Regeng dan Gayeng, Sarasehan Budaya ForSabda Peringati Hardiknas 2 Mei & Harkitnas 20 Mei

 

 

Tulungagung-menaramadinah.com-LAKSDA (purn) Harry Yuwono menandaskan mengenai pentingnya pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan keberhasilan mencerdasakan kehidupan bangsa diharapkan bangsa Indonesia akan lebih bersemangat lagi untuk bangkit sehingga menjadi negara maju. Itulah sebabnya, mengingat begitu pentingnya momentum peringatan Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional) dan Harkitnas (Hari Kebangkitan Nasional), maka ForSabda (Forum Sarasehan Seni & Budaya) mengadakan sarasehan dengan tema Kebangkitan Pendidikan & Pendidikan yang Membangkitkan di Lotu’s Garden Tulungagung yang dihadiri sekitar seratusan orang.

Setelah itu lanjutkan Sekapur sirih oleh Ki Lamidi, sesepuh Veteran Tulungagung yang mengilustrasikan keberadaan manusia yang bersifat lahiriyah dan batiniyah seperti hp atau kendaraan bermotor yang ada hard ware maupun shof ware-nya. Maka bukan hanya cashing-nya (wujud fisiknya) yang musti dipentingkan, tetapi juga shof ware-nya (piranti dalamnya). Itulah sebabnya keduanya sama-sama pentingnya, sehingga tidak boleh hanya salah satu yang diutamakan. Wawan Susetya dari Menara Madinah melaporkan dari Tulungagung.

Nara sumber pertama, Laksma (purn) Hadi Santoso menyinggung mengenai keadaan Bangsa Indonesia yang pernah mengalami fase terhina pada tahun 1885 karena kejatuhan kerajaan-kerajaan di Nusantara saat itu lalu mengalami fase terhormat pada tahun 1945 (tanggal 17 Agustus 1945) bertepatan proklamasi kemerdekaan RI. Tetapi sayangnya keadaan bangsa Indonesia selanjutnya mengalami fase terhina lagi pada tahun 2005 karena dinyatakan sebagai negara paling terkorup di dunia. Seiring perkembangan zaman perlahan-lahan mengalami kebangkitan sedikit demi sedikit hingga tahun 2023 sekarang ini sudah berada di atas fase normal. “Selanjutnya kita merasa optimistis bahwa negara kita akan mengalami fase terhormat lagi pada tahun 2065,” ujar Laksma (purn) Hadi Santoso mengenai siklus 60 tahunan tentang jatuh bangunnya citra Bangsa Indonesia dalam sarasehan budaya bersama ForSabda (Forum Sarasehan Seni & Budaya) di Lotu’s Garden Ketanon Kedungwaru, Sabtu malam (20/5) kemarin malam.

Menyangkut siklus 60 tahunan mengenai gelombang citra bangsa Indonesia tersebut hampir mirip dengan yang disampaikan narsum Ki Wawan Susetya yang menyinggung tentang siklus kejayaan Nusantara dengan siklus 7 abad (700 tahunan) yang dimulai dari kejayaan Kerajaan Sri Wijaya pada abad VII, lalu kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad XIV di bawah kepemimpinan Ratu Tribuwana Tunggadewi dan Prabu Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada yang puncaknya pada tahun 1350, dan selanjutnya diprediksi kejayaan Nusantara pada abad XXI (dari tahun 2001 sampai 2099) sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Jokowi menuju Indonesia Emas (100 tahun Indonesia Merdeka) pada tahun 2045. Dengan demikian, bila dibandingkan dengan siklus 60 tahunan mengenai gelombang Citra Bangsa Indonesia oleh Laksma Hadi Santoso yang menyebut tahun 2065 tidak terpaut jauh dengan 2045 Indonesia Emas.

Sarasehan dalam memperingati Hardiknas dan Harkitnas yang dipandu moderator Elis Yusniyawati (dosen UIN SATU Tulungagung) itu, selain Laksma (purn) Hadi Santoso, tampil sebagai nara sumber antara lain Bambang Agus Susetyo (AS), mantan Kepala LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) Jawa Timur, Agung Pinastiko (guru SMUKED I) dan Ki Wawan Susetya (budayawan). Sementara narsum Dr. M. Teguh berhalangan hadir karena ada acara halal-bihalal bersama keluarga besarnya di Magelang. Dalam sarasehan budaya tersebut juga disemarakkan dengan krawitan Cahyo Yuwono dari Lotu’s Garden dan Ngesthi Laras pimpinan Ki Handaka dari Tanggung Glotan.

Lebih jauh, Laksma Hadi Santoso yang membahas mengenai Mengeksplpre Nilai Jejak Kebangkitan Nasional Budi Utomo 20 Mei 1908 itu juga menjelaskan mengenai adanya pergeseran paradigma mengenai seputar pendidikan dari lokal ke nasional dan dari regional ke internasional yang kemudian menuju pendidikan yang arahnya multinasional, global dan universal. Oleh karena itu, Laksma Hadi Santoso mengingatkan bahwa substansi pendidikan bangsa Indonesia itu sebenarnya bersifat ke dalam, dimulai dari Nuruti, Nalar, Naluri, Nurani, dan Nur (N5) yang semuanya menggunakan huruf N.

Sementara itu, narsum kedua Bambang AS menjelaskan mengenai diberlakukannya kebijakan  Kurikulum Merdeka Belajar yang dijalankan oleh Mas Menteri—panggilan akrab Mendikbud Nadhiem Makarim—yang secara keseluruhan meliputi 24 episode. Dia menyebutkan episode 1 Assemen Nasional, USBNI, RPP & PPDB, episode 2 Kampus Merdeka, episode 3 Penyaluran dan penggunaan dana BOS, dan seterusnya hingga episode 24. Semua itu menjadi perhatian dalam dunia pendidikan hingga bisa tewujudnya pendidikan yang lebih baik.

“Cakupannya sangat luas, bahkan ada penganggaran dalam bidang kebudayaan juga, yaitu Merdeka Berbudaya dengan dana Indonesia termasuk Revitalisasi Bahasa Daerah,” tuturnya.

Bambang sempat menyinggung pula mengenai semboyan pendidikan Tutwuri Handayani yang tidak utuh dan diambil dari Sistem Among Ki Hadjar Dewantara yakni Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan Tutwuri handayani.

“Ketika Pak Muhadjir Effendy menjabat sebagai Mendikbud, sebenarnya hal itu pernah menjadi pembahasan pula. Mau dipakai utuh dari semboyan pendidikan itu, tetapi nanti jangan-jangan dianggap kurang etis dari pejabat yang menetapkan sebelumnya. Ya, akhirnya dibiarkan sampai sekarang,” ujarnya dalam sarasehan.

Selanjutnya, narsum Agung Pinastiko, guru SMUKED (SMU Kedungwaru I) lebih banyak membahas mengenai pengalaman menjalankan Kurikulum Merdeka Belajar di sekolahnya. Dengan Kurikulum Merdeka Belajar, jelas dia, para guru diberi kebebasan berkspresi yang merdeka pula dalam memberikan tugas kepada para siswa (peserta belajar) untuk meningkatkan kreativitas para siswa. Misalnya, Agung selaku guru Sejarah juga mengajak para siswa berkunjung ke Candi Mirigambar dengan mengamati dan menganalisis dengan berbagai perspektif.

Berkaitan dengan kebangkitan Nusantara, Ki Wawan Susetya juga mengulas mengenai upaya mempersatukan Nusantara atau disebut Cakrawala Mandala Nusantara yang dimulai Cakrawala Mandala I dari cita-cita Prabu Kertanagara (Raja Singasari) pada tahun 1292 menyatukan Nusantara dengan melakukan Ekspedisi Pamalayu di Sumatera dan seterusnya, selanjutnya Cakrawala Mandala II diteruskan misi Ratu Gayatri yang dilakukan oleh putinya Ratu Tribuwana Tunggadewi dan dilanjutkan putranya Prabu Hayam Wuruk puncaknya pada tahun 1350 M dan Cakrawala Mandala III yaitu momentum kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945.

Wawan juga mengisahkan ketika para tim dari Kemendikbud melakukan studi banding mengenai pendidikan ke negara Finlandia, ternyata negara Finlandia justru telah mengadopsi sistem pendidikan Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara yang kemudian diwujudkan melalui Kurikulum Merdeka sekarang ini. Artinya, negara Finlandia yang mengadopsi sistem pendidikan Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara ternyata menempati 20 besar pendidikan terbaik di dunia, sedang negara Indonesia masih jauh di bawah.

“Dengan menggunakan sistem pendidikan Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara, maka para siswa diharapkan dapat belajar seperti di taman, artinya belajar dengan perasaan nyaman dan hati senang, jauh dari beban belajar di sekolah,” tutur Wawan.

Selain Sistem Among Ki Hadjar Dewantara Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani, diharapkan para siswa juga dapat belajar dengan menggunakan cipta, rasa, dan karsa-nya. Diharapkan pula para pengelola pendidikan tidak melupakan konsep Tri Kon-nya Ki Hadjar Dewantara, yakni Konsentris (memusat), Konvergen (menyeluruh) dan Kontinyu (berkelanjutan).

Wawan juga menngingatkan kembali mengenai kiat mengajar atau mendidik dari kearifan lokal bagi seorang guru, orang tua termasuk pemimpin, yakni  mulat (mengetahui), milala (memberikan bombongan), miluta (membimbing), palidarma (memberikan tauladan) dan palimarma (memaafkan).

Selanjutnya sarasehan budaya dengan tema Hardiknas dan Harkitnas tersebut diramaikan dengan lebih gayeng lagi dalam sesi dialog atau tanya-jawab dengan para audience. (WS).