Payon Petilasan Buyut Cili

 

Hari Minggu yang cerah 12/3/2023 aku diantar si Hitam Manis seperti biasanya Ngopi tubruk pisang goreng di pasar kuliner Osing desa Kemiren. Berikut ini laporan Aekanu Haryono Budayawan Banyuwangi;

 

Usai ngopi bersama salah seorang mahasiswi yang menempuh program pasca sarjana di Chiba University Jepang, aku bergeser ke petilasan Buyut Cili.
Di sini aku hanya sekedar bawakan camilan untuk orang2 yang sedang kerja bakti mengganti atap / payon petilasan Buyut Cili. Petilasan Buyut Cili di desa Kemiren, kecamatan Glagah Banyuwangi dipercaya sebagai tempat “danyang” yang sakral dan dikeramatkan serta dijadikan media untuk berziarah kepada leluhurnya.

Inilah sebabnya petilasan ini selalu ramai dikunjungi orang untuk melakukan selametan NGATURI dhahar utamanya pada Minggu sore dan Kamis sore.

Masyarakat Osing desa Kemiren dan sekitarnya percaya bahwa mereka tinggal di tanah leluhurnya, mereka memegang teguh ideologi yang sangat kuat, hal ini terlihat bahwa masyarakatnya yang masih berpedoman pada tradisi, adat istiadat , sistem budaya, nurma dan pesan leluhur dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Masyarakatnya sangat menjujung tinggi dan menghormati leluhur mereka yaitu “Buyut Cili” yang dianggap sebagai danyang penunggu desa dan merupakan wacana sakral yang dihadirkan sebagai pusat dalam praktek-pratek ritual religi mereka. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berimplikasi kebaikan, baik secara personal maupun komunal selalu dimohonkan padanya. Arwah Buyut Cili dipercaya dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi masyarakat Kemiren dan sekitarnya yang ingin hajatnya dapat terkabulkan dengan melalui perantara Buyut Cili untuk berdoa bersama di sini.

PAYON atau atap cungkup Petilasan Buyut Cili yang terbuat dari ilalang dan tiang dari bambu harus diganti karena sudah lapuk terkena panas dan hujan. Terlihat sangat sederhana karena atap cungkup petilasan tidak boleh memakai genteng, tapi harus menggunakan ilalang, kemudian dindingnyapun tidak boleh menggunakan tembok, namun harus menggunakan bambu termasuk juga tiang penyangganya. Mengapa payon atau atap menggunakan ilalang, bubungan dari ijuk, dinding, tiangnya dan tali dari bambu, semua bahan dihasilkan dari tumbuhan?
Ada pesan agar manusia bisa hidup damai bersanding dengan alam yang butuh perawatan, jika membutuhkan tumbuhan maka harus menanam dan merawatnya dulu.
Sejak saya sering ke Kemiren mulai tahun 1995 hingga sekarang, saya merasa beruntung karena bisa terlibat mengikuti beberapa kali tradisi “payon” atau mengganti atap cungkup petilasan Buyut Cili yang keramat itu.
Payon terakhir diganti pada Minggu 13/9/2020 yang lalu. Tradisi “Payon Petilasan Buyut Cili” dilakukan dengan aturan dan nurma-nurma tertentu. Walau petilasan itu hanya berupa sepasang batu nisan dari batu andesit yang menyerupai “menhir” dinaungi rumah cungkup sederhana beratap ilalang dan berdinding bambu, tapi mitos yang dipercaya masyarakat, saat mengganti atap tidak boleh naik berada di atas batu nisan.Maka secara bergotong-royong masyarakat harus bersama-sama mengangkat memikul cungkup atau rumah semacam gubug yang menjadi pelindung petilasan itu untuk digeser ke samping, kemudian barulah diperbaiki dan menggantikan atap ilalang dan tiang yang rusak digantikan yang baru.
Ini hebatnya pesan moral yang disampaikan leluhur terdahulu, yang selalu mengisyaratkan ajakan kekompakan, rukun, agar semua warga bisa bergotong-royong dalam segala hal.
Proses renovasi payon petilasan Buyut Cili, dimana yang seharusnya bisa dilakukan dengan cukup membayar satu-dua orang tukang, namun hal itu tidak dilakukan karena ada norma-norma aturan ketat yang perlu diperhatikan dalam setiap prosesnya.
Bisa dibayangkan jikalau atapnya sudah menggunakan genteng dan berdinding tembok, maka rasa guyub rukun gotong royong untuk memikul cungkup bersama-sama akan hilang.
Hari ini aku melihat ada puluhan relawan tua muda bekerja keras bersama namun iklas mengerjakan “payon” mulai sekitar pukul 08:00 dan baru selesai pada pukul 15:00 WIB.
Mereka tampak semangat disertai rasa gembira karena merasa bertanggung jawab atas tradisi leluhurnya, mereka adalah para seniman tari, bordah, mocoan dan penyangga grup Barong Tresno Budoyo.

Rahayu..Rahayu..Rahayu sagung dumadi !!!

(By Aekanu – Kiling Osing Banyuwangi).