang ganong, tari gandrung, bahkan ada juga tarian yang menirukan tari-tarian yang ada di film india. Jadi tari ekstra ini tidak ada pakemnya. Hal yang paling penting digelarkannya tari ekstra ini adalah untuk mengawali pagelaran dengan suasana gegap gembira dan penuh suka cita sehingga penonton betah dan bersemangat menikmati acara berikutnya.

Tari ekstra untuk mengawali pagelaran ludruk

       5.Seni Suara

Adegan pagelaran berikutnya setelah tari ekstra selesai adalah adegan seri suara. Lagu-lagu yang dibawakan dalam seni suara ini biasanya lagu-lagu daerah atau gending-gending tradisional yang biasa dilantunkan dalam musik tradisi campur sari. Tampilan seni suara secara

 

Adegan seni suara oleh kelompok pelantun seni suara

tradisional dibawakan secara koor. Lagu paling awal yang dibawakan dalam adegan seni suara adalah lagu  milik paguyuban ludruk yang sedang melaksanakan pagelaran. Seni suara dibawakan oleh para pelantunnya dengan mengenakan kostum tradisional.

       6.Tari Remo

Adegan tari remo dalam kesenian ludruk merupakan ciri utama yang tidak dapat ditinggalkan. Dimanapun tempatnya pagelaran kesenian ludruk pasti menampilkan tari remo dengan gerak koreografinya yang khas. Dalam tari remo juga mesti dilantunkan tembang khas ludruk yang disebut “kejungan”. Tari remo bisa dibawakan oleh satu penari, dua penari, tiga penari, bahkan bisa sampai enam penari. Di Jember tari remo biasanya dibawakan dua penari

Adegan tari remo yang dibawakan dua penari

hingga tiga penari. Penari remo di Jember selalu dibawakan penari wanita yang dirias laki-laki. Pada pagelaran ludruk, lazimnya, tari remo menari sekitar 20 menit beserta kejungannya. Setelah selesai menari para penari langsung masuk kedalam panggung. Namun tidak begitu yang terjadi di Jember. setelah selesai menari dan ngejung ala pakem tari remo, para penari tidak langsung masuk panggung akan tetapi meneruskan penampilannya dengan membawakan lagu-lagu hiburan dengan melakukan joget-joget yang sama sekali keluar dari pakem remo. Lagu yang dibawakannya bisa lagu dangdut, campur sari, banyuwangian, dan lain-lain. Dan, tidak lama berselang, tampilan joget berdendang para penari remo tersebut disambut oleh para lelaki dari penonton yang naik panggung dan ikut berjoget serta memberikan uang kepada para penari yang disebut uang sawer. Adegan ini bisa berlangsung lama tanpa kendali. Hal itu dilakukan para penari remo dan memang sepertinya sudah menjadi tradisi di kalangan pagelaran ludruk Jember. Motif yang paling kuat mendasari adegan remo berdendang ini mungkin karena dalam adegan itu ada harapan mendapatkan uang sawer dari para penyawer sebagai tambahan pendapatan. Namun, menurut hemat kami, adegan ini perlu dievaluasi karena berpotensi menurunkan estetika struktur pagelaran ludruk. Selain itu, ciri khas tari remo sebagai ikon tari dalam pagelaran ludruk menjadi terkikis.

          7.Kontes

Tren baru pada pagelaran ludruk di Jember adalah adegan yang disebut “kontes”. Adegan

Adegan kontes oleh para artis kontes

ini sepertinya didesain sebagai selingan untuk menciptakan suasana suka cita penuh hiburan . Kehadiran adegan kontes sepertinya terinspirasi oleh acara-acara populer di media televisi sejenis talkshow artis ibu kota. Dalam acara kontes ini dipandu oleh seorang “host” dengan dandanan parlente sebagaimana pemandu acara-acara talkshow modern di TV. Sedangkan para artis kontes mengenakan busana-busana ala artis ibu kota, atau mengenakan kostum penyanyi musik show. Pesona yang ingin diciptakan oleh adegan kontes ini adalah nuansa “keren” yang terkesan tidak ketinggalan jaman. Tentunya geliat hiburan kemasan kontes ini menyasar pada kalangan generasi muda yang kultur seni budayanya sudah metropolis, tidak ndesoan, dan kontemporer. Sepertinya adegan kontes ingin menyematkan lebel modernitas pada seni ludruk yang dianggap sudah keinggalan jaman oleh masyarakat masa kini khususnya generasi muda atau generasi milenial.

