Oleh: Adriono.
Film itu dibuka dengan adegan yang cukup menyentuh. Buya Hamka meringkuk dipenjara di Sukabumi, dengan tuduhan subversif oleh rezim Orde Lama: hendak menggulingkan Presiden Soekarno. Siang itu dirinya mendapat kunjungan istri dan tiga anak lakinya yang sudah beranjak dewasa. Oleh-oleh berupa nasi dengan lauk gulai ikan segar, membuat Buya terharu dan berlinang.
“Segera dimakan Angku Haji. Sudah asin, jangan engkau tambahi dengan airmata,” kata Siti Raham, istrinya yang matanya terlihat sembab.
“Ya, airmata memang asin seperti garam,” jawab Buya menerawang, mengenang nasibnya, “tapi airmata menjadi garam kehidupan.”
“Makanlah segera. Tadi, masakannya ambo beri garam dengan keringat,” sang istri menghibur. Pesakitan politik itupun tersenyum tipis. Lalu perlahan mengunyah, tapi toh matanya terus berkaca-kaca.
Begitulah. Adegan selanjutnya memang berisi tentang perjuangan dan airmata yang menjadi garam bagi dinamika kehidupan Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo (nama pena: Hamka), pahlawan nasional Indonesia kelahiran Sungai Batang, Sumatra Barat. Kisah yang berisi airmata aneka rasa. Sebab sesungguhnya kemalangan yang menimpa maupun kebahagiaan yang membuncah terekpresikan dalam wujud yang sama, yaitu lelehan airmata.
Film biopic baru “Buya Hamka” produksi PT Falcon Pictures ini akan diputar serempak di seluruh gedung bioskop Indonesia, pada 20 April 2023 nanti. Sebagai hiburan keluarga menjelang Idul Fitri. Beruntung saya berkesempatan menonton gala premiernya yang diselenggarakan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) dan sebuah radio FM di Cinepolis City of Tomorrow, Surabaya Minggu kemarin. Tidak hanya menyaksikan pemutaran perdana bersama ratusan mahasiswa generasi milenial, tetapi kami juga mendapat buah tangan berupa novel karya penulis bestseller A.Fuadi dengan judul dan cover yang sama dengan film yang diputar.
Buya Hamka dikenal dengan sosok ulama besar, guru agama, sastrawan, dan wartawan, gerilyawan, juga politikus melalui Masyumi. Kehidupannya penuh warna, kadang lembut menyentuh hati kadang mengalami peristiwa ekstrem. Pemikirannya yang visioner, serta sepak terjangnya yang melampau zaman, membuat dirinya justru kerap disalahpahami, bahkan dimusuhi oleh banyak pihak yang terusik kepentingannya.
Dulu ketika remaja, saya mengenal Hamka lewat karya-karya romannya yang gemilang. Larut menikmati kisah Di Bawah Lindungan Ka’bah. Juga ikutan baper berbasah mata tatkala mengetahui nasib sejoli Zainuddin dan Hayati di bagian akhir cerita Tenggelamnya Kapal Van der Wich. Kedua buku itu telah difilmkan. Saat beranjak dewasa saya juga suka membaca berjilid-jilid Tafsir Al Azhar (karya beliau saat berada di bui), sayangnya saya tidak baca sampai khatam.
Karya roman Hamka yang bertema percintaan dan bernada agak melodrama itu memang membuat khalayak pembaca menyukainya, tapi sejumlah ulama dan orang-orang tradisional justru mengecamnya: masak ulama mengarang kisah cinta-cintaan dan pornografi macam gitu. Padahal Buya berpendapat bahwa dakwah tidak selalu harus disampaikan lewat pidato di mimbar. Bisa juga melalui karya sastra, yang malah bisa lebih mengena.
Menurutnya, dakwah (juga perjuangan) dapat pula disajikan dalam bentuk warta berita, sebagaimana yang gigih dilakukan tatkala menjadi pimpinan mingguan Pedoman Masyarakat. Sebuah majalah yang sempat beroplah 5000 eksemplar, waktu itu tiras tertinggi di era Hindia Belanda. Akhirnya penerbitan tersebut dibredel karena dianggap membahayakan kepentingan penjajah.
Ada saat Hamka juga mengalami dilema saat berdakwah. Kala itu ekonomi keluarganya sedang terpuruk. Istrinya sampai menjual perhiasan untuk menyambung hidup, sementara Buya diberhentikan sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat karena dituduh sebagai penghianat yang berkomplot dengan penjajah Jepang. Buya beserta keluarga kembali pulang ke Padang Panjang. Mengajar ngaji dan berceramah di desa. Pernah seusai memberi tauziyah, temannya yang juga takmir masjid, menyerahkan sekantung uang logam. Biasa, sebagai uang transpor atau sekadar ucapan terima kasih.
Hamka spontan menolak. “Dakwah bukan jual beli,” ujarnya sambil minta maaf. Tetapi temannya mengingatkan bahwa istri dan anak-anak Buya membutuhkannya untuk hidup sehari-hari. Pendakwah itu jadi diam termangu . Hampir saja diterima uang itu, tiba-tiba dia punya solusi kompromis. Dari tas kainnya dikeluarkan sejumlah buku karangannya, lalu disodorkan. “Begini saja. Anggap saja kamu membeli buku-buku ini,” katanya. Kemudian buku dan uang sumbangan jamaah itupun berpindah tangan.
Kiranya jalan hidup Hamka memang terlalu panjang dan terlalu kompleks jika disajikan dalam satu film dengan durasi dua jam saja. Mungkin atas pertimbangan itu lantas Falcom Pictures membikin “Buya Hamka” menjadi tiga jilid. Dengan demikian jalan ceritanya dapat mengalir smooth, tidak berjejalan oleh banyaknya adegan yang ingin dimampatkan. Penggunaan bahasa Melayu Minang membuat filem ini terasa membumi. Bertaburan aktris dan aktor terkenal yang tampil membuatnya menjadi sarana hiburan yang rancak bana. (*)