BANGSA INDONESIA yang terdiri banyak suku, beberapa agama, ras dan antar golongan sesungguhnya memiliki potensi terjadinya pecah atau mengalami dis-integrasi dengan mudah.
“Tetapi hal itu tidak terjadi lantaran kita memiliki Pancasila sebagai dasar negara yang musti kita pertahankan sampai hari akhir,” demikian dikatakan Laksda (purn) Harry Yuwono selaku keynote speaker dalam sarasehan budaya bersama ForSabda (Forum Sarasehan Seni & Budaya) di Lotu’s Garden Tulungagung, Jum’at malam (16/6). Wawan Susetya dari Menara Madinah melaporkan dari Tulungagung.
Dalam sarasehan dengan tema Perjuangan Bung Karno Dan Pancasila antara Filosofi Grondslag & Ideologi Bangsa itu Laksda Harry Yuwono mengisahkan percakapan antara Bung Karno dengan Josef Broz Tito (Presiden Yugoslavia) yang saling menanyakan mengenai nasib bangsanya masing-masing. Dalam pada itu, Presiden Tito dengan bangga mengatakan bahwa dia memiliki tentara-tentara yang berani dan tanggung untuk melindungi bangsanya.
Sebaliknya, ketika ditanya mengenai keadaan bangsanya, Bung Karno dengan tenang menjawab, “Aku tidak khawatir karena aku telah meninggali bangsaku dengan sebuah way of life, yaitu Pancasila.”
Keadaan negara Yugoslavia dan Indonesia sangat berbeda. Wilayah Yugoslavia tidak terpisah-psah dan etnis (suku) di negara tersebut sangat sedikit. Hal itu berbeda jauh dengan keadaan Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau-pulau dengan jumlah suku yang sangat banyak. Dan kenyataannya bangsa Yugoslavia mengalami pecah menjadi 7 (tujuh) negara kecil seperti Serbia, Kroasia, Bosnia, Slovenia, Montenegro, Kosovo dan Makadenoa. Sementara bangsa Indonesia masih tetap utuh dan bersatu-padu sepeninggal Bung Karno yang telah meninggalkan Pancasila sebagai dasar negara.
Sebelum sarasehan budaya untuk mengenang jasa Bung Karno sebagai penggali Pancasila dan peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 1945 itu Ki Lamidi, sesepuh Veteran Tulungagung membakar semangat para audience terutama para pemuda dan mahasiswa agar tetap berpegang teguh Pancasila yang telah terbukti dapat mempersatukan bangsa Indonesia. Dalam penyampaian sekapur sirih tersebut, Ki Lamidi sampai menitikkan air mata mengenang perjuangan Bung Karno dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai penggali Pancasila.
Ada empat nara sumber dalam sarasehan tersebut, yakni Laksma (purn) Hadi Santoso, Budi Kastowo (pustakawan Perpustakaan Proklamator Bung Karno), Ki Wawan Susetya (budayawan) dan Dr. M. Teguh (akademisi dan filosof).
Pancasila Bersifat Universal
Laksma (purn) Hadi Santoso meyakini bahwa Pancasila yang menjadi falsafah bangsa dan rakyat Indonesia itu sebenarnya dapat menjadi falsafah bagi masyarakat dunia. Lantas bagaimana caranya Pancasila dapat menjadi falsafah bagi masyarakat dunia?
“Tidak lain dengan merujuk empat perspektif dari dalam diri manusia sebab Pancasila itu sesungguhnya Pancasila itu ada di dalam diri kita atau dinamika dalam diri manusia, yaitu nurut, nalar, naluri dan nurani yang semuanya harus dilandasi dengan nilai-nilai Pancasila,” kata Laksma Hadi Santoso sembari menjelaskan nurut merujuk pola tindak, nalar merujuk pola pikir, naluri merujuk pola sikap dan nurani merujuk pola rasa.
Oleh karena itu, harap Laksma Hadi, para generasi muda sekarang ini hendaknya dapat mewarisi pemikiran luhur dari para founding fathers yang lebih jernih dan lebih jauh dan mengembangkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebab Pancasila menjadi pemersatu dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat hingga masyarakat dunia.
“Semoga nilai Pancasila dapat mewarnai seluruh dunia secara universal,” tandasnya.
Bulan Juni Bulannya Bung Karno Dan Pancasila
Sementara itu, Budi Kastowo, pustakawan Perpustakaan Proklamator Bung Karno mengingatkan bahwa bulan Juni itu memang identik dengan bulannya Bung Karno dan Pancasila. Sebab lahirnya Bung Karno tanggal 6 Juni (1901) dan 21 Juni wafatnya Bung Karno, sedang lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni (1945).
“Maka setiap bulan Juni, di kota Blitar dan di beberapa kota lain selalu mengadakan kegiatan untuk mengenang bulannya Bung Karno dan Pancasila,” kata Budi Kastowo sembari mengapresiasi mengenai sarasehan budaya tentang Bung Karno dan Pancasila yang diadakan oleh ForSabda pada malam itu.
Pasca reformasi dan dengan dihapusnya P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada tahun 1998, menurut Budi Kastowo, rasanya banyak masyarakat dan terutama para pelajar yang seolah-olah menjadi lupa kepada Pancasila. Untungnya bahwa Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan Keppres no. 24 tahun 2016 bahwa lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945.
Budi kemudian menjelaskan bahwa pada tanggal 1 Juni 1945 itu Bung Karno berpidato dalam rangka menjawab pertanyaan Ketua BPUPK dr. Radjiman Wedyodiningrat yaitu mengenai dasar suatu negara (Indonesia) yang akan merdeka. Pada saat itu ada tiga tokoh bangsa yang menyampaikan pidatonya yaitu Mr. Supomo, Mr. Moh. Yamin dan Bung Karno.
“Pemikiran Bung Karno mengenai dasar suatu negara tersebut dimaksudkan semua untuk semua dan untuk selama-lamanya. Bukan untuk setahun dua tahun, sewindu dua windu, tapi untuk selama-lamanya. Maka dari itu diperlukan suatu dasar yaitu dasar yang dapat diterima oleh seluruh perbedaan dan dasar yang dapat menerima seluruh perbedaan,” tandasnya.
Lebih jauh Budi menjelaskan mengenai makna kemerdekaan adalah politik indepensi atau kedaulatan politik. Maka, di seberang jembatan emas kemerdekaan itu, Bung Karno menyatakan kebulatan tekad atau memiliki semangat yang kuat dan tidak ragu-ragu. Sementara syarat untuk memerdekan suatu negara, di antaranya mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, ada pemerintahan dan ada pengakuan dari negara lain yang sudah merdeka.
Maka dalam kesempatan pidatonya itu Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai filosofi grondslag, yaitu:
- Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme
- Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan
- Mufakat atau Demokrasi
- Kesejahteraan Sosial
- Ketuhanan Yang Maha Esa
Lebih jauh Budi Kastowo menjelaskan bahwa dari sila sila yang diusulkan Bung Karno termasuk Mr. Supomo dan Moh. Yamin sebelumnya, lalu digodok oleh Panitia Sembilan dan kemudian ditetapkan oleh PPKI sebagai dasar negara Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan urutan seperti Pancasila sampai sekarang.
Pancasila Identik dengan Pandhawa dan Rukun Islam
Budayawan Ki Wawan Susetya mengatakan bahwa Pancasila yang begitu hebatnya itu, tetapi sayangnya baru-baru ini ada suatu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Setara kepada pelajar SMA di 5 kota besar di Indonesia yang salah satu pertanyaannya ‘Apakah Pancasila dapat diubah?’ Ternyata dari penelitian itu didapat suatu jawaban 83,3 persen para siswa atau pelajar menjawab bisa diubah.
“Dari hasil penelitian tersebut kita tentu sangat prihatin, mengapa para siswa SMA di lima kota tersebut tidak mengetahui mengenai konstitusi negara kita bahwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah. Entahlah, apakah hal itu karena kesalahan para gurunya?!” ujar Ki Wawan merasa prihatin.
Dalam kesempatan itu, Ki Wawan selaku penggagas sarasehan tersebut menjelaskan bahwa sila pertama Pancasila menjiwai sila kedua, sila kedua menjiwai sila ketiga, sila ketiga menjiwai sila keempat, dan sila keempat menjiwai sila kelima. Namun, kata Ki Wawan lagi, untuk melihat tolok-ukur keberhasilan Pancasila, hendaknya dilihat dari sila kelima; sudahkah terlaksana dengan baik?
“Ternyata dalam kehidupan kita sekarang masih banyak ketimpangan sosial yang luar biasa. Menurut Bu Sri Mulyani, Menteri Keuangan, 1 orang kaya itu setara dengan 40 juta orang. Hal itu mengindikasikan bahwa penerapan sila kelima (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) masih belum berjalan dengan baik,” ujarnya.
Ki Wawan lalu mengatakan bahwa ketidakberhasilan sila kelima karena masih besarnya ketimpangan sosial itu lantaran belum baiknya pengamalan sila keempat, misalnya ditandai dengan belum baiknya jalannya demokrasi atau permusyawaratan para anggota DPR RI. Mengapa hal itu terjadi? Tidak lain dan tidak bukan karena belum baiknya pengamalan sila ketiga atau belum utuhnya persatuan kita. Hal itu juga karena disebabkan belum baiknya pengamalan sila kedua atau kemanusiaan. Dan, hal itu karena disebabkan belum baiknya pula pengamalan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Bila rakyat Indonesia mengamalkan sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) dengan baik, niscaya dapat mendorong pengamalan sila kedua menjadi baik, dan seterusnya,” tandas Ki Wawan.
Ki Wawan juga menyinggung tentang 5 (lima) sila dalam Pancasila. Angka 5 itu dalam perspektif budaya identik dengan tokoh Pandhawa yang jumlahnya lima orang yaitu Puntadewa, Bima, Arjuna dan Nakula-Sadewa. Selain itu angka 5 juga identik dengan Rukun Islam yaitu Syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Menurut Ki Wawan, baik Pandhawa maupun Rukun Islam tersebut sinkrun dengan substansi Pancasila.
Memaknai Falsafah Ketuhanan
Narsum pamungkas, Dr. M. Teguh, akademisi dan filosof, menjelaskan mengenai makna falsafah dari sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa). Pengertian Esa atau satu bagi Tuhan itu berbeda dengan manusia. “Misalnya Pak Budi Kastowo dari Blitar ini jumlah satu yang sekarang ada di Tulungagung. Nah karena sekarang beliau ada di sini (Tulungagung), maka Pak Budi tidak ada di Blitar. Pengertian itu berbeda dengan Tuhan. Tuhan itu satu, tapi satu-Nya Tuhan itu dapat meliputi semuanya. Tuhan dapat meliputi di sini di Tulungagung ini, tapi juga meliputi di Blitar, Jakarta hingga Amerika dan semuanya,” tandasnya.
Menurutnya, ketika berbicara mengenai Tuhan, dalam perspektif filsafat (falsafah), maka tidak boleh menggunakan afirmasi positif, melainkan menggunakan capula negatif. Misalnya Tuhan itu Maha Besar dalam afirmasi positif, mesti akan timbul pertanyaan yang aneh-aneh. Maka yang benar dalam perspektif filsafat menggunakan capula negatif, misalnya dengan menyebutkan Lailaha ilallah (Tidak ada Tuhan selain Allah). Selain itu, dalam perspektif Islam pula disebutkan dalam Surah Asy-Syura 1: Laisa kamitsihi syaiun (Tiada satu pun yang sama dengan Allah).
Seperti itu pula pemahaman mengenai Ketuhanan yang dilakukan oleh orang-orang Jawa sebagaimana ungkapan mengenai Tuhan yang sering kita dengar yaitu “Tan kena kinaya ngapa”, artinya Tuhan itu tidak bisa digambarkan dengan suatu apapun.
“Itulah pengertian Esa atau keagungan Tuhan,” tutur Dr. Teguh dalam paparannya seperti membius para audience.
Setelah itu dilanjutkan dialog atau sesi tanya-jawab termasuk paparan Ki dhalang Sukono dan dr. Budi Yuniarto serta hadirin lainnya.