Yayasan Sentono Dalem Majan Peduli Kepada Para Jupel Cagar Budaya

Tulungagung-menaramadinah.com-YAYASAN Sentono Dalem Majan Kec. Kedungwaru bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan & Pariwisata (Budpar) Tulungagung mengadakan pembekalan kepada para jupel (juru pelihara) atau juru kunci cagar budaya se-Kab. Tulungagung  di halaman masjid Al-Mimbar Majan, Jumat (9/6).

Kegiatan tersebut dilaksanaan dalam rangka rangkaian acara Haul agung 246 tahun Eyang KH R Khasan Mimbar (pendiri Perdikan Majan Kec. Kedungwaru dan Ulama awal yang melakukan syi’ar dakwah di daerah Tulungagung) yang dilaksanakan selama 12 hari sejak tanggal 1 Juni lalu. Haul KH R Khasan Mimbar diisi dengan berbagai acara, antara lain Membumikan Dzikir di Bumi Kasepuhan Perdikan Majan bersama Al-Khidmah, Sambung sanad leluhur dengan pembacaan Yasin & Tahlil, Manaqib & Maulidurrosul, Kasepuhan Majan Bersholawat bersama KH. Shinhaji dan Jam’iyyah Sholawat Narriyah Mustaghitsu Al Mughits, Membumikan Sholawat Di Bumi Kasepuhan Perdikan Majan bersama Ki Sudrun Blitar, dan sebagainya. Rangkaian kegiatan Haul agung 246 tahun Eyang KH R Khasan Mimbar tersebut diawali dengan Grebeg Agung Bhinneka Tunggal Ika bersamaan dengan hari lahir Pancasila 1 Juni (1945-2023) di pendapa Taman Budaya Tulungagung yang dilaksanakan BARANUSA (Barisan Raja Adat Sultan Nusantara) Tulungagung.

Acara pembekalan kepada para jupel atau juru kunci se-Kab. Tulungagung yang jumlahnya 58 orang tersebut merupakan kepedulian dari Sentono dalem Majan kepada mereka (jupel atau juru kunci).

“Insyaallah besuk-besuk akan kita adakan lomba kepada para jupel atau juru kunci dalam menjalankan tugasnya merawat dan menjaga situs atau makam denga hadiah pedhet (anak sapi) atau kambing,” ujar Dr. R. Moh. Ali Shodik, ketua Yayasan Sentono Dalem Majan ketika memberikan sambutan di hadapan para jupel.

Hal itu, jelas R. Ali Shodik, dimaksudkan untuk memovitasi kepada para jupel atau juru kunci agar memiliki etos kerja dalam menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan, ia juga sudah mengusulkan agar pemerintah juga memperhatikan kesejahteraan mereka dengan menaikkan gaji para jupel atau juru kunci yang secara umum masih tergolong sangat rendah.

Usulan R. Ali Shodik tersebut disambut baik oleh Winarto yang mewakili Kepala Budpar Tulungagung (Bambang Ernowo) yang berhalangan hadir pada acara tersebut. “Tentu kami akan berusaha seoptimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan para jupel atau juru kunci,” ujar Winarto disambut antusias para jupel.

Dalam kesempatan itu, Winarto yang membidangi Cagar Budaya di Budpar menjelaskan mengenai pentingnya cagar budaya yang merupakan warisan budaya yang bersifat kebendaan. Dalam hal ini cagar budaya mencakup tiga hal penting, yakni perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan dari cagar budaya yang seluas-luasnya untuk kepentingan pengetahuan (pendidikan) atau agama kepada para siswa dan masyarakat umum, termasuk untuk tujuan wisata.

Nara sumber pertama Dr (c) Fatkur Rohman Nur Awalin, MPd, dosen UIN Satu Tulungagung menjelaskan mengenai makna juru kunci—yang sekarang diganti menjadi jupel atau juru pelihara—yang intinya mereka merupakan kuncen atau mengunci dari makam yang dijaganya. Sebab biasanya seorang juru kunci di suatu makam kramat, dia (juru kunci) memiliki hubungan trah dari tokoh makam tersebut, sehingga dialah orang yang dianggap paling mengerti mengenai sosok makam yang dijaganya.

“Dan, dalam tradisi di daerah kita, tidak bisa dipungkiri bahwa cerita tutur (oral) dari juru kunci masih memegang peranan penting mengingat keterbatasan dari manuskrip (tulisan kuno) yang ditinggalkan,” ujar Fatkur Rohman.

Meski demikian, belum lama ini ia tengah meneliti peninggalan manuskrip di makan kuno yang dikramatkan warga di daerah Kab. Malang yaitu Makam Eyang Djoega dan Kyai Iman Sudjono di Gunung Kawi Kab. Malang. Mereka, selain dikenal sebagai ulama yang melakukan syi’ar dakwah Agama Islam kepada masyarakat di sana, mereka merupakan anak buah dari Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda.

Selain itu, Fatkhur juga mengharapkan agar para jupel (juru kunci) terutama yang bertugas menjaga situs atau cagar budaya seperti candi dan bangunan kuno lainnya mau belajar Bahasa Inggris sedikit demi sedikit untuk memberikan penjelasan kepada turis manca negara yang mengunjungi situs atau cagar budaya di tempat mereka bertugas.

Sementara itu, Ki Wawan Susetya, budayawan Tulungagung mengingatkan kembali mengenai “kebesaran” bangsa Jawa dan Nusantara, lantaran para leluhur Jawa telah memiliki sesuatu yang sangat berharga, yakni;

Pertama, memiliki aksara (huruf Jawa) yang berbunyi Hana caraka, Data sawala, Padha jayanya, Maga bathanga.

Kedua, memiliki penanggalan (kalender) sendiri yang lebih tua daripada kalender Islam (Hijriyah) atau 78 tahun setelah penanggalan kalender Masehi yang sekarang tahun 2023.

Ketiga, memiliki pranata mangsa (perhitungan mengenai pertanian dan sebagainya).

Selain itu, Wawan juga mengingatkan bahwa sesungguhnya bangsa Nusantara pernah mengalami masa kejayaan atau masa keemasan sebagai bangsa besar di dunia, yakni pada abad ke-7 kejayaan Kerajaan Sriwijaya, abad ke-14 kejayaan Kerajaan Majapahit. “Artinya kita sebagai bangsa itu tergolong bangsa besar di dunia, siapa tahu kebesaran bangsa kita tersebut akan terulang kembali pada abad ke-21 ini,” harapnya.

Wawan juga menjelaskan mengenai makna dari aksara Jawa (Hana caraka, Data sawala, Padha jayanya, Maga bathanga) yang ternyata sinkron dengan kandungan di dalam kitab suci al-Qur’an dan kitab suci lainnya. Ditambahkan pula mengenai identifikasi orang Jawa, antara lain ditandai dengan busana (pakaian khas), wisma (rumah limas), turangga (kendaraan atau tunggangan), kukila (burung perkutut) dan curiga (keris).

Narsum terakhir Dr (c) Aladdin Ali Raja, SHI, MHI mengajak kepada para jupel (juru kunci) untuk melaksanakan tugasnya dengan tulus ikhlas. “Bagaimana pun, gaji bapak ibu para jupel di sini, saya yakin jauh di atas dari para abdi dalem di Kraton Yogyakarta yang berkisar dari Rp. 15 ribu sampai Rp. 90 ribu,” jelas Aladdin Ali, dosen UIN Satu Tulungagung.

Aladdin Ali seorang ustadz yang kerapkali tampil bersama komedian Dwijo (Jo Klutuk & Jo Klitik) itu mengingatkan kepada para jupel bahwa yang namanya rizki itu seringkali jalannya tidak disangka-sangka. Seperti halnya para abdi dalem di Kraton Yogyakarta, meski gajinya kecil, tapi kenyataannya mereka bisa menguliahkan putra-putrinya. (Wawan Susetya).

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *