Final, Bung Karno Keturunan Darah Kediri

Haul Bung Karno Ke-53 digelar oleh berbagai komunitas di Kediri dengan mengambil tema “Orang Kediri harus mengerti Ternyata Soekarno Keturunan Kediri”. Acara yang diisi dengan doa bersama lintas agama, selamatan, santunan anak yatim dan diskusi kebangsaan bertempat di Situs Ndalem Pojok Persada Sukarno Ds Pojok Kec. Wates Kab. Kediri. Selasa 20 Juni 2023.

“Sebagai orang Kediri kita merasa perlu mengkaji dan mendalami sebuah informasi penting yang menyatakan Bung Karno keturunan Kediri. Untuk itulah bersamaan haul ini kita gelar diskusi untuk mendalami hal itu,” aku Likito Sudiarto Ketua Panitia Haul Bung Karno Ndalem Pojok.

Menurut Lukito selama ini belum ada lembaga di Kediri yang membedah informasi tersebut.

“Nampaknya belum pernah ada lembaga atau komunitas yang membedah masalah ini. Kami sering pertanya kepada kawan-kawan di Kediri hampir tidak ada yang tahu kalau Bung Karno pernah mengatakan jika beliau keturunan Sultan Kediri. Sebagaimana tertulis dalam otobiografi Bung Karno halaman 23 “Bapakku adalah Keturunan Sultan Kerajaan Kediri,” ungkapnya.

Padahal, masih menurut Pria yang juga guru Sekolah Dasar ini, kalau masyakarat Kediri khususnya anak-anak mengetahui dan menyadari bisa menimbulkan rasa bangga dan rasa bangga bisa membuahkan cinta tanah air Indonesia,” terang Lukito.

Lantas bagaiman hasil diskusi soal pendalaman pernyataan Soekarno keturunan Sunan Kediri. Ketua Harian Situs Persada Sukarno mengatakan ada tiga pandangan.
Pertama dari Fachris Pegiat sejarah Kediri. Menurut Fachris pernyataan Soekarno menyebut dirinya keturunan Sultan Kediri ini muncul karena Sukarno tidak terima telah disebut media Belanda sebagai anak hasil perselingkuhan atau upaya Bung Karno menangkis serangan fitnah dari pihak Belanda.

Sebagaimana diterangkan pada bagian awal buku Penyambung Lidah Rakyat, sebuah radio di Belanda pernah menyiarkan bahwa Sukarno adalah anak campuran Belanda dan Pribumi. Sukarno disebut bukan orang Jawa. Kata radio itu, Sukarno lahir dari buruh pribumi yang dihamili oleh seorang tuan tanah perkebunan kopi berdarah Belanda.

“Untuk mengklarifikasi fitnah tersebut, Bung Karno menegaskan jika ibunya adalah seorang perempuan keturunan Bali dan kakek pendahulunya dari jalur ayah adalah salah satu prajurit Pangeran Diponegoro, yaitu Raden Danoewikromo—diperkirakan lahir tahun 1804. Ini menurut pandangan Mas Fachris.
Berbeda dengan pandangan Dian Sukarno penulis buku Kawah Candradimuka Bung Karno.
Menurut Dian Ndalem Pojok diwariskan oleh Patih Pakubuwono IX kepada RMP Soemohatmodjo; selanjutnya diwariskan kepada putra pertama Soemohatmodjo, RM Surati Soemosewojo—ayah angkat Bung Karno; kemudian diwariskan lagi kepada putra terakhir Soemosewojo, RM Sayid Soemodihardjo. Nama terakhir pernah menjadi kepala rumah tangga Istana Kepresiden di Gedung Agung di Yogyakarta ketika Sukarno menjadi Presiden RI.

Dian menyimpulkan, fakta sejarah inilah yang menjadi dasar pengakuan Sukarno bahwa dia adalah keturunan Sultan Kediri. Namun, menurut Dian, pernyataan itu bukan bermaksud menerangkan bahwa di Kediri ada kesultanan, dan Sukarno merupakan keturunan sultannya. Tetapi pernyataan tersebut merujuk ke Ndalem Pojok yang ada di Wates, Kediri, di mana Bung Karno pernah bermukim di bawah asuhan ayah angkatnya, RMP Soemoatmodjo, di rumah itu. Sementara RMP Soemoatmodjo, adalah putra Paangeran Suryo Kusumo yang tak lain adalah keturunan Sultan Hadiwijaya.

“Kisah Bung Karno dan Soemosewojo di Situs Ndalem Pojok juga diakui oleh keluarga Bung Karno. Salah satu bentuk pengakuan itu adalah ketika keluarga besar Sukarno yang tergabung dalam Yayasan Bung Karno meresmikan Situs Ndalem Pojok sebagai Persada Sukarno Yayasan Bung Karno pada 28 Oktober 2015. Jadi menurut Mas Dian Sukarno pernyataan Bung Karno “Bapakku keturunan Sultan Kediri” ini ada benang halus dengan Ndalem Pojok,” terang Kushartono.

Terahir analisa dari Farid penulis buku Soekarno dan Tim riset Samudra Fakta memiliki hipotesa lain. Bisa jadi Sukarno memang keturunan Sultan Kediri, Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa atau Prabu Sri Aji Jayabaya, yang memerintah Kerajaan Panjalu atau Kadiri selama 24 tahun—selama 1135-1159. Dia tersohor sebagai raja adil dan bijaksana.

Dalam Prahara Bumi Jawa Sejarah Bencana dan Jatuh Bangunnya Penguasa Jawa, Otto Sukatno C.R. menuliskan, pada zaman Raja Jayabaya tidak ada orang yang dikurung, sehingga penjara tidak diperlukan. Yang berlaku saat itu hanya hukuman denda. Mereka yang dinyatakan bersalah harus membayar denda yang besarannya ditentukan. Sementara pencuri, perampok, dan penyamun, dan pelaku tindak kejahatan besar lainnya langsung dihukum mati. Dengan kekuatan dan kebijakannya, Jayabaya berhasil menyatukan Panjalu dan Jenggala yang bertahun-tahun berseteru akibat perang saudara.

Soal kenapa Sukarno menyebut Raja Kediri sebagai “Sultan”—yang identik dengan gelar raja-raja Islam—Tim Samudra Fakta mendapatkan data sejarah yang kemungkinan bisa menerangkan kenapa Sukarno memilih istilah tersebut untuk menyebut Raja Kediri. Bukti tersebut mengindikasikan bahwa kemungkinan Prabu Jayabaya memang sudah memeluk Islam.

Dalam Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya, karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita, Prabu Jayabaya digambarkan memiliki kemampuan luar biasa dalam meramal masa depan dan telah menganut agama Islam. Bahkan dalam versi Serat Jayabaya yang lain digambarkan bahwa keislaman yang paling mendekati praktik Nabi adalah keislaman Prabu Jayabaya pada masa itu. “Yen Islama kadi Nabi, Ri Sang Jayabaya (Jika ingin melihat keislaman yang yang mendekati ajaran Nabi (Muhammad Saw.), orang demikian adalah Sang Jayabaya),” tulis serat tersebut. Keterangan ini tercantum pada halaman 20 buku Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon yang ditulis oleh Moh. Hari Soewarno (PT. Yudha Gama Corp, Jakarta, 1982).

Soal keislaman Prabu Jayabaya, Serat Praniti Wakya menjelaskan bahwa raja Kediri tersebut berguru kepada Maulana Ngali Syamsujen yang berasal dari Negeri Rum. Yang dimaksud adalah Maulana ‘Ali Syamsu Zein, seorang sufi yang kemungkinan besar berasal dari Damaskus, Suriah. Prabu Jayabaya, sebagaimana digambarkan dalam Praniti Wakya, sangat patuh menjalankan ajaran gurunya yang beragama Islam tersebut.

“Inilah diantara hasil diskusi pendalaman mengapa Bung Karno menyatakan Bapakku keturunan Sultan Kediri. Hampir tidak ada yang menolak dan semua sepakat Bung Karno berdarah Bali dan Kediri,” pungkas Kus.* surya