Pagelaran hiburan yang dibawakan adegan kontes adalah murni hiburan dengan kemasan melantunkan nyanyi-nyanyian modern dan atraktif. Bahkan iringan musiknyapun juga menggunakan elekton atau seperangkat musik dangdut. Jarang adegan kontes ini diiringi gamelan ludruk, kecuali ada permintaan lagu-lagu bernuansa tradisional atau campursari. Panggung hiburan kontes pada pagelaran ludruk memang mengundang perhatian yang cukup kuat dari penonton. Banyak sekali penonton yang naik panggung untuk ikut berjoget dengan artis kontes dan mereka memberikan uang sawer pada sang artis. Pagelaran kontes ini biasanya juga tidak terkendali waktunya, dan banyak menyita waktu yang dibutuhkan oleh inti pagelaran ludruk itu sendiri. Sebagaimana yang terjadi pada tari remo, adegan kontes ini juga perlu mendapatkan evaluasi kritik agar tidak memiliki dampak negatif pada eksistensi pagelaran ludruk yang semestinya.

 

         8.Lawak

Rasanya kurang syah jika dalam pagelaran ludruk tidak ada adegan lawaknya. Sebagaimana keberadaan tari remo yang menjadi penciri utama pagelaran ludruk, maka adegan lawakpun juga begitu posisinya. Kebanyakan penonton pagelaran ludruk biasanya menunggu-nunggu kehadiran adegan lawak ini. Ciri khas adegan lawak adalah komidius dan menyampaikan kritik-kritik sosial yang dikemas lucu. Karena sifatnya yang lucu, maka adegan lawak menawarkan suasana segar dan dapat mencairkan suasana tegang sebagai penghilang stres. Oleh karenanya, adegan lawak menjadi adegan favorit penonton yang sangat ditunggu-tunggu. Selain kepiawiannya menyampaikan lontaran-lontaran yang lucu dan menyenangkan, para pemain lawak juga dituntut utuk dapat melantunkan gending-gending “kejungan” sebagai ciri khas pagelaran ludruk. Dalam pagelaran ludruk, adegan lawak merupakan struktur adegan utama yang tidak boleh ditinggalkan. Hal-hal yang masih perlu dievaluasi dalam adegan lawak adalah suguhan-suguhan lucu yang kadang-kadang cenderung terkesan pornografik. Sebisa mungkin kemasan lucu harus cerdas dan tidak meninggalkan ungkapan-ungkapan berbasis etika dan nilai-

Adegan lawak

 

nilai budaya bangsa yang syarat  dengan kebijagsanaan dan kearifan budi.

Terkait dengan durasi waktu saat melakukan adegan, kadang-kadang para pelawak lupa waktu ketika adegan benar-benar berlangsung meriah dan menggembirakan. Manajemen waktu saat pagelaran benar-benar harus dikelola dengan baik agar acara dasar pagelaran tidak tergerogoti waktunya. Pernah kami menyaksikan adegan lawak ini berlangsung hingga 3 jam. Karena kemoloran waktu tersebut akhirnya waktu yang diperlukan inti pagelaran ludruk, yakni , ceritera atau lakon menjadi berkurang dan jadwalnyapun molor hingga memasuki waktu pagi sekitar jam 02.30. kejadian ini sangat tidak bagus bagi keberlangsungan pagelaran ludruk. Saat adegan cerita sebagai inti pagelaran akan ditampilkan penonton sudah pulang semua karena waktu sudah pagi. Akibatnya, pagelaran ceritera tetap dilangsungkan tetapi dengan jumlah penonton yang sangat sedikit. Peristiwa seperti ini sangat merugikan transformasi estetika pagelaran ceritera ludruk pada publik, yakni, penonton karena keteledoran pengelolaan waktu.

 

          9.Cerita/Lakon

 

Pagelaran ludruk intinya adalah  menggelarkan ceritera atau lakon. Seluruh struktur pagelaran sebenarnya dalam rangka  mengantarkan ditampilkannya pagelaran ceritera ini. Oleh karena itu jika struktur pagelaran ludruk yang lain itu justru menyempitkan tampilnya pagelaran ceritera atau lakon maka pagelaran ludruk itu dianggap gagal. Pengelolaan pagelaran harus mampu memberi porsi 70% waktu diperuntukkan untuk penampilan ceritera. Kebanyakan pagelaran ludruk di Jember dalam acara-acara hajatan atau yang lain selalu porsi waktu untuk pagelaran ceritera hanya sekitar 30%, yang 70% untuk struktur pagelaran yang lain. Dan, fenomena ini menunjukkan keterbalikan misi utama pagelaran ludruk. Pagelaran ceritera yang mestinya menjadi acara utama akhirnya menjadi tempelan yang terkesan sekedar ada. Fenomena ini harus diubah dan kegiatan pengabdian ini adalah dalam rangka mengubah itu agar hakekat pagelaran ludruk yang sesungguhnya terbangun kembali.

Struktur estetika pagelaran ludruk sebenarnya terpusat pada pagelaran ceritera ini. Dekorasi, tata lampu, artistik panggung, tata rias, tata busana, keaktoran, ilustrasi gamelan, dan alur ceritera didadapatkan pada pagelaran ceritera ini. Pemberdayaan estetika struktur pagelaran ludruk mesti dibenahi dari bagaimana memaksimalkan tampilan pagelaran secara artistik dan utuh pada pagelaran ceritera. Penguatan penokohan dalam berbagai kapasitasnya bertolak dari kesempurnaan memerankan tokoh dalam adegan ceritera. Begitu juga tata rias dan tata busana tidak dapat terlepas dari muatan tokoh aktor aktrisnya.

Alur ceritera dan seting ceritera akan sangat mempengaruhi penggarapan dekorasi artistik panggung beserta ilustrasi karawitannya. Bahkan, usaha penyempurnaan alur dan seting ceritera kadang-kadang memerlukan efek dari berbagai property maupun materi tertentu. Oleh karena itu betapa pentingnya peran adegan ceritera ini dalam membangun kesempurnaan estetika pagelaran. Jika pagelaran ludruk, khususnya di Jember, masih belum bisa memposisikan pagelaran ceritera ini pada posisi yang untama dalam konsep pagelaran maka  tentunya sangat

 

Beberapa adegan ceritera dalam pagelaran ludruk di Jember

dikhawatirkan bangunan struktur estetika pagelaran ludruk akan runtuh. Dan, kalau sudah terjadi seperti itu maka pagelaran ludruk akan segera ditinggalkan penontonnya.

KESIMPULAN

Pagelaran ludruk di Jember memiliki struktur pembangun estetika yang banyak. Dari hasil pengamatan beberapa pagelaran ludruk di Jember ada enam struktur adegan dalam pagelaran ludruk. Enam struktur itu adalah: tari ekstra, seni suara, tari remo, kontes, lawak, dan lakon. Dalam beberapa pagelaran keenan struktur adegan tersebut belum dimaksimalkan perannya dalam mengusung kualitas estetika pagelaran. Antara satu adegan dengan adegan yang lain nyaris tidak terkelola penjadwalannya maupun proporsi durasi pagelarannya. Sehingga mengalirnya tata pagelaran tidak terasa sambungan atau rajutan kualitas estetisnya. Dari keseluruhan pagelaran hanya mengesankan adanya pertunjukan yang hingar bingar dan nyaris mengesampingkan penguatan estetika inti pagelaran ludruknya. Tari remo dan lawak yang mestinya menguatkan citra pagelaran ludruk di awal pagelaran seringkali keluar dari ruh tari remo dan lawakan ludruk. Memperhatikan fenomena ini, maka perlu dilakukan revitalisasi pagelaran ludruk agar pagelaran ludruk di Jember kembali ke marwah pagelarannya.

 

Daftar Pustaka

Ahmadi, Muhsin dkk,.1984. Kajian Aspek Kesusastraan dalam seni Ludruk Jawa Timur.

Depdikbud Jatim. Surabaya.

 

Lisbijanto, Herry. 2013. Ludruk. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Peacock, James L.2005. Ritus Modernisasi, Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia.

Desantara. Depok Jawa Barat.

 

Prakosa, R.Djoko. 2016. Tari Remo di Surabaya, Dari Terob, Tobong Menuju Ruang Kelas.

SatuKata Book@rt Publisher. Juanda-Sidoarjo.

Supriyanto. 2018. Ludruk Jawa Timur dalam Pusaran Jaman. Beranda. Kelompok Intrans

Publishing Wisma Kalimetro. Malang.

 

Taufiq, Ahmad. 2013. Apresiasi Drama Tradisional Ludruk, Refleksi Kekuasaan, Karakteristik

                   Pertunjukan, dan Strategi Pengembangan. Gress Publishing. Yogyakarta.

 

[1] Dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